Minggu, 14 Januari 2018

ALIRAN MU’TAZILAH

 Teologi, sebagai mana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw pada 632 M, yang pertama dibicarakan adalah masalah khalifah yang akan menggantikan nabi. Masing-masing pihak sahabat mengklaim dirinya atau kelompoknya yang lebih tepat untuk menggantikannya sebagai khalifah. Wafatnya Nabi itu segera menimbulkan krisis keagamaan dan menimbulkan kekosongan kekuasaan yang harus diisi agar tidak terjadi perpecahan. Bahwa gejala disintegrasi tersebut memang terjadi bisa terlihat dari fakta setelah Abu Bakar diangkat sebagai khalifah. Sayangnya, uraian yang direkam sejarawan klasik tentang peristiwa besar ini ditulis jauh setelah peistiwa itu terjadi.[1]
Salah satu respon paling awal terhadap masalah suksesi tersebut adalah doktrin Syi’ah tentang imamah dan selanjutnya terjadi arbitrase antara Muawiyah dan kelompok Ali, dan di sinilah sejarah teologi Islam dimulai. Akibat arbitrase tersebut muncul kelompok-kelompok yang tidak puas yang kemudian membentuk kelompok tersendiri yang disebut Khawarij. Selanjutnya muncul Murji’ah yang tidak sepaham dengan Khawarij dalam hal kafir mengafirkan dalam hal dosa besar. Pada perkembangan selanjutnya lahirnya Mu’tazilah juga tidak terlepas dari permasalahan orang yang melakukan dosa besar. Mu’tazilah dipelopori oleh Washil bin Atha’ yang salah satu pemahamannya bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak kafir dan tidak mu’min, tetapi posisinya berada diantara dua tempat (al-Manzilat baina al-Manzilatain)
Nama Mu’tazilah yang diberikan kepada mereka sebagai sebuah aliran teologi berasal dari kata i’tazala yang berarti “mengasingkan diri”. Menurut Harun Nasution, nama itu diberikan pada abad II Hijriyah yang diambil dari komentar Hasan al-Bashri atas sikap Washil bin 'Atha' yang melakukan aksi walk out dari majelisnya yang berbunyi i'tazala anna Wasil (Washil telah mengasingkan diri dari kita). Mu’tazilah selanjutnya dikenal sebagai sebuah aliran teologi yang lebih menekankan pemahaman mereka pada penggunaan akal pikiran. Hal tersebut menyebabkan kaum Mu’tazilah sering diidentikkan sebagai kaum rasionalis dalam teologi Islam.[2]

A.    Sejarah Timbulnya Mu’tazilah dan Ajarannya.
Golongan ini muncul pada masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi baru menghebohkan pemikiran Islam pada masa pemerintahan Bani ‘Abbas dalam masa yang cukup panjang. Para ulama berbeda pendapat pada waktu munculnya golongan ini. Sebagian berpendapat, golongan ini mulai timbul sebagai satu kelompok di kalangan pengikut ‘Ali. Mereka mengasingkan diri dari masalah-masalah politik dan beralih ke masalah akidah ketika Hasan turun dari jabatan khalifah untuk digantikan oleh Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Mengenai hal ini Abu al-Hasan al-Thara’ifi dalam bukunya Ahl al-ahwa’ wa al-Bida’ menyatakan “ Mereka menamakan diri dengan mu’tazilah ketika Hasan Ibn ‘Ali membai’at Mu’awiyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Mereka mengasingkan diri dari Hasan, Mu’awiyah dan seuma orang lain, mereka menetap di rumah-rumah dan di masjid-masjid. Mereka berkata, kami bergelut dengan ilmu dan ibadah[1].
Menjelang akhir kekuasaan Bani Umayyah dipertengahan abad VIII M, muncullah aliran baru yang disebut Mu’tazilah. Mu’tazilah menolak dua aliran yang mendahuluinya yaitu Khawarij dan Murji’ah, dan mengatakan bahwa sebenarnya pelaku dosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi berada pada posisi menengah antara mukmin dan kafir. Ajaran ini dalam Mu’tazilah disebut al-Manzilat Bayna al-Manzilatain. Secara historis dapat dikatakan bahwa ajaran inilah yang menandai lahirnya Mu’tazilah. Paham tersebut untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Wasil Bin ‘Atha’ yang dikenal sebagai tokoh Mu’tazilah[2].
Mu’tazilah adalah sebutan bagi orang-orang yang memisahkan diri dari jamah Hasan al-Bashri, yang dipimpin oleh Washil bin Atha’. Walaupun selanjutnya Washil bin Atha menamakan diri kelompoknya dengan sebutan Ahl al-‘Adl wa al-Tauhid.[3]
Berbagai analisis dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku-buku ‘Ilmu Kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin ‘Atha’ serta temanya Amr Ibn ‘Ubaid dan Hasan al-Basri di Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan al-Basri di mesjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya tentang status orang yang berdosa besar. Sebagai mana diketahui kaum Khawarij memandang mereka kafir sedang kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendaptnya sendiri dengan mengatakan bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara ke duanya; tidak mukmin dan tidak pula kafir.” Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri dan pergi ke tempat lain di mesjid. Di sana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan: “ Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazala anna). “ Dengan demikian ia serta teman-temanya disebut kaum Mu’tazilah.[4]
Versi lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebutkan bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke Mesjid Basrah dan menuju ke majelis ‘Amr Ibn ‘Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan al-Basri. Setelah mengetahui bahwa itu bukan majelis Hasan al-Basri ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “Ini kaum Mu’tazilah.” Semenjak itu, menurut Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu’tazilah.[5]
Untuk mengetahui secara pasti asal-usul penamaan Mu’tazilah memang cukup sulit. Berbagai pendapat para ahli menunjukkan perbedaan dan ketidaksepakatan di antara mereka. Yang jelas ialah nama Mu’tazilah sebagai designasi bagi aliran teologi rasional yang sifatnya liberal dalam Islam timbul setelah peristiwa Washil bin Atha’ dengan Hasan al-Bashri di Basrah. Setidaknya inilah yang bersifat umum dan yang kami maksud dalam penulisan ini.
Nama lengkap Washil bin Atha’ adalah Abu Huzaifah Washil Ibnu Atha’ al-Ghazali. Beliau lahir di Madinah tahun 81 H dan meninggal tahun 131 H. Di sana ia belajar pada Abu Hasyim ‘Abdullah Ibn Muhammad Ibn Hanafiyah,[6]
Washil bin Atha’ memiliki pemikiran dasar yakni; al-Manzilat Baina al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi). Washil bependapat bahwa orang Islam yang berbuat dosa besar tidaklah kafir, bukan pula mukmin, tetapi antara kafir dan mu’min. Orang Islam yang melakukan dosa besar dan  bertaubat sebelum dia meninggal maka ia akan masuk surga, tetapi kalau orang islam tersebut belum sempat bertaubat lalu meninggal maka ia akan masuk neraka selama-lamanya karna perbuatanya sama dengan orang-orang kafir.[7]
Dia juga berpendapat mengenai perbuatan manusia, Washil mengatakan, manusia diberi kebebasan, kemampuan dan kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Kebebasan memilih, kekuasaan dan kemampuan yang ada pada manusia itu merupakan pemberian mutlak dari Tuhan. Karena itu, manusia bertangung jawab atas perbuatan yang dilakukan itu.[8] Washil juga menolak paham ortodoks yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu abadi. Mereka mengungkapkan bahwa al-Qur’an diciptakan dan diungkapkan di dalam tulisan-tulisan dan diwahyukan kepada Nabi dalam waktu, ruang dan bahasa setempat. Mukjizat al-Qur’an tidak terdapat dalam tulisan dan bahasanya tetapi ajarannya. karena Jika keabadian al-Qur’an diterima, maka ada dua yang abadi, Tuhan dan al-Qur’an.[9]
Mengenai al-Usul al-Khamsah secara harfiah berarti lima dasar. Mu’tazilah memahami dan meyakini bahwa ada lima dasar dalam akidah Islam yaitu; al-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’d wa al-Wa’id, al-Manzilah Baina al-Manzilatain, dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahyi ‘an al-Munkar. Kelima dasar keyakinan tersebut merupakan prasyarat untuk menjadi kaum Mu’tazilah.[10]
1. Al-Tauhid, (pengesaan Tuhan) yang merupakan inti paham Mu’tazilah; maksudnya pemurnian esensi Tuhan; Tuhan tidak memiliki sifat-sifat. Lebih lanjut Washil bin Atha’ mengatakan, Tuhan tak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri yang melekat pada Zat Tuhan. Abu al-Huzail mencoba membawa penyelesaian. Tuhan betul mengetahui tetapi bukan dengan sifat melainkan mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya adalah Zat-Nya demikian seterusnya dan sifat-sifat lainnya.
2. Al-‘Adl, (prinsip keadilan Tuhan).  Menurut paham Mu’tazilah, Allah tidak menyukai kerusakan, dan tidak menciptakan perbuatan hamba, tetapi hambalah yang melakukan apa yang diperintahkan dan yang dilarang dengan kudrat yang diberikan dan ditetapkan Allah kepada mereka. Tidak mungkin Tuhan menghendaki supaya manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan perintah-Nya.
3. Al-Wa’ad wa al-Wa’id, (prinsip janji dan ancaman). Mu’tazilah berkeyakinan bahwa janji berupa balasan kebaikan dan ancaman berupa siksaan tidak mustahil diturunkan. Janji Allah tentang pahala atas kebaikan akan terjadi, janji siksaan atas kejahatan juga akan terjadi.
4. al-Manzilat Baina al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi). Washil bependapat bahwa orang Islam yang berbuat dosa besar tidaklah kafir, bukan pula mukmin, tetapi mengambil posisi antara kafir dan mukmin. Kalau orang Islam tersebut bertaubat sebelum dia meninggal maka ia akan masuk surga, tetapi kalau orang Islam tersebut belum sempat bertaubat, maka ia akan masuk neraka selama-lamanya, namun azab yang ia terima lebih ringan dari azab yang diterima oleh orang kafir.
5. Al-Amr bi al Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar, (prinsip menyuruh berbuat baik dan melarang kemungkaran). Prinsip ini adalah dasar yang kelima dari dasar-dasar paham Mu’tazilah yang disepakati. Kaum mu’tazilah menetapkan bahwa semua muslim wajib melakukan upaya tersebut untuk menyiarkan dakwah Islam dan menunjuki orang yang sesat serta mencegah serangan orang yang mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan sehingga mereka  tidak dapat menghancurkan islam.
B.     Tokoh Penting Mu’tazilah
Tokoh pertama yang berpengaruh dalam perkembangan Mu’tazilah adalah al-Allaf. Nama lengkapnya Muhammad bin al-Huzail al-Allaf. Ia merupakan seorang tokoh Mu’tazilah yang menjadi pemimpin kedua Mu’tazilah cabang Basrah setelah Washil bin 'Atha’. Ia lahir pada tahun 135 / 751 M, tiga tahun setelah berdirinya Daulah Abbasiyah dan wafat pada tahun 235 H/849 M.[11]
Di antara pemikirannya yang berbeda dengan tokoh-tokoh al-Mu’tazilah adalah:
1.    Allah itu ‘Alim (Maha Mengetahui) dengan dzat-Nya,  Allah itu Qadir (Maha Berkuasa) dan Qudrah Allah adalah dzat-Nya, demikian seterusnya. Singkatnya dia meniadakan seluruh sifat selain dzat Allah sebagaimana yang dilakukan oleh Wasil akan tetapi dia lebih mendalam.
2.    Alam memiliki cakupan dan batasan karena alam adalah hal yang baru, termasuk surga dan neraka.
3.    Manusia terbebani taklif (kewajiban) yang mampu dibedakan oleh akal antara yang baik dan yang buruk meskipun tanpa syariat atau wahyu.
4.    Ajaran al-salah wa al-aslah (Allah wajib berbuat baik dan terbaik).[12]
Generasi selanjutya yang berpengaruh dalam pemikiran Mu’tazilah adalah al-Nazzam atau nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyad bin Hani' al-Nazzam. Ia adalah salah seorang murid al-Allaf yang kemudian menjadi pemuka Mutazilah. Ia lahir di Basrah tahun 185 H/801 M, dan meninggal dunia pada tahun 221 H/836 M. Dalam catatan perjalanan hidupnya, ia dianggap mempunyai kecerdasan yang lebih dibanding gurunya. Ia pun juga banyak terinspirasi dengan retorika berfikir Yunani akibat lama berhubungan dengan filsafat Yunani.[13]
Dalam konsep keadilan Tuhan, ia berpendapat lebih jauh dari apa yang dipahami oleh gurunya, al-Allaf. Menurut al-Allaf, Tuhan berkuasa untuk bersikap zalim, tapi hal itu mustahil Tuhan lakukan, karena berdampak pada ketidak sempurnaan Tuhan. Sedangkan al-Nazzam berpendapat, bukan hanya mustahil Tuhan bersikap zalim, bahkan Tuhan tidak berkuasa untuk bertindak zalim. Alasan yang dimajukan al-Nazzam ialah, bahwa kezaliman hanya dilakukan oleh orang yang mempunyai cacat serta tidak mempunyai pengetahuan (jahil). Adapun Tuhan Maha suci dari sifat-sifat itu, karena sifat-sifat itu hanya dimiliki oleh yang tidak kekal.[14] 
Adapun pemikiran al-Nazzam mengenai ijma’ (kesepakatan) bahwa ijma’  tidak mempunyai otoritas dalam hukum agama. Demikian pula analogi qiyas  juga tidak mempunyai otoritas dalam masalah syari’ah. Hanya kata-kata imam yang maksum yang mempunyai otoritas. Sebagaimana dikatakan, Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan qadim atau kekal, tetapi hadis\ dalam arti baru dan diciptakan Tuhan. Al-Nazzam memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kalam atau sabda Tuhan. Kalam adalah suara yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Suara bersifat baru, bukan kekal dan merupakan ciptaan Tuhan. Inilah yang dimaksud golongan Mu’tazilah dengan Al-Qur’an diciptakan dan tidak kekal.[15]
Tokoh yang ketiga adalah Abu 'Ali Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Jubba'i. Lahir pada tahun  295 H, dan wafat pada tahun 321 H. Dia adalah guru dari Abu Hasan al-Asy’ari pendiri aliran Asy-ariyah. Terkait dengan sifat Tuhan, al-Jubba'i berpendapat bahwa Tuhan itu mengetahui sesuatu melalui esensi (Zat) Nya, Ia maha kuasa dan hidup melalui esensiNya. Olehnya itu, untuk mengetahui sesuatu, Tuhan tidak perlu pada sifat mengetahui, dan tidak pula perlu pada keadaan mengetahui. al-Jubba’i juga mengatakan bahwa Allah menciptakan "kalamNya" sendiri ditempat pembacaan kapan saja seorang manusia membacakan Al-Qur’an.[16]
Buah pikiran ketiga tokoh yang berpengaruh dalam aliran mu’tazilah, yang pada intinya pemikiran mereka tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh yang lainya atau pemikiran yang satu dengan yang lainya hampir sama karena mereka pada hakikatnya menggunakan rasio.
C.    Perkembangan Mu’tazilah dan Pengaruhnya di Dunia Islam
Peristiwa al-mihnah terjadi sekitar tahun 198 H. sampai dengan tahun 232 H. Hanya saja pelaksanaannya nanti diterapkan secara efektif di tengah masyarakat mulai pada tahun 218 H. Hal itu dilakukan karena adanya kekhawatiran akan mendapat tantangan dari masyarakat di masa awal pemerintahan al-Makmun. Berawal dari Khalifah al-Makmun terkontaminasi oleh paham Mu’tazilah yang dimiliki oleh Ahmad bin Abu Du'ad. Dia berusaha mempengaruhi Khalifah dan menelurkan ide untuk melaksanakan mihnah untuk menjernihkan akidah masyarakat terutama soal doktrin “Al-Qur’an adalah Makhluk”. Akhirnya, pada tahun 212 H, mulailah al-Makmun menganut paham Mu’tazilah.  
Pada masa pemerintahan al-Makmun, diterapkan empat macam tingkatan sanksi atas mereka yang membangkang, yaitu  pertama, mereka yang menolak tidak dapat diterima kesaksiannya di pengadilan, kedua, bagi mereka yang bekerja sebagai guru atau muballigh diputuskan tunjangan yang diperolehnya dari Khalifah, ketiga, jika masih menolak akan dicambuk dan dirantai, kemudian dimasukkan ke dalam penjara, dan keempat, proses terakhir dari segalanya adalah hukuman mati dengan leher dipancung.[17] 
Pada masa pemerintahan al-Watsiq (227-232 H.), dia masih menjalankan kebijakan al-mihnah. Bahkan pada masa ini, pernah dikeluarkan perintah untuk membunuh Ahmad bin Nashr al-Khuza’iy, seorang ulama yang mendukung pendapat Imam Ahmad Ibnu Hanbal tentang ke-qadiman al-Qur'an. Akibatnya,  beberapa tokoh dan ulama mati di penjara karena mempertahankan pendapat mereka,  di antaranya : Na’im bin Hammad, dan Yusuf bin Yahya al-Buwaiti.[18]
Seiring dengan terpilihnya Khalifah al-Mutawakkil sebagai pengganti khalifah al-Wasiq (232/847), ajaran Mu’tazilah dihapuskan dari mazhab negara dan digantikan dengan ajaran al-Asy’ariyyah. Dengan demikian, berakhirlah riwayat al-Mihnah pada masa ini, dan pengaruh kaum Mutazilah pun mulai menurun. [19]
Adapun perkembangan Mu’tazilah sebagai aliran kalam dan pengaruhnya dalam dunia Islam adalah, kelompok Mu’tazilah pada mulanya lahir sebagai reaksi terhadap paham-paham yang dikemukakan oleh golongan Khawarij dan golongan Murjiah. Kemudian Mu’tazilah muncul dengan pemahamanya dengan konsep al-Manzilah bain al-Manzilatain bahwa sesungguhnya orang yang berdosa besar dia bukan kafir dan bukan pula mu’min. Setelah golongan Muktazilah mencapai puncak kepesatan dan kemegahannya pada masa Al-Makmun dan al-Mu’tashim, tidak berapa lama kemudian aliran ini akhirnya mengalami kemunduran. Kondisi itu utamanya terjadi pada masa khalifah al-Mutawakkil. Walaupun demikian, aliran ini tidak serta merta hilang dari permukaan. Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan bahwa beberapa pengikutnya yang setia masih tetap eksis dan menjadi tokoh penting dan ulama produktif. Sebut saja misalnya, al-Khayyath yang muncul pada akhir abad ke III H. Kemudian Abu Bakar al-Zamakhsyari (w. 320 H./932 M.) yang muncul pada abad ke IV H. yang dikenal dengan tafsirnya al-Kasysyaf. Pengaruh kedua tokoh tersebut sangat besar di kalangan kelompok Ahlussunnah wa al-Jama’ah.[20]
Selanjutnya paham ini berkembang menjadi aliran kalam yang dikenal dengan nama Mu’tazilah. Kemunculannya seiring dengan telah banyaknya umat Islam yang melakukan kontak dengan pemikiran Filsafat Yunani yang dikenal menjadikan akal sebagai power dalam berfikir sampai-sampai menilai benar-salahnya sesuatu menurut ukuran rasio. Ibarat tersengat retorika berfikir tersebut, orang-orang Mu’tazilah pun amat tertarik dengan filsafat tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan jika aliran Mu’tazilah ini banyak berpegang pada rasio dalam membicarakan perkara-perkara teologi.[21]
Meskipun aliran Mu’tazilah tidak lagi menjadi satu golongan namun tidak dapat disangkal bahwa perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan dan falsafah dalam Islam tidak lepas dari peran serta pengaruh paham Mu’tazilah yang lebih mengutamakan akal dalam memahami dan memecahkan persoalan-persoalan  teologi. Bahkan, menurut Harun Nasution, di zaman modern dan kemajuan iptek sekarang ini, ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional tersebut telah tumbuh kembali di kalangan umat Islam, terutama di kalangan kaum terpelajar.[22] 

DAFTAR PUSTAKA
Al-Dimasyqi, Abu al-‘Izz, Syarh al-Aqidah al-Tahawiyah, Cet.X; Beirut: Muassasah al-Risalah, 1417 H/1997 M.

Al-Syahrastani, Abu Al-Fath, al-Milal wa al-Nihal, Cet.I: Beirut; dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,1410 H/1990M.

Asmuni, M. Yusran. Ilmu Tauhid. Cet. II; Jakarta: Rajaeali Grafindo Persada, 1994.

Ayoub, M. Mahmoud, The crisis of muslim history, Cet. I; Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004.

Azra, Azyumardi, dkk, ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005.

Hanafi,Ahmad Pengantar Teologi Islam (Ilmu Kalam) Cet.XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Haq, Hamka. Dialog: Pemikiran Islam, Makassar: Yayasan al-Ahkam, Cv. Berkah Utami, 2000.

Harahap, Syahrin, dkk, Eksiklopedi Islam, cet. I; Jakarta: Kencana, 2003.

Mahmudunnasir, Syed. Islam Konsepsi Dan Sejarahnya, Cet.IV; Bandung: PT.Rosda Karya, 2005.

Mansur al- Bagdadi, al-Farqu baina al-Firaq, Saida: al-T{ab’ah al-Asriyah, t.th.
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan Cet. V; Jakarta: UII Press, 1986.

Nata, Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf (Dirasah Islamiyah IV) Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Natsir.  A, Sahilun. Pengantar ilmu Kalam, Cet. II ; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Subhi, Ahmad Mahmud, Fi ‘Ilm al-Kalam, ,Kairo: t.p, 1969.

Sou’eyb, Joesoef,  Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Husna, 1982.

Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib,dengan judul  Aliran Politik dan Aliran Islam, Cet. I; Jakarta Logos Publishing House, 1991.


[1]Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, dengan judul Aliran Politik dan Aliran Islam (Cet.I; Jakarta:Logos Publishing House, 1991), h. 149.
[2]Hamka Haq, Dialog: Pemikiran Islam, ( Makassar: Yayasan al-Ahkam, Cv. Berkah Utami, 2000)  h. 8.
[3]Sahilun A. Natsir, Pengantar ilmu Kalam, (Cet. II ; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994) h. 93.
[4] Abu Al-Fath al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, juz 1 (Cet. I:Beirut; dar al-Kutub al-Ilmiah,1410 H/1990M) h. 42.
[5] Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘Ilm al-Kalam  (Kairo:t.p,1969) h. 75.
[6]Harun Nasution, Teologi  Islam, Aliran-aliran dan sejarah analisa perbandingan.  h. 44.
[7]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Cet.V; Universitas Indonesia Press, 1985) h. 37
[8]M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Cet. II; Jakarta ; Rajawali Grafindo Persada, 1994) h. 113-114.
[9] Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahanya (Cet. IV ; Bandung ; Rosda Karya, 2005), h.230.
[10] Syahrin Harahap dkk, Eksiklopedi Islam,( Cet. I; Jakarta: Kencana, 2003) h. 457.
[11]Harun Nasution, Teologi; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.  h. 45.
[12]Azyumardi Azra, dkk, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005 ) h. 97.
[13] Abu Mansur al- Bagdadi, al-Farqu baina al-Firaq (Saida: al-Tab’ah al-Asriyah, t.th) h. 131.
[14] Harun Nasution, teologi Islam ; Aliran-aliran Sejarah analisa Perbandingan. h. 45.
[15] Harun Nasution, teologi Islam ; Aliran-aliran Sejarah analisa Perbandingan. h. 45h. 50.
[16] Abu al-‘Izz al-Dimasyqi, Syarh al-Aqidah al-Tahawiyah, jilid 1 (Cet.10; Beirut: Muassasah al-Risalah, 1417 H/1997 M) h. 173.
[17]Hamka Haq, Dialog; Pemikiran Islam, h. 11.
[18]Joesoef Sou’eyb, Peranan aliran iktizal dalam perkembangan Alam Pikiran Islam, (Cet. I ; Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1992), h. 177-179.
[19]Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996),   h. 65.
[20]Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Ilmu Kalam) (Cet.XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1996) h.100.
[21]Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf (Dirasah Islamiyah IV) (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995)  h. 63.
[22]Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.  h. 60. 

[1]Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History, diterjemahkan dengan judul Akar – akar krisis politik dalam sejarah muslim  (Cet. I; Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004), h.41.
[2]Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V; Jakarta: UII Press, 1986), h. 38.
           

ALIRAN MU’TAZILAH

 Teologi, sebagai mana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk beluk agam an ya se...