Minggu, 14 Januari 2018

Aliran Syi’ah dalam Sejarah Pemikiran Islam

Pada awalnya istilah syi’ah berasal dari kata Syi’ah Ali (pengikut Ali). Istilah ini kemudian popular dengan Syi’ah saja. Jika disebut kata Syi’ah, maka yang dimaksud adalah suatu paham atau aliran yang meyakini bahwa pemimpin setelah Nabi Muhammad Saw., wafat adalah Ali bin Abi Thalib. Dalam keyakinan Syi’ah sejak semula Rasulullah Saw.,  telah memilih dan menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti beliau.[1] Selain daripada itu Syi’ah juga di definisikan sebagai golongan Islam yang mengikuti 12 Imam dari Ahlu Bait (keluarga dan keturunan) Rasulullah Saw., melalui keturunan Ali bin Abi Thalib dan anak-anak Fatimah putri kesayangan Nabi Saw., istri Imam Ali.[2]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa, syi’ah merupakan suatu paham atau aliran yang meyakini bahwa setelah Rasulullah saw., wafat maka yang berhak menggantikkannya sebagai pemimpin adalah Ali bin Abi Thalib atau ke 12 Imam dari Ahlul Bait.
Syi’ah memiliki keyakinan bahwa sebenarnya Rasulullah Saw., telah menunjuk calon pengganti beliau, dan calon tersebut adalah menantu dan sekaligus sepupu beliau, Ali bin Abi Thalib. Menurut mereka penunjukkan tersebut terjadi pada peristiwa yang kemudian disebut peristiwa Ghadir Khumm. Dengan demikian kemunculan Syi’ah sebagai suatu partai, memang sangat terkait erat dengan persoalan politik,.[3] Jadi tidaklah salah ketika kita mengatakan bahwa kemunculan pemahaman atau alairan Syi’ah dikarenakan persoalan politik.
A.    PENGERTIAN SYI’AH
Kata syi’ah terambil dari kata dalam bahasa Arab: sya’a-syiya’an berarti mengikuti atau menemani (tabi’a atau ra-faqa).[1] Di  dalam Al-Qur’an kata syi’ah, menurut al-Jauzi memiliki makna empat aspek yaitu:
1.      Kelompok, seperti dalam surat al-An’am (6): 159, al-Hijr (15): 10, al-Qasas (28): 4, dan al-Rum (30): 32.
2.      Al-ahl wan-nasab (anggota keluarga dan keturunan), seperti dalam surat al-Qasas (28): 15.
3.      Ahl al-millah (kelompok pemeluk agama), seperti dalam surat Maryam (19): 6, al-Qamar (54): 51, Saba’ (34): 54, dan as-Safat (37): 83;
4.      al-ahwal al-mukhtalifah (aliran-liran pemikiran yang bermacam-macam), seperti dalam surat al-An’am (6): 65.[2]
Dari beberapa ayat di atas , kata Syi’ah berarti dapat diartikan sebagai  kelompok, al-ahl wan-nasab (anggota keluarga dan keturunan), ahl al-millah (kelompok pemeluk agama), dan al-ahwal al-mukhtalifah (aliran-liran pemikiran yang bermacam-macam).
Secara istilah kata Syi’ah mempunyai arti suatu aliran dalam Islam yang memiliki keyakinan bahwa Ali bin Abi Talib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad Saw.[3] Selain daripada itu Syi’ah didefinisikan sebagai golongan Islam yang mengikuti 12 Imam dari Ahlu Bait (keluarga dan keturunan) Rasulullah Saw., melalui keturunan Ali bin Abi Thalib dan anak-anak Fatimah putri kesayangan Nabi Saw., istri Imam Ali.[4] Karena menurut keyakinan Syia’ah yang didukung oleh banyak hadis. Berikut ini salah satu dalil yang menunjukkan kepemimpinan Ahlul Bait.
ﻗﻠرﺳﻮل ﷲﺻﻠﻰﷲﻋﻠﻴﻪوﺳﻠﻢ: ﻳﺄﻳﻬﺎاﻟﻨﺎس إﻧﻲﺗﺮﻛﺖﻓﻴﻜﻢﻣﺎإن أﺧﺬﺗﻢﺑﻪﻟﻦﺗﻀﻞاﻛﺘﺎبﷲوﻋﺘﺮﺗﻰأﻫﻞ ﺑﻴﺘﻲ
Rasulullah Saw., bersabda, “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian (dua warisan berharga), yang bila kalian berpegang kepada keduanya niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan ‘itrahku, Ahlulbaytku.”[5]  
Para ahli hadis, baik klasik maupun kontemporer telah men-tashih hadis di atas, Ahli hadis klasik yang telah mensahihkan adalah Imam Muslim dalam kitab Sahih Muslim, Imam Tirmidzi dalam Sunan Turmudzi, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala Shahihain, dan Imam Ahmad dalam Musnad Ibn Hanbal. Sedangkan ahli hadis kontemporer yang telah mensahihkan hadis tersebut di antaranya, Muhammad Nasiruddin al-Albani. Ia mensahihkan hadis tsaqalayn dalam kumpulan hadis-hadisnya. Menurutnya, sanad hadis tsaqalayn mencapai derajat mutawatir.[6]
Dengan demikian, aliran Syi’ah merupakan suatu aliran dam Islam yang yang meyakini  Ali bin Abi Thalib atau 12 Ahlu Bait (keluarga dan keturunan) Rasulullah Saw., adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad Saw., serta  bersamaan dengan didukungnya hadis Rasulullah Swa., di atas.
B.     SEJARAH ALIRAN SYI’AH
Golongan Syi’ah muncul pada akhir masa Khalifah ketiga, Utsaman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ketika Ali wafat, pemikiran Syi’ah berkembang menjadi mazhab-mazhab. Sebagiannya meyimpang dan sebagiannya lurus.[7] Jadi aliran Syi’ah muncul setelah Khlaifah Utsaman bin Affan, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Selain itu, pendapat yang populer adalah bahwa sebagai sebuah nama aliran atau kelompok, Syi’ah baru muncul ketika terjadi peristiwa tahkim di tengah-tengah perang antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Muawiah bin Abi Sufyan di Siffin pada tahun 657 M. [8] Jadi aliran Syi’ah muncul ketika terjadinya peristiwa tahkim pada tahun 657 M.
Selain itu, perbedaan pendapat dikalangan umat Islam pada masa-masa awal, segera setelah Rasulullah Saw., wafat, terjadilah perselisihan umat Islam mengenai pengganti beliau. Menurut Hossein Nasr, Syi’ah memisahkan diri dari Sunni setelah Nabi Saw., wafat. Sunni memandang bahwa Allah memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk menentukan sendiri pemimpinya. Keyakianan mereka ini didukung oleh kenyataan bahwa Nabi tidak  meninggalkan putera laki-laki, jadi kaum sunni mendukung hak kaum muslim untuk memilih pengganti Rasulullah Saw., dalam kepemimpinan politik, bukan penunjukan secara langsung terhadap individu.[9] Jadi sunni menganggap bahwa pengganti Rasulullah setelah wafat, tidak dilakukan dengan penunjukkan secara langsung terhadap individu melainkan hak setiap muslim untuk memilih pengganti Rasulullah Saw.
Sedangkan kaum minoritas kaum muslimin, memiliki keyakinan bahwa sebenarnya Rasulullah Saw., telah menunjuk calon pengganti beliau, dan calon tersebut adalah menantu dan sekaligus sepupu beliau, Ali bin Abi Thalib. Menurut mereka penunjukkan tersebut terjadi pada peristiwa yang kemudian disebut peristiwa Ghadir Khumm. Penunjukkan itu, menurut pengikut Syi’ah, dilakukan Nabi ketika beliau dalam perjalan pulang dari menunaikan haji Wada’, pada tanggal 18 Zulhijah tahun 11 H (632 M). diantara pernyataan Nabi Saw., pada saat itu : “Barang siapa yang menganggapku sebagai pemimpinnya (mawla), mulai saat sekarang hendaklah menganggap Ali sebagai pemimpinnya”. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dari sinilah muncul dogma yang secara absolut dipegangi Syi’ah bahwa imamah itu mutlak berdasarkan nas dan wasiat Nabi Saw., dengan demikian kemunculan syi’ah sebagai suatu partai, memang sangat terkait erat dengan persoalan politik.[10]
Dengan pemaparan tersebut, dapat dipahami bahwa kemunculan Syi’ah di karenakan pada saat itu penunjukkan dari Rasulullah Saw., sendiri yang terjadi pada peristiwa yang kemudian disebut peristiwa Ghadir Khumm. Penunjukkan itu, menurut pengikut Syi’ah, dilakukan Nabi ketika beliau dalam perjalan pulang dari menunaikan haji Wada’, pada tanggal 18 Zulhijah tahun 11 H (632 M).
Ali bin Abi Talib was Muhammad's cousin, son of his uncle, Abu Talib. When Muhammad was forced to leave his hometown of Mecca in the year 622 and settle in Medina, Ali followed shortly afterward. According to Shi'i tradition, Ali Assured the prophet's safe flight from Mecca by sleeping in Muhammad's bed wearing his clothing, so that the Meccans who forced their way into the prophet's bedchamber to kill him were surprised to find the wrong person there and their plan foiled.[11]
Dari uraian di atas, dijelaskan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah saudara sepupu Nabi Muhammad Saw., yakni putra pamannya yang bernama Abu thalib. Pernah suatu saat, ketika Nabi Muhammad Saw., terpaksa meninggalkan kampung halamannya Mekah ke Madinah pada tahun 622 M. Menurut Syiah, Ali merelakan dirinya untuk menempati tempat tidur Nabi Muhammad Saw., agar dikira orang Nabi yang sedang tidur di sana, pada saat orang-orang musyrik Mekah bermaksud hendak membunuh Nabi, sehingga orang-oarang musyrik Mekah yang masuk ke kamar tidur Nabi terkejut karena didapatinya orang yang tidur di kamar tersebut ternyata bukan Nabi melainkan ia adalah Ali bin Abi Thalib, dan akhirnya rencana kaum musyrik Mekah untuk membunuh Nabi Muhammad Saw.,-pun gagal.
Hubungan yang sangat dekat inilah yang menimbulkan pandangan dikalangan Syia’ah bahwa Ali lah yang layak menggantikan Nabi Saw. Dengan kedudukan istimewa itu Ali bin Abi Thalib dalam pandangan Syi’ah mempunyai kewenangan untuk memperoleh kekhalifahan dan kekuasaan agama setelah Nabi wafat.oleh sebab itu, dalam pandangan Syi’ah yang berhak menjadi khalifah itu adalah Ali bin Abi Thalib, bukan Abu Bakar as-Siddik, bukan pula Umar bin Khattab dan bukan pula Usman bin Affan. Bahkan ada pandangan dalam kalangan Syi’ah,  sebenarnya Abu Bakar as-Siddik, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan adalah khlaifah yang telah merampas hak Ali bin Abi Thalib.[12]
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa kerelaan Ali bin Abi Thalib untuk menggantikan Nabi Muhammad Saw., di tempat tidurnya agar selamat dari kejaran kaum musyrik Mekah, menurut pandangan Syi’ah menempatkan Ali bin Abi Thalib menempati kedudukan yang istimewa yang menyebabkan bahwa menurut Syi’ah yang berhak menggantikan Rasulullah Saw., setelah wafat adalah Ali bin Abi Thalib bukan Abu Bakr as-Siddik, bukan Umar bin Khattab, dan bukan pila Usman bin Affan.
C.    POKOK AJARAN ALIRAN SYI’AH
Dalam aliran Syi’ah ada beberapa pokok ajaran di dalamnya, diantaranya, masalah Imamah, I’shmah, Asyura, Mahdawiyah, Al-Bada’, dan Taqiyah.[13]
1.      Imamah
Syi’ah menyebut pemimpin itu imam, bukan khalifah. Oleh sebab itu bagi Syi’ah imam bukan hanya berfungsi sebagai pemimpin politik, tetapi juga pemimpin agama.[14] Sebagaimana pembahasan di atas mengenai salah satu defenisi Syi’ah yakni bahwah aliran Syi’ah merupakan golongan Islam yang mengikuti 12 Imam dari Ahlu Bait (keluarga dan keturunan) Rasulullah Saw., adapaun ke 12 Imam tersebut, yaitu:
1.      Imam Ali bin Abi Thalib
2.      Imam Al-Hasan
3.      Imam Al-Husain
4.      Imam Ali Zainal Abidin
5.      Imam Muhammad al-Baqir
6.      Imam Ja’far al-Shadiq
7.      Imam Musa al-Kazim
8.      Imam Ali al-Rida
9.      Imam Muhammad at-taqi al-Jawwad
10.  Imam Ali an-Naqi al-Hadi
11.  Imam al-Hasan al-Aksari
12.  Imam al-Mahdi[15]

2.      I’shmah
I’shmah adalah sifat stabilitas kejiwaan yang suci. Di dalam jiawa tersebut terdapat pengaruh khusus seperti sifat keberanian, kesucian, dan kedermawanan. Jika manusia memiliki sifat berani, suci dan dermawan, maka dalam hidupnya ia senantiasa melakukan hal-hal yang mulia dan terpelihara dari perkara-perkara yang hiana.[16] Dengan demikian bagi Syi’ah, Imam-imam mereka tidak mungkin berbuat keliru atau salah, lahir dan batin, sejak kelahirannya sampai ajalnya, baik sengaja maupun tidak, karena para imam mereka itu adalah pemelihara dan pelindung Islam.[17]
Pendapat Syi’ah bahwa para Imam itu maksum dari kesalahan sepanjang hidupnya, baik yang disengaja ataupun tidak. Tidak ada perbedaan antara saat mereka masih kecil, beranjak dewasa, atau setelah imamah.[18] Adapun diantara dali yang mereka gunakan tentang hal ini adalah firman Allah Swt., sebagi berikut:

"Sesungguhnya Aku menjadikanmu engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia". Dia (Ibrahim) berkata: " Dan (juga) dari anak cucuku?". Allah berfirman: "(Benar, tetapi) Janji-Ku (ini) tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim".[19] (Qs. al-Baqarah/ 2: 124)
Dengan adanya firman Allah Swt., Qs. al-Baqarah/ 2: 124, Syi’ah berpendapat bahwa Imam itu maksum dari kesalahan sepanjang hidupnya, baik yang disengaja ataupun tidak.
3.      Asyura
Memperingati hari kesepuluh bulan Muharram, sebagai hari berkabung, atas wafatnya imam Husein bin Ali yang terbunuh di padang Karbala. Di kalangan Syi’ah disebut dengan upaca raudhah-khani, semacam ritual atau prosesi gabungan dari Khotbah, pembacaan sajak, ayat-ayat al-Qur’an dan pertunjukan drama yang melukiskan kehidupan imam-imam yang menyedihkan, khususnya Imam Husein Saydus Syuhada.[20] Jadi setiap hari kesepuluh bulan Muharram, Syi’ah berkabung  atas wafatnya imam-imam khususnya Imam Husain Saydus Syuhada.
4.      Mahdawiyah
Pengertian al-Mahdi menurut paham Syi’ah ialah orang imam (Syi’ah) yang ditunggu-tunggu.[21] Dengan demikian di kalangan Syi’ah, Imam Mahdi itu adalah imam ke 12 yang diyakini setelah dilahirkan kemudian menghilang dalam waktu yang lama. Setelah menghilang dalam waktu yang lama, ia akan datang untuk memperbaiki dunia dengan keadilan, yang telah dirusak oleh penguasa-penguasa zalim.[22] Jadi Syi’ah menganngap bahwa imam Mahdi adalah imam ke 12 dan ketika ia ia datang setelah hilang sekian lama, ia akan datang untuk memperbaiki dunia dengan keadilan, yang telah dirusak oleh penguasa-penguasa zalim.
5.      Al-Bada’
Keyakinan bahwa Allah Swt., dapat mengubah atau membatalkan ketentuan yang sudah ditetapkan-Nya  mengubahnya dengan ketentuan-Nya.[23] Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt., sebagai berikut:
(#qßsôJtƒ ª!$# $tB âä!$t±o àMÎ6÷Vãƒur ( ÿ¼çnyYÏãur Pé& É=»tGÅ6ø9$# ÇÌÒÈ
Allah menghapuskan apa yang dia kehendaki dan menetapkan (apa yang dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).” (Qs. ar-Ra’d/ 13: 39)[24]
Ayat tersebut dipahami oleh Syi’ah, “ilmu Allah Swt., dapat mengalami perubahan, dalm arti bahwa Allah Swt., mempunyai suatu pengetahuan tertentu yang dapat mengalami perubahan. Hukum Allah dapat mengalami pembatalan, dalam arti bahwa Allah Swt., memiliki beberapa hukum yang memang dapat mengalami pembatalan.”[25]
6.      Taqiyah.
Sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir bahaya mengancam, dengan menyembunyikan identitas. Dalam keyakinan Syi’ah seseorang boleh menyembunyikan keyakinan agamanya atau beberapa praktik tertentu dari agamanya. Hal itu dapat dilakukan bila ia menghadapi keadaan yang diperkirakan mungkin atau pasti akan menimbulkan bahaya bagi dirinya sendiri.[26] Prinsip ini didasarkan pada Firman Allah Swt., sebagai berikut:
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan Hanya kepada Allah kembali (mu). (Qs. ali-Imran/ 3: 28)[27]
D.    ALIRAN- ALIRAN DALAM SYI’AH
Munculnya beberapa aliran dalam Syi’ah mulai sejak Syahidnya-nya Husein di padang Karbala. Perbedaan pokok dari aliran-aliran ini berkisar pada masalah Imamah. Adapun aliran-aliran dalm Syi’ah adalah Ghulat, Zaidiyah, Isma’iliyah dan Itsna ‘Asyariyyah.[28]
1.      Ghulat
kata Ghulat adalah jama’ dari ghali, isim fa’il dari kata ghala, yaghulu, ghuluwan yang artinya lebih dari batas atau berlebih-lebihan. Jadi ghulat adalah orang-orang yang melampaui batas atau berlebih-lebihan. Dengan demikian, Syi’ah Ghulat adalah sekelompok orang yang mendukung Ali dan keturunannya dalam imamah, disertai sikap yang berlebih-lebihan sehingga melampaui batas agama, yang merubah masalah imamah dan masalah politis menjadi masalah keyakinan.[29]
Kelompok ini, sebenarnya oleh kaum Syi’ah sendiri terutama oleh Syi’ah Imamiyah (baik  Isma’iliyah dan  Itsna ‘Asyariyyah) tidak diakui bahkan dianggap kufur atau keluar dari Islam karena faham-fahamnya yang ekstrim.[30]
Meskipun Syi’ah Ghulat adalah pendukung Ali dan keturunannya , akan tetapi karena ia memiliki sikap yang berlebih-lebihan sehingga melampaui batas agama, yang merubah masalah imamah dan masalah politis menjadi masalah keyakinan serta faham-fahamnya yang ekstrim menjadikannya tidak diakui oleh Syi’ah Imamiyah (baik  Isma’iliyah dan  Itsna ‘Asyariyyah) bahkan dianggap kufur.
2.      Zaidiyah
Zaidiyah adalah aliran Syi’ah yang paling dekat kepada jama’ah Islam (Sunni) dan paling moderat karena tidak mengangkat para imam ke derajat kenabian, bahkan tidak sampai mendekati derajat itu. Namun, mereka memandang para imam sebagai manusia paling utama setelah Nabi Muhammad Saw., merekapun tidak mengkafirkan para sahabat, khususnya mereka yang dibai’at Ali, dan mengakui kepemimpinan mereka.[31]

3.      Isma’iliyah (Sab’iyah)
Ismail adalah putra peretama dari Imam ke enam Ja’far al-Shadiq, sedangkan putra yang kedua bernama Musa al-Kazim. Sejarah mencatat bahwa Ismail lebih dahulu wafat daripada ayahnya sebagai Imam ke-enam. Oleh sebab itu, kedudukannya sebagai Imam ketujuh digantikan oleh adiknya Musa al-Kazim. paham ini ditolak oleh sebagian pengikut aliran Syi’ah yang tetap mengakui Ismail sebagai imam ke-tujuh. Aliran inilah yang disebut dengan Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah imam ke-tujuh).[32]
4.      Itsna ‘Asyariyyah
Aliran Itsna ‘Asyariyyah adalah aliran yang masyhur dalam Syi’ah, yang terbesar di berbagai negara Islam, dan menjadi mazhab resmi negara di Republik Islam Iran.[33] Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah mengakui 12 imam. Aliran ini meyakini bahwa imam ke 12 akan kembali dan bertindak sebagai imam Mahdi yang akan langsung memimpin umat.[34]
Dari pembahasan di atas, dapat dipahami bahwa Aliran Syi’ah, terbagi menjadi empat aliran, dimana ke empat aliran tersebut mucul setelah Syahidnya-nya Husein di padang Karbala.

DAFTAR PUSTAKA
As-Salus, Ali Ahmad. Aqidah al-Imamah: Inda as-Syi’ah al-Isna Asyariyah., terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Imamah & Khilafah dalam Tinjauan Syar’I. Cet. I; Jakarta: Gema Isani Press, 1997.
Baharun, Mohammad. Epistemologi Antagonisme Sy’ah dari Imamah sampai Mut’ah. Cet. III; Malang: Pustaka Bayan, 2004.
Fathoni, Muslih. Paham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif. Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Halm, Heinz Shi’a Islam;From Religion to Revolution. America: Markus wiener publishers Princeton, 1997.
Ja’fari, Fadli Su’ud. Islam Syi’ah: Telaah Pemikiran Imamah Habib Husein al-Habsyi. Cet. I; Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Maryam, Sitti. Damai dalam Budaya: Integrasi Tradisi Syi’ah dalam komunitas AhluSunah Waljama’ah di Indonesia. Cet. Pertama; Jakarta: Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI, 2012.
Mulyana, Edi Hendri. Merajut Ukhuwah Memahami Syi’ah, Cet. I; Bandung, 2008.
Nurdin, Muhammad Amin. Sejarah pemikiran Islam. Cet. Pertama; Jakarta: Amzah, 2012.
RI, Departemen Agama. Alqur’an dan terjemahnya. Bandung: sygma examedia arkanleema, 2010.
Tijani, Muhammad. Al-Syi’ah Hum Ahlu Sunnah, ter. S Ahmad, Syi’ah Sebenar-Benarnya Ahlu Sunah Nabi (SAW): Studi Kritis Imformatif Polemik antara Klaim dan Fakta. Cet. Pertama; Jakarta: El Paraj Publishing, 2007.
Ulum, Muhammad Babul. Merajut Ukhuwah Memahami Syi’ah. Cet. I; Jakarta: Marja, 2008.


[1] Mohammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Sy’ah dari Imamah sampai Mut’ah (Cet. III; Malang: Pustaka Bayan, 2004), h. 13.
[2] Sitti Maryam, Damai dalam Budaya: Integrasi Tradisi Syi’ah dalam komunitas AhluSunah Waljama’ah di Indonesia, h. 55.                                                                 
[3] Sitti Maryam, Damai dalam Budaya: Integrasi Tradisi Syi’ah dalam komunitas AhluSunah Waljama’ah di Indonesia, h. 55.
[4] Muhammad Tijani, Al-Syi’ah Hum Ahlu Sunnah, ter. S Ahmad, Syi’ah Sebenar-Benarnya Ahlu Sunah Nabi (SAW): Studi Kritis Imformatif Polemik antara Klaim dan Fakta, h. 20.
[5] Muhammad Babul Ulum, Merajut Ukhuwah Memahami Syi’ah (Cet. I; Jakarta: Marja, 2008), h. 67.
[6] Muhammad Babul Ulum, Merajut Ukhuwah Memahami Syi’ah,h. 67-68.
[7] Imam Muhammad Abu Zahra, Tarikh al- Madzahih al-islamiyyah, terj. Abd Rahman Dahlan dan Ahmad Qorib, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h. 36.
[8] Sitti Maryam, Damai dalam Budaya: Integrasi Tradisi Syi’ah dalam komunitas AhluSunah Waljama’ah di Indonesia, h. 56.
[9] Sitti Maryam, Damai dalam Budaya: Integrasi Tradisi Syi’ah dalam komunitas Ahlu Sunah Waljama’ah di Indonesia, h. 58-59.
[10] Sitti Maryam, Damai dalam Budaya: Integrasi Tradisi Syi’ah dalam komunitas AhluSunah Waljama’ah di Indonesia, h. 59-60.
[11] Heinz Halm, Shi’a Islam; From Religion to Revolution (America: Markus wiener publishers Princeton, 1997),  h. 3-4.
[12] Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 156-157.
[13] Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 161-166.
[14] Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 151.
[15] Ayatullah Sayyid Muhammad Reza Mudarrisi Yazdi, Syi’ah dalam Sunah: Mencari Titik Temu yang Terabaikan (Cet. Pertama; Jakarta: Citra, 2005), h. 43-48.
[16] Fadli Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah: Telaah Pemikiran Imamah Habib Husein al-Habsyi (Cet. I; Malang: UIN-Maliki Press, 2010), h. 155.
[17] Fadli Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah: Telaah Pemikiran Imamah Habib Husein al-Habsyi, h. 163.
[18] Ali Ahmad As-Salus, Aqidah al-Imamah: Inda as-Syi’ah al-Isna Asyariyah., terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Imamah & Khilafah dalam Tinjauan Syar’I (Cet. I; Jakarta: Gema Isani Press, 1997), h. 88.
[19] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, 2010), h. 19.
[20] Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 164.
[21] Muslih Fathoni, Paham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif (Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 14.
[22] Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 165.
[23] Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 165.
[24] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 254.
[25] Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 165.
[26] Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 166.
[27] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 53.
[28] Fadli Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah: Telaah Pemikiran Imamah Habib Husein al-Habsyi, h. 38.
[29] Muhammad Amin Nurdin, Sejarah pemikiran Islam (Cet. Pertama; Jakarta: Amzah, 2012), h. 187.
[30]Fadli Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah: Telaah Pemikiran Imamah Habib Husein al-Habsyi, h. 39.
[31] Imam Muhammad Abu Zahra, Tarikh al- Madzahih al-islamiyyah, terj. Abd Rahman Dahlan dan Ahmad Qorib, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. h. 45.
[32] Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 159-160.
[33] Fadli Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah: Telaah Pemikiran Imamah Habib Husein al-Habsyi, h. 62.
[34] Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 159.



[1] Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, Edisi pertama (Cet. I; Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), h. 153.
[2] Muhammad Tijani, Al-Syi’ah Hum Ahlu Sunnah, ter. S Ahmad, Syi’ah Sebenar-Benarnya Ahlu Sunah Nabi (SAW): Studi Kritis Imformatif Polemik antara Klaim dan Fakta (Cet. Pertama; Jakarta: El Paraj Publishing, 2007), h. 20.
[3] Sitti Maryam, Damai dalam Budaya: Integrasi Tradisi Syi’ah dalam komunitas AhluSunah Waljama’ah di Indonesia (Cet. Pertama; Jakarta: Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI, 2012), h. 60.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ALIRAN MU’TAZILAH

 Teologi, sebagai mana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk beluk agam an ya se...