Minggu, 14 Januari 2018

ALIRAN JABARIYAH DAN QADARIYAH

Manusia dan alam merupakan karya atau cipta’an yang begitu luar biasa, keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Manusia membutuhkan alam sebagai sumber kehidupan sedangkan alam membutuhkan manusia sebagai pengelola dan pelestarinya.

Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri. Selanjutnya Tuhan bersifat maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Di sini timbullah pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan. apakah segala yang terjadi terhadap diri manusia adalah kehendak tuhan ataukah manusia itu sendiri yang berkreasi tanpa ada campur tangan Tu­­­han.[1]
Dalam memecahkan persoalan tersebut muncul beberapa paham dan aliran dengan pandangan dan argumennya masing-masing. Salah satunya adalah paham Jabariah yang berpandangan bahwa apa yang terjadi pada diri manusia termasuk perbuatannya adalah ketentuan mutlak Tuhan. Sementara itu muncul paham Qadariah yang merupakan antitesa terhadap pendapat yang mengatakan bahwa manusia sendirilah yang menentukan nasibnya berdasarkan kebebasannya, Tuhan tidak lagi menentukan setiap perbuatan dan tindakan manusia apakah itu perbuatan baik ataupun buruk. Karena Tuhan telah memberikan daya untuk berbuat serta bertindak atas kemauannya sendiri dan kalaupun Tuhan adil, maka Tuhan akan memberikan siksaan atas keburukan serta kenikmatan atas kebaikan yang telah diperbuat.
Kondisi sosiologis masyarakat Arab, dengan suasana teriknya panas dan tanah berupa padang pasir tandus, menjadikan mereka tidak banyak menemukan cara untuk merubah hidup ke arah yang lebih baik. Hal inilah kemudian menggiring pemahaman Jabariah atau fatalism ke dalam paradigma berfikir mereka.[2]
Disamping itu, kuatnya iman terhadap qudrat dan iradat Allah swt, ditambah pula dengan sifat Wahdaniyat-Nya juga mendorong kuatnya pola fikir tersebut.[3]
Kedua paham ini menjadi perbincangan dari masa ke masa hingga mencapai puncaknya pada masa Khalifah Umayyah di bawah pemerintahan Umar bin Abdul Aziz dan Hisam bin Abdul Khalik yang berakhir dengan tragedi pembunuhan terhadap tokoh-tokohnya.
A.    Pengertian Aliran Jabariah
Kata Jabariah berasal dari kata Jabara  yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama Jabariah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.[1] Dalam bahasa Inggris paham ini disebut keterpaksaan atau predestination. Secara tehnis mereka yang memiliki paham fatalism  disebut juga paham Jabariah[2]
Secara terminologi disebutkan bahwa Jabariah adalah suatu paham yang menafikan hakikat suatu perbuatan dari hamba dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah swt.[3]
Oleh karena itu manusia menurut paham ini dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat, atau memilih dalam berkehendak, semua telah di tentukan oleh Allah SW­T.[4]
Masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh paham Jabariah Bangsa Arab yang pada waktu itu bersifat serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir, dengan panasnya yang terik serta tanah dan gunungnya yang gundul. Dalam dunia yang demikian, mereka tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa dirinya lemah dan tak berkuasa dalam menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan suasana padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak tergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalis.[5]
Mengenai asal-usul paham Jabariah di dalam Islam, pada umumnya para ahli sejarah beranggapan bahwa aliran tersebut muncul sebagai akibat paham Yahudi. Dikatakan  bahwa seseorang mengambil paham tersebut dari orang Yahudi di Syam (Suriah), lalu disebarkan dalam dunia Islam.[6]
Namun para ahli sejarah pemikiran tidak menganggap  bahwa paham orang Yahudi sepenuhnya yang mempengaruhi munculnya paham Jabariah Kemunculannya sangatlah mungkin karena pengaruh paham orang-orang Persia yang berlatar belakang agama Zaroster dan Ulam.[7]
Sebenarnya benih-benih paham Jabariah dalam dunia Islam dapat dilihat dari beberapa peristiwa-peristiwa sejarah berikut ini:
a.       Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar mengenai masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.[8]
b.      Khalifah Umar bin Khathab pernah menangkap seorang yang ketahuan mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri ”.  Mendengar  ucapan itu, Umar marah dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang tersebut. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.[9]
c.       Khalifah ‘Ali bin Abi Talib seusai perang Siffin ditanya oleh seorang tua mengenai ketentuan Tuhan kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya, “bila perjalanan (menuju perang Siffin) itu terjadi karena qada dan qadar  Tuhan tidak ada kaitannya dengan pahala sebagai balasannya.” Ali menjelaskan bahwa qada dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Sekiranya qada dan qadar itu merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugurlah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah swt. atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang yang baik.[10]
Paparan di atas menjelaskan bahwa bibit paham Jabariah telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, Jabariah sebagai suatu pola fikir yang dianut, dipelajari dan di kembangkan, baru terjadi di masa Daulah Bani Umayyah. Jabariah pertama kali dicetuskan oleh Ja’ad ibn Dirham. Namun dalam sejarah tertulis bahwa penyebar paham ini adalah Jahm ibn Safwan (w. 127 H/745 M), lahir di kota Samarkand, Khurasan, Iran dan menetap di Iraq. Ia seorang budak yang sudah dimerdekakan (mawali). Aliran ini dimulai di kota Tirmizh (Iran Utara), dan dikenal juga dengan aliran Jahmiah.[11]
2.      Tokoh-tokoh serta Ajaran-ajarannya
Dalam pembahasan tokoh-tokoh dan ajaran-ajarannya, terdapat dua paham  Jabariah yaitu Jabariah ekstrim dan Jabariah moderat:
a.       Jahm Ibnu Safwan.
Jahm Ibnu Safwan adalah tokoh Jabariah ekstrim dari Khurrasan. Ia adalah pendiri golongan Jahmiah  (istilah lain dari Jabariah) dalam kalangan Murji’ah.[12]
Disebut golongan ekstrim karena paham ini berpendirian bahwa manusia tidak mempunyai kehendak dan kemampuan untuk berbuat. Hanya Allah saja yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia.
Manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa, tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan. Manusia dalam perbuatannya adalah di paksa dengan tidak ada kekuasaan dan kemauan serta pilihan baginya.[13]
Mengenai ajaran keterpaksaan manusia dalam melakukan perbuatan, Jahm Ibnu Safwan berkata :
إنالا نسان مجبور فى أفعاله وإنه لاإختيارله وقدرة[14]
Pada redaksi lain al-Syahrastani mengatakan dalam kitabnya al-Milal wa al-Nihal sebagai berikut :
وإنما هو مجبور فى أفعاله لا قدرة له ولاإردة ولا إختبار[15]
Oleh karena itu manusia hanyalah bagaikan benda-benda lain misalnya : pohon berbuah, yang menciptakan buah adalah Allah swt, bukan pohon itu. Manusia tidak ubahnya bulu burung yang di tiup angin. Bulu itu diam atau bergerak di tentukan ada atau tidaknya angin. Jadi segala perbuatan manusia bukan dari hasil kemauannya, melainkan perbuatan yang di paksakan kehendaknya. Termasuk bila manusia mencuri bukan atas kehendaknya melainkan Tuhanlah yang memaksanya mencuri.
b.      Al-Husain ibnu Muhammad an-Najr.
Al-Najr ini di anggap paham Jabariah moderat.[16]  Disebut moderat, karena paham ini tidak menempatkan diri pada paham Jabariah ekstrim. Menurut an-Najr Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia yang jahat maupun yang baik tetapi manusia mempunyai andil dalam perwujudan perbuatan-perbuatan tersebut, yaitu daya yang di ciptakan dalam diri manusia yang di sebut kasb. Kasb ini merupakan suatu daya atau kekuatan dalam diri manusia yang di berikan Tuhan dan dengan kekuatan tersebut manusia dapat mewujudkan perbuatan baik atau buruk. Manusia tidak lagi hanya merupakan wayang yang di gerakkan oleh dalang, tetapi manusia tetap mempunyai bahagian dalam mewujudkan perbuatannya.[17]



B.     Qadariah
1.      Latar Belakang
Qadariah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara  yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun pengertian menurut terminologi Qadariah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat di pahami bahwa Qadariah di pakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini Harun Nasution, menegaskan bahwa kaum Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[18]
Tidak di ketahui secara pasti kapan munculnya paham Qadariah ini, namun munculnya sebagai persoalan teologi didasari oleh faktor internal dan eksternal. Secara internal, Paham Qadariah lahir sebagai reaksi dari paham Jabariah yang telah berkembang pada masa dinasti Umayyah. Paham ini cenderung melegtimasi perbuatan maksiat, perbuatan sewenang, perbuatan aniaya dan sebagainya. Bahkan paham ini telah dianut oleh peguasa Bani Umayyah yang cenderung dalam kezaliman untuk membenarkan tindakan-tindakan mereka, seperti yang di saksikan Gilan al-Dimasyqy (tokoh paham Qadariah) ketika menjabat sebagai sekertaris Negara dalam pemerintahan Umayyah di Damaskus.[19] Ia menyaksikan kemerosotan dari sudut agama, kemewahan istana, sementara rakyat kelaparan, penindasan terhadap rakyat dan sebagainya. Bila diingatkan mengapa melakukan hal itu, dan harus mempertanggung jawabkan di hadapan ummat, dan di akhirat kelak, mereka menolak dan mengatakan kami tidak bias dimintai pertanggung jawaban atas tindakan kami, sebab Tuhanlah yang menghendaki semua itu.[20]
Berdasarkan kasus tersebut, muncullah paham Qadariah sebagai reaksi keras dengan mengatakan manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dengan kemauan dan tenaganya sendiri.[21] Sedangkan faktor eksternal yang menyebabkan munculnya paham Qadariah, yakni pada waktu yang sama (masa Bani Umayyah), kaum muslimin atau orang-orang Arab bercampur dan berinteraksi dengan berbagai macam pemikiran dan pendapat asing, sehingga tidak aneh jika hal itu mengarahkan mereka pada persoalan-persoalan yang sebelumnya tidak pernah terbetik dalam dalam hati mereka. Kemudian kaum muslimin mulai memecahkan persoalan mereka dengan metode yang di sesuaikan dengan keyakinan hati mereka. Dialog itu dapat disimpulkan bahwa semua manusia tidak dapat melakukan sesuatu kecuali dengan pertolongan Allah swt. Kalau begitu di mana posisi kebebasan kehendak dalam diri manusia.[22]
Dialog tersebut terjadi di Damaskus (markas Agama Kristen) dan tersebar ke Basrah (pintu gerbang kebudayaan Islam), di samping itu dari Romawi Timur,[23] salah satu kecenderungan budaya Romawi adalah suka berdiskusi, berdebat dengan menggunakan dalil-dalil logika kebiasaan tersebut berlanjut ketika berada di wilayah kekuasaan khalifah. Kebiasaan seperti itulah yang di kembangkan di tengah-tengah ummat Islam sebagai pemicu munculnya paham Qadariah.
Dengan demikian dapatlah di pahami bahwa problematika ikhtiar manusia menjalar dari Kristen di Damaskus dan Basrah yang berpindah kepada Islam yang dikembangkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan al-Dimasyqy.
Pendapat lain, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam Kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700 M.
Dengan disebutkannya Ma’bad al-Juhani pernah berguru dengan Hasan al- Basri pada keterangan az-Zahabi dalam kitab Mizan al-I’tidal, maka sangat mungkin paham Qadariah mula-mula dikenalkan oleh Hasan al-Basri dalam bentuk kajian-kajian keIslaman, kemudian dicetuskan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi dalam bentuk aliran (institusi).[24]
2.      Tokoh-Tokoh dan Ajaran-ajarannya
a.       Ma’bad al-Jauhani.
Ma’bad al-Jauhani adalah orang pertama yang menyerukan paham Qadariah. Ia lahir di basrah kemudian berkunjung ke Damaskus dan Madinah. Di dua kota inilah ia menantang kejahatan dan kezaliman yang dilakukan oleh sebagian Khalifah Bani  Umayyah. Akhirnya ia terbunuh oleh al-Hajjaj.[25] adapun pendapatnya, ia mengatakan bahwa semua perbuatan manusia di tentukan oleh dirinya sendiri. Kalau Tuhan adil maka Tuhan akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala orang yang berbuat baik, karena itu manusia harus bebas dalam menentukan nasibnya dengan memilih perbuatan yang baik atau buruk (free will).[26]
Oleh karena itu inti ajaran Qadariah yaitu Allah swt tidak menciptakan segala perbuatan manusia. Dia hanya menciptakan kemampuan pada manusia untuk berbuat, Tuhan tidak campur tangan lagi dalam penggunaan kemampuan tersebut, manusia sendirilah yang bebas memilih dan menentukan perbuatannya.
Seiring perjalanan penyebaran paham ini, Ma’bad al-Juhani terlibat dalam gerakan politik menentang pemerintahan Umayyah. Beliau memihak kepada ‘Abdurrahman ibn al-Asy’as, Gubernur Sajistan wilayah kekuasann Bani Umayyah. Dan pada satu pertempuran, Ma’bad al-Juhani terbunuh pada tahun 80H.
Ghailan ad-Dimasyqi menjadi penerus aliran Qadariyah pasca terbunuhnya Ma’bad al-Juhani. Paham ini menyebar luas ke wilayah Damaskus, namun mendapat larangan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah Umar bin Abdul Aziz wafat, penyebaran paham ini dapat berlangsung lama, tapi Ghailan dihukum mati oleh Khalifah Hisyam bin Malik (724-743 M). Ada dialog singkat sebelum dia dibunuh :
“Manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri. Dan manusia sendiri yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri”. [27]
b.      Ghilan al-Dimasyaqy
Ghilan ini seorang orator yang handal, juru debat yang mahir. Ia hidup di Damaskus dekat dangan Bani Umayyah, tetapi hal ini tidak menghalanginya untuk menentang pemerintahan Umayyah. Paham ini segera mendapat pengikut, sehingga tertpaksa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.[28]Mengambil tindakan kekerasan dengan membunuhnya.[29]
وَقُلِ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡۚ إِنَّآ أَعۡتَدۡنَا لِلظَّٰلِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمۡ سُرَادِقُهَاۚ وَإِن يَسۡتَغِيثُواْ يُغَاثُواْ بِمَآءٖ كَٱلۡمُهۡلِ يَشۡوِي ٱلۡوُجُوهَۚ بِئۡسَ ٱلشَّرَابُ وَسَآءَتۡ مُرۡتَفَقًا ٢٩

Terjemahnya:
Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu barang siapa yang mau, berimanlah ia, dan barang siapa yang ingin kafir maka, biarlah ia kafir.[30]
Menurut Qadariah, ayat ini menegaskan bahwa manusia sendirilah yang berbuat dosa, bukan Tuhan, kalau Tuhan yang memperbuat dosa hamba-hambanya, maka tentulah Tahan menganiaya hamba-hambanya.
Melihat pada ayat-ayat tersebut diatas, tidak mengherankan kalau paham Jabariah dan Qadariah, sungguhpun penganjur-penganjurnya yang pertama telah meninggal dunia, masih tetap terdapat di dalam kalangan ummat Islam. Dalam sejarah teologi Islam, selanjutnya paham Qadariah di anut oleh kaum Mu’tazilah sedangkan paham Jabariah, sungguhpun tidak identik dengan paham yang di bawah Jahm ibnu Safwan atau paham Najjar dan Dirar, terdapat dalam aliran al-asy’ariah.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufiq. Ensklopedi Tematis Dunia Islam,Pemikiran dan Peradaban,  Jilid. IV. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Anwar Rasihon. Ilmu Kalam. Cet. III; Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Al-Ghurabi, ‘Ali Mustafa. Tarikh al-Firaq al- Islamiyyah. Kairo Maktabat wa Matba’at Muhammad ‘Ali Sabih wa Awladuh, t. th.
Al-Hafni,Abdul Mun’in. Ensklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab,Partai, dan Gerakan Islam.
Al-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim ibn Abu Bakar Ahmad. Al-Milal wa al-Nihal. Cet. I; Kairo Maktabat Mustafa al-Babi wa Awluduh, 1986.
Dahlan, Aziz. Sejarah Perkembangan Islam. Beuneubi Cipta. Jakarta: 1987.
Ensklopedi Islam, Jilid II, Cet. II; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Hamilton, Sirr. Moh}ammadanisme. diterjemahkan oleh Abu Salamah dengan judul Islam Dalam Lintas Sejarah. Cet. IV; Jakarta: Bratama Aksara, 1983.

Majid, Nurkhalis. Khasanah Intelektual Islam. Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1985.

Madkour, Ibra>him. Al-Islamiyah Manhaj wa Tatbiqu. diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Dengan Judul Aliran Dan Teori Filsafat dalam Islam. Jilid, II Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1983.

Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, dan Analisa Perbandingan. Cet. V; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.
Redaksi Ensklopedi Islam Dewan Ensklopedi Islam, Jilid III (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
T{a>hir, Abdul Mun’im Thaib. Ilmu Kalam, Jakarta: Widjaya, 1986.
Watt, W. Monthgomery. The Majesti Was Islam. diterjemahkan oleh Hartono Hadi Kusumo dengan judul: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Cet. I; Yogyakarta Tiara Wacana Yogya, 1990.
www. ahmad-mubarok. blogspot. com/2008/09/ilmu-kalam. html. pendapat ini mengutip buku Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 70. 


[1]Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi al-lughah wa al-alam, Beirut. Dar Al- Masyriq, 1998. H. 78
[2]Nurchalis Majid, Khasanah Intelektual Islam (Cet. II; Jakarta: Bulan Bintang, 1985) h. 13
[3]Harun Nasution. Op. cit., h. 31
[4]Redaksi Ensklopedi Islam Dewan Ensklopedi Islam, Jilid III (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 348-351    
[5]Ibid.,
[6]Ensklopedi Islam, Jilid II, (Cet. II; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 293.
[7]Ibid.,    
[8]Aziz dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam.  (Beuneubi Cipta. Jakarta: 1987), h. 27-29

[9]Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Kairo, 1958, h. 15
[10]Ibid., h. 28
[11]Faham ini diduga berasal dari filsafat Yunani yang didirikan oleh Zeno (336-264 SM) dari kota Citium pada tahun 30 SM yang kemudian dikembangkan oleh para pengikutnya.
[12]Harun Nasution, op cit., h. 35.
[13]Lihat ibid., h. 36
[14]Ali Musthafa al-Gurabi, op,. cit.  h. 21

[15]Muh}ammad Abdul Karim ibn Abi Bakar Ahmad al-Syahrastan, Al-Milal wa al-Nihal, jilid I (Kairo: Maktabat Mustafa Al-Babiy Wa Awaluduh, 1986), h. 87
[16]Lihat Harun Nasution, op. cit., h. 36
[17]Ibid., h. 35

[18]Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. III; Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 70. Lihat Abdul Mun’in al-Hafni, Ensklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab,Partai, dan Gerakan Islam, h. 494
[19]Lihat W. Montgomery Watt, The majesti Was Islam, diterjemahkan oleh Hartono Hadikusumo dengan judul Kejayaan Islam; Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis (Cet, I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), h. 74
[20]Lihat Nurchalis Majid, Chasanah Intelektual Islam (Cet, III; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 14
[21]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II (Cet,IV; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), h. 37

[22]Ibrahim Madkour, al-Islamiyah Manhaj wa Tatbiqu, diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi dengan judul Aliran Teori Filsafat Islam, jilid II (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara; 1983), h., 4-5
[23]Sir Hamilton A.R. GIBB, Moh}ammadanisme diterjemahkan oleh Abu Salamah dengan judul Islam Dalam LIntasan Sejarah (Cet. IV; Jakarta: Bratama Aksaara, 1983), h. 4-5
[24]www. ahmad-mubarok. blogspot. com/2008/09/ilmu-kalam. html. pendapat ini mengutip buku Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 70.
[25]Lihat Ibrahim Madkour, op. cit., h. 154
[26]Ibid.,
[27]‘Ali al- Mustafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Kairo, tt. Hal. 33.
[28]Taufiq Abdullah, Ensklopedi Tematis Dunia Islam,Pemikiran dan Peradaban,  Jilid. IV (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 351-352.
[29]Taufiq Abdullah, Ensklopedi Tematis Dunia Islam,Pemikiran dan Peradaban,  Jilid. IV (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 351-352.
[30]Departemen Agama, op. cit.,QS Al-Kahfi (18): 29




[1] Harun Nasution, Teolog Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan (Cet. V; Jakarta: Universitas Indonesia press, 1986), h. 33
[2]Ibid., h. 31.
[3]Abdul Mun’im Thaib Thahir, Ilmu Kalam, (Jakarta: Widjaya, 1986), hal 101.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ALIRAN MU’TAZILAH

 Teologi, sebagai mana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk beluk agam an ya se...