Minggu, 14 Januari 2018

POKOK-POKOK AJARAN KHAWARIJ DAN MURJI’AH

Sejarah pemikiran Islam tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kaum muslimin itu sendiri, sehingga keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Pemikiran Islam yang berkembang ibarat sebuah produk sejarah yang dihasilkan oleh para pelaku sejarah yang terlibat di dalamnya. Atau dengan kata lain, perkembangan pemikiran Islam ditentukan oleh cara dan pola pikir kaum Muslimin Ketika itu.
Pada masa-masa awal kenabian, pemikiran Islam belum berkembang seperti ini. Nabi Muhammad saw adalah tokoh sentral yang bertindak sebagai pemimpin agama sekaligus kepala pemerintah yang berwenang penuh dalam mengatur segala aspek kehidupan ummat Islam pada saat itu. Mereka bersatu dibawah satu kekuasaan politik dengan penuh kepatuhan.
Pasca meninggalnya Rasulullah saw, perpecahan ummat Islam mulai nampak. Puncaknya adalah saat dua kubu berseteru (bertikai) yaitu; kubu Ali dan kubu Muawiyah. Konflik kedua kubu inilah yang dianggap sebagai starting point terhadap konflik-konflik yang datang belakangan. Bahkan lebih jauh membagi-bagi umat Islam kedalam kelompok-kelompok dan aliran pemikiran.
Keputusan Ali menerima penyelesaian konflik dengan jalan tahkim (arbitrase), walaupun dilakukan dengan terpaksa ternyata menimbulkan rasa tidak puas dikalangan pasukan Ali sendiri. Mereka yang tidak puas ini memisahkan diri dari barisan Ali dan membentuk kelompok sendiri yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Khawarij.

Lain halnya dengan Murji’ah, tapi tetap masih pengaruh pilitik sehingga aliran/kaum Murji’ah ini terbentuk, berangkat dari adanya suasana caci mencaci, dan tuduh menuduh serta kafir mengkafirkan muncul dikalangan Syi’ah dan Khawarij. Maka ada pihak lain yang merasa tidak tenang untuk berada disalah satu posisi ini, mereka ingin jadi pihak penengah terhadap apa yang diperbincangkan sehingga mereka memilih mengembalikan persoalan ini kepada Allah.
A.    Sejarah Lahir dan Perkembangan kaum Khawarij dan Murji’ah
1.      Kaum Khawarij
Ketika perang Shiffin yang terjadi antara Ali dengan Muwiyah. Pihak Muawiyah hampir kalah lalu mereka mengangkat mushaf pada ujung tombak dan menyerukan perhentian peperangan dengan bertahkim atas usulan Amr bin Ash seorang kaki tangan Muawiyah. Akibat itu golongan Ali terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan yang setuju dengan tahkim dan golongan yang tidak setuju dengan tahkim. Kaum inilah yang dinamakan kaum Khawarij yaitu kaum yang keluar dari Muawiyah dan keluar dari Ali.[1]
Nama Khawarij berasal dari kata Kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka karna keluar dari barisan Ali, tetapi adapula pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100 dari surah an-Nisa, Allah berfirman dalam QS. An Nisa/4 : 100
Terjemahnya:
Dan barang siapa keluar dari rumahnya untuk berhijrah kepada Allah dan rasulNya.[2]
Dengan demikian kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan RasulNya. Disamping nama Khawarij yang secara umum dipakai, dikenal juga dengan nama-nama al Hururiah, al Syurah, al Mariqah dan al Muhakkimah.[3] Adapun alasan mereka menyebut diri mereka Syurah, yang berasal dari kata Yasri (Menjual), sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al Baqarah/2 : 207
Terjemahnya:
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.[4]
Kembali ke persoalan Takhim, adapun yang dimaksud tahkim adalah kedua belah pihak mengirim utusan yang berhak sebagai hakim. Keduanya akan memutuskan perkara yang disepakati bersama untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum. Muawiyah mewakilkan urusan tersebut kepada Amr bin al Ash sebagai wakilnya. Sedagnkan Ali bin Abi Thalib mewakilkan kepada Abu Musa al Asy’ari. Kedua belah pihak menuliskan kesepakatan yang dicapai pada sebuah dokumen resmi. Sebagian prajurit dalam pasukan Ali bin Abi Thalib menilai bahwa tindakan tersebut adalah dosa dan pelakunya kafir. Ia harus bertaubat kepada Allah, mereka yang tidak setuju dengan perdamaian menyatakan keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Kelompok inilah yang dikenal dengan nama al Khawarij. Ali mengirim Ibnu Abbas kepada kelompok ini untuk berdialog dan berdebat dengan mereka. bahkan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib pun turun tangan untuk berdialog dengan mereka secara langsung. Setelah dialog dengan Ali, sebagian dari mereka ada yang bergabung kembali dengan Ali, namun sebagian lagi tetap menolak.[5]
Banyak sekali cerita-cerita seputar Tahkim yang disampaikan oleh para sejarawan dan disajikan dalam buku-buku sejarah. Mereka menganggap bahwa cerita tersebut adalah cerita yang sesungguhnya dan tidak perlu diragukan lagi. Diantara para sejarawan ada yang menyajikan secara panjang lebar, ada yang menyampaikan secara ringkas, dan ada yang menyimpulkan saja untuk diambil sebagai pelajaran.
Selanjutnya kaum khawarij ini mengeluarkan pernyataan-peryataan yang berbau teologis. Mereka misalnya memandang Ali , Muawiyah, Amr bin al Ash, Abu Musa al Asy’ari dan orang-orang yang menerima Tahkim tersebut adalah Kafir karna dalam al Qur’an telah dijelaskan bahwa siapa yang memutuskan sesuatu tanpa berdasarkan kepada al Qur’an, maka Hukumnya Kafir.[6] Adapun ayat yang dimaksud adalah QS. Al Maidah/5 : 44
Terjemahnya :
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.[7]

2.      Kaum Murji’ah
Sebagaimana dengan kaum Khawarij, kaum Murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan akibat persoalan politik, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan dikalangan ummat Islam setelah Usman bin Affan mati terbunuh. Seperti yang telah dilihat, kaum Kahwarij, pada mulanya adalah penyokong Ali, tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karna adanya perlawanan ini, penyokong-penyokong yang tetap setia padanya bertambah keras dan kuat kembelanya dan akhirnya mereka merupakan satu golongan lain dalam Islam yang dikenal dengan nama Syi’ah. Kefanatikan golongan in terhadap Ali bertambah keras, setelah ia sendiri mati terbunuh pula.[8]
Nama Murji’ah berasal dari kata Irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja mengandung pula arti memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan akan amal dari iman. Oleh karna itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukan masing-masing ke hari akhirat kelak.[9]
Menurut Abdul Kadir al Bagdadi, penamaan Murji’ah didasarkan pada doktrin “raja” itu sendiri (penundaan ketentuan hukum bagi pelaku perbuatan dosa). Firman Allah dalam QS al Taubat/9: 106:
Terjemahnya :
Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah; adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima taubat mereka. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[10]
Dengan demikian, kaum Murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika akan mengambil sikap terhadap penentuan hukum kafir atau tidaknya orang-orang yang bertentangan dengan Tuhan.[11] Mereka menganalogikan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar, tidak lantas harus diberikan predikat kafir, tapi tetap mukmin, dan yang berhak atas semua itu hanyalah Allah.
Embrion terbentuknya aliran Murji’ah pada dasarnya memang berawal dari persoalan politik dan konflik saling mengkafirkan. Ada golongan sahabat dari Madinah di bawah pimpinan Abdullah bin Umar di Basrah, Kufah, dan Damaskus yang menarik diri dari konflik politik tersebut, tidak mau melibatkan diri dan berpihak kepada salah satu yang bertentangan. Mereka bersikap netral dan menahan diri, tidak mau mengemukakan pendapat atau pernyataan apapun, terutama tentang peperangan antara Ali dan Thalhah dan kawan-kawan juga peperangan antara Ali dan Muawiyah. Mereka tidak mengajukan pendapat siapa yang salah diantara Ali dan Muawiyah. Penyesalannya terserah pada kepad Tuhan.[12] Atas dasar sikap netral itulah dan tidak ingin terlibat yang berdasar atas pandangan Teologi bahwa penilaian hukum bagi pelaku dosa besa diserahkan kepada Tuhan.
3.      Perkembangan Keduanya
Pada perkembangannya, kaum Khawarij semakin luas dan terbagi menjadi dua golongan. Yang pertama bermarkas disebuah negeri Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum Khawarij yang berada di Persia yang dikepalai oleh Nafi bin Azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan golongan yang kedua bermuara ke Arab Daratan yang menguasai kaum Khawarij yang berada di Yaman, Khadaramaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah bin Ami, dan Abu Fudika.[13]
Lain halnya dengan Murji’ah, perkembangan kaum Murji’ah sangatlah subur pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah, karna bersifat netral sebab tidak memusuhi pemerintah yang sah. Dalam perkembangan berikutnya, lambat laun aliran ini tidak mempunyai bentuk lagi. Bahkan beberapa ajarannya diakui oleh aliran berikutnya, sebagai aliran yang berdiri sendiri, golongan Murjiah ekstrim pun sudah hilang dan tidak didapati pada sebagian ummat Islam yang menjalankan ajaran-ajarannya. Kemungkinan mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya mengikuti ajaran-ajran golongan Murji’ah ekstrim.[14]
B.     Makna-makna dari aliran Khawarij dan Murji’ah
1.      Khawarij
Khawarij adalah satu perkataan yang berasal dari kata kerja “Kharajai” yang berarti “memberontak” atau juga dapat dikatakan sebagai orang-orang yang menentang serta membangkang. Sedangkan A. Syalaby memberi defenisi yakni mereka yang keluar dari kelompok Ali. (Hasaruddin, 2012: 187).
Abu al Fath Muhammad ibn abd al Karim ibn Abi Bakr Ahmad al Syah ristani, menulis dalam bukunya al Milal wa al Nihal:
كل من خرج علي  الامام الحق الذي اتفقت الحماعة عليه يسمي خارجيا سواء كان الخروج عي ايام الصحا بة علي الا ء مة على الراشدين اركان بعد هم على الاء مة ف كل زمان
Al Khawarij dalam pengertian diatas adalah nama yang tercela, karna keluar dari kebenaran yang disepakati oleh jam’ah ummat. tetapi al Khawarij yang dimaksud dalam pengertian ilmu kalam adalah dalam pengertian kelompok orang-orang yang membangkang terhadap Ali. Mereka keluar dari kelompok Ali dan menentang kebijaksanaan Ali menerima tahkim. Dalam bahasa Arab, Kaharaja berarti keluar, maka orang yang keluar dikatakan kharijiy adalah khawarij yang berarti orang-orang yang keluar. (Yunan Yusuf, 2014: 43)
Secara etimologi khawarij adalah bentuk plural dari kharij dan kharij adalah kata turunan dari khuruj, sedangkan khuruj secara etimologi Arab mengandung beberapa makna, diantaranya:
a.       Hari kiamat berkata Abu Ubadah dalam menafsirkan firman Allah: “(Yaitu) pada hari mereka mendengar teriakan dengan sebenar-benarnya itulah hari keluar (dari kubur). QS. 50:42. Khuruj adalah nama dari nama-nama hari kiamat.
b.      Kebangkitan dari kubur, misalnya dalam firman Allah QS. Qamar/54:7 yang artinya “sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kubur seakan-akan mereka belalang yang beterbangan.
c.       Lawan dari masuk, yaitu keluar.

Sedangkan secara terminologi, menurut Syahrastani bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jam’ah baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Nama ini diberkan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali. Sehingga dapat disimpulkan bahwa term Khawarij dalam ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi tahlib yang keluar meninggalkan barisan karna ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali menerima arbitrase (Tahkim), dalam perang siffin pada tahun 37/648 M dengan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan perihal persengketaan Khalifah.[15]
Nama “Khawarij” diberikan kepada golongan yang keluar dai jama’ah Ali menerima tahkim dari Muawiyah dari pertempuran siffin. Mereka dinamakan Khawarij adalah karena mereka keluar dari rumah-rumah mereka dengan maksud berjihad di jalan Allah. Mereka dinamakan juga “syurah” karna merea menganggap bahwa sanya diri mereka telah mereka jual kepada Allah, mereka dinamakan juga “hururiyah” karna mereka pergi berlindung ke suatu kota kecil dari kufah yang bernama Hururah, sebagaimana mereka dinamakan “muhakkimah” karna mereka selalu menggunakan semboyan. “la hukma illa lillah”. (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1992:168).
2.      Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau Arja’a, yang bermakna penundaan, penangguhan dan pengharapan. Al-Irja’a dengan makna dan harapan, seperti pada firman Allah dengan QS. An Nisa/4 : 104
Terjemahnya :
sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan.
Menurut as Syahrastani, jika makna kata Murji’ah yang pertama digunakan untuk menyebut suatu golongan. Makna-makna yang berdua lebih tepat karna mereka menangguhkan perbuatan dari niat dan balasan. Maksudnya adalah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai ke pengadilan Allah swt. Sehingga seorang Muslim sekalipun berdosa besar dalam kelompok ini tetap diakui sebagai muslim dan punya harapan untuk bertaubat. (Azizi Masbullah, 2010 : 8).
C.    Pokok-pokok ajaran Khawarij dan Murji’ah
1.      Khawarij
Adapun doktrin dari kaum Khawarij adalah :
a.       Khalifah atau iman harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
b.      Khalifah tidak harus berasalh dari keturunan Arab. dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
c.       Khalifah dipilh secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh jika melakukan kedzaliman.
d.      Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahan Utsman ra dianggap telah menyeleweng.
e.       Kahlifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng,
f.       Muawiyah dan Amr bin Ah serta Abu Musa al Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
g.      Pasukan perang jawal yang melawan Ali juga Kafir.
h.      Seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim yang lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
i.        Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karna hidup dalam dar harb (negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar Islam (Negara Islam).
j.        Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
k.      Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahar harus masuk neraka).
l.         Amar ma’ruf nahyi mungkar.
m.    Memalingkan ayat-ayat al Qur’an yang tampak mutasyabihat (samar)
n.      Al Qur’an adalah makhluk
o.      Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.[16]
Dalam bukunya pengantar Ilmu Kalam. Salihin A. Nasir menjelaskan ajaran-ajaran pokok Khawarij ialah Khalifah, dosa, dan Iman. Mereka menghendaki kedudukan Khalifa dipiluh secara demokrasi melalui pemilihan bebas. Mereka juga berpendapat. Dosa yang ada hanyalah dosa besar tidak ada pembagian dosa besar. Lalu persoalan iman, menurut Khawarij iman itu bukan hanya membenarkan dalam hati dan ikrar lisan saja, tetapi amal Ibadah menjadi bagian dari Iman. Barang siapa tidak mengamalkan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan lain-lain, maka hafirlah dia.[17]
2.      Murji’ah
Doktrin Murj’ah pada dasarnya adalah merupakan ajaran pokok yang dipegangi yaitu irja’ atau arja’a yang diwujudan dalam berbagai persoalan baik yang sifatnya politik maupun teologis. Misalnya dalam bidang politik, doktrin irja’ selalu disekapi dalam bentuk diam dalam arti tidak mau ikut terlibat. Sedangkan dalam bidang teologis irja’ dikembangkan Murji’ah ketika menghadapi beberapa persoalan yang muncul dan berkembang. Baik masalah iman, kufur maupun status pelaku dosa besar di akhir kelak.
Dalam hal ini, Montgomery Watt seperti yang dikutip oleh Rosihun Anwar dengan membagi doktrin Murji’ah sebagai berikut:
a.       Penangguhan keputusan kepada Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di Akhirat kelak.
b.      Pemberian harapan terhadap orang Muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan Rahmat dari Allah.
c.       Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai ajaran para skeptic dan empiris dari kalangan helenis.

Seperti juga yang disebutkan oleh Harun Nasution, yang dikutip oleh Nurlaela Abbas membagi Teologi Murji’ah ke dalam empat bagian. Yaitu :
a.       Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash, dan Abu Musa al Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allag dihari kiamat.
b.      Menyerahkan keputusannya kepada Allah atas orang Muslim yang berbuat dosa besar.
c.       Menekankan pentingnya keimanan daripada perbuatan.
d.      Memberi penghargaan kepada Mu’min yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.[18]
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Nurlaelah. Ilmu Kalam Sebuah Pengantar. Makassar : Alauddin University Press. 2014.
A.Nasir, Salihun. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta : PT. Grafindo Persada. 1996.
A.Nasir, Salihun. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangan. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. 2012.
Ash Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Jakarta : PT. Karya Unipress. 1992.
As Shallabi, Ali Muhammad, Biografi Ali bin Abi Thalib. Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2012.
Departemen Agama R.I, Al Qur’an dan Terjemahnya. Semarang : PT Karya Toha Putra, 1996.
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta : UI Press. 1986.
Siola, Muh. Nasir, Studi Aliran Kalam dalam Sejarah, Tokoh, dan Pemikiran. Makassar : Alauddin University Press, 2014.
Yusuf, M. Yunan, Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam. Prenadamedia Group. 2014.


[1] Nasir Siola, Studi Aliran Kalam dalam Sejarah, Tokoh, dan Pemikiran (Cet I; Makassar: Alauddin University Press, 2014), h. 17.
[2] Departemen Agam R.I, al Qur’an dan Terjemahnya (Cet II; Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1996)
[3] M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014) h. 44.
[4] Departemen Agama R.I., Al Qur’an dan Terjemahnya.
[5] Ali Muhammad ash Shallabi, Biografi Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2012), h. 670.
[6] Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam Sebuah Pengantar, (Cet I; Samata: Alauddin University Press, 2014 ), h. 86
[7] Departemen Agama R.I, al Qur’an dan Terjemahnya.
[8] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, (Cet V; Jakarta: UI Press, 1986), hal. 22.
[9] Nurlaelah Abbas, Ilmu kalam Sebuah Pengantar, h. 104
[10] Departemen Agama R.I, al Qur’an dan Terjemahnya.
[11] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,h. 22.
[12] Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam Sebuah Pengantar, h. 107.
[13] Nasir Siola, Studi Aliran Kalam dalam Sejarah, Tokoh, dan Pemikiran, h. 20.
[14] Nasir Siola, Studi Aliran Kalam dalam Sejarah, Tokoh, dan Pemikiran, h. 52
[15] Nasir Siola, Studi Aliran Kalam dalam Sejarah, Tokoh, dan Pemikiran, h. 15-17.
[16] Nasir Siola, Studi Aliran Kalam dalam Sejarah, Tokoh, dan Pemikiran. h. 19-20.
[17] Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996), h. 95-98.
[18] Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam Sebuah Pengantar, h. 108. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ALIRAN MU’TAZILAH

 Teologi, sebagai mana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk beluk agam an ya se...