Minggu, 14 Januari 2018

TASAWUF MODERAT (Junaid al-Bagdadi)


Tasawuf merupakan ungkapan pengalaman keagamaan yang bersifat subjektif dari seseorang dalam  mendekatkan diri kepada Allah, dengan menitikberatkan pada aspek pemikiran dan perasaan. Bahkan tasawuf banyak juga menyinggung akan penyatuan diri dengan Tuhan serta  menjalankan konsep zuhud di dunia. Akan tetapi Secara umum dapat dikatakan bahwa tasawuf itu merupakan usaha akal manusia untuk memahami realitas dan akan merasa senang manakala dapat sampai kepada Allah.[1]
Artinya, orang yang melakukan tasawuf  akan mengalami ketenangan pada dirinya. Karena hal itu telah dijamin oleh Allah didalam al-Qur’an bahwasanya ketika mengingat Allah. Maka ia akan mengalami ketenangan dalam hatinya. Apalagi didalam Tasawuf terdapat ajaran-ajaran yang menuntut agar ia selalu ingat kepada Allah, agar ia bisa menyatu denganNya.
Dalam taswuf, banyak aliran-aliran tasawuf didalam Islam yang antara satu dan lainnya tidak sama dalam titik tekannya, yang kadangkala membuat para pengikutnya saling mengklim bahwa ajarannyalah yang benar. Sehingga dengan demikian, dalam makalah ini akan membahas mengenai tasawuf Junayd al-Baghdadi, yang corak pemikiran tasawufnya tidak terlepas dari al-Qur’an dan Hadis serta adanya hubungan antara ma’rifat dan syariat, dalam artian keseimbangan keduannya sangatlah penting dalam ranah tasawuf  itu sendiri agar sampai pada bagaimana bisa bersama Allah.
A.     Biografi Junayd al-Baghdadi
Abu al-Qasim Junayd bin Muhammad al-Junayd al-Khazzaz al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn al-Junayd. Ia adalah murid dari Sirri al-Saqati dan Haris al-Muhasibi.[1]
Al-Junayd pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang bernama Sari al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan al-Junayd, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik. al-Junayd meninggal tahun 297 H / 298 M.[2] dan dianggap sebagai perintis dari tasawuf yang bercorak ortodoks.
B.     Pengertian Tasawuf Meneurut Junayd al-Baghdadi dan tokoh lainnya
Mengenai penegertian tasawuf, Junayd al-Baghdadi mengatakan bahwasanya tasawuf ialah engkau bersama Allah tanpa penghubung.[3] Sementara menurut Basyuni mendefinisikan tasawuf ialah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa kepada amal dan perbuatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari kehidupan dunia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat dengan-Nya.[4]
Akan tetapi Junayd al-Baghdadi, lebih memperinci lagi. Ia  membagi definisi tasawuf ke dalam empat  bagian,  yaitu:[5]
  1. Tasawuf adalah mengenal Allah, sehingga hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara.
  2. Tasawuf adalah melakukan semua akhlak yang baik menurut sunnah Rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk.
  3. Tasawuf adalah  melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah.
  4. Tasawuf adalah merasa tiada memiliki apapun, juga tidak di miliki oleh sesiapa pun kecuali Allah.
Sehingga dari definisi-definisi taswuf diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tasawuf  ialah  upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan jalan menyucikan diri dari segala sesutu yang dapat mencegah untuk dekat kepada-Nya. Baik yang berupa perintah maupun yang dilarang oleh Allah.
C.     Pemikiran dan Ciri Tasawuf Junayd al-Baghdadi
Sebelum ajaran tasawuf Junayd al-Baghdadi, terdapat Pandangan-pandangan para sufi cukup radikal, memancing para ahli fikih untuk mengambil sikap. Sehingga muncul pertentangan antara para pengikut tasawuf dan ahli fikih. Ahli fikih memandang pelaku tasawuf sebagai orang-orang zindik, yang mengaku Islam tapi tidak pernah menjalankan syariatnya. Hal ini karena banyak pelaku tasawuf yang secara lahir meninggalkan tuntunan-tuntunan syari’at. Sebaliknya, tokoh zuhud-tasawuf memandang tokoh-tokoh fikih sebagai orang-orang yang hanya memperhatikan legalitas suatu persoalan, banyak penyelewengan dilakukan untuk mendapatkan hal-hal yang sebenarnya dilarang.
Dari adanya hal itu, Junayd al-Baghdadi memberikan penegasan lebih lanjut akan pentingnya amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut al-Junayd,  tasawuf adalah pengabdian kepada Allah dengan penuh kesucian. Oleh karena itu, barang siapa yang membersihkan diri dari segala sesuatu selain Allah, maka ia adalah sufi.
Karena penekanan pada aspek amaliah inilah, maka tasawuf Junayd al-Baghdadi terkesan berusaha menciptakan keseimbangan antara syari’at dan hakikat. Ini merupakan kecenderungan yang berbeda sama sekali dengan tasawuf yang berorientasi pada pemikiran atau falsafah. syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat akan tertolak, demikian pula hakikat yang tidak diperkuat dengan syari’at juga akan tertolak. Syari’at datang dengan taklif kepada makhluk sedangkan hakikat muncul dari pengembaraan kepada yang Haq (Allah).[6] Hal itu berarti kedekatan kepada Allah dapat dicapai manakala orang telah melaksanakan amaliah lahiriah berupa syari’at dan kemudian dilanjutkan dengan amaliah batiniah berupa hakikat.
Al-Junayd dikenal pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada al-Quran dan Hadis.
Hal itu dapat dilihat pada pemikirannya yang disesuaikan dengan firman Allah:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Terjemahannya:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah engkau lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerusakan di bumk Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al Qashash/ 28 : 77).[7]
Dimana pada umumnya orang memahami zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak  terlalu peduli.
Karena diakui atau tidak, bahwasanya tasawuf sebenarnya telah ada sejak Rasulullah, akan tetapi Rasulullah tidak secara langsung meneyebutkannya dengan tasawuf secara gamlang. Hal itu dapat terlihat dari pola hidup serta tata cara beliau dalam segala bentuk hidupnya yang menampilkan dengan penuh kesederhanaan. Namun pada perkembangan selanjutnya tasawwuf mengalami kemajuan yang dikembangkan oleh masing-masing tokoh tasawuf  dengan model masing-masing.
Begituhalnya mengenai masalah hulul dan ittihad yang tetap melandasinya dengan apa yang terdapat didalam ajaran al-Qur’an dan hadis. Artinya tasawuf  Junaid  al-Baghdady ini tetap memandang bahwa pentingnya syariat demi mencapai akhirat. Dimana, ajaran tasawuf al-Junaid ini sama dengan ajaran tasawuf Al-Muhibbi yang memberi tekanan besar pada disiplin diri  atau lebih sepesifik pada disiplin kalbu. Ia memperjelas antara  orientasi ukrawi dan moralitas.[8]
Dari ajaran tasawuf  Junayd al-Baghdadi ini sangat jelas bahwasanya, orang sufi itu tetap diwajibkan menjalankan syariat untuk mencapai kehadirat Ilahi Rabbi. Tanpa menjalankan syariat, seseorang tidak akan sampai kepada Allah.
D. Pandngan Junayd al-Baghdadi Terhadap Zuhud
Pada umumnya orang memahami zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak  terlalu peduli.
Pemahaman seperti itu jelas kurang tepat. Sebab banyak sufi tidak mengartikan zuhud seperti itu. Menurut Junayd al-Baghdadi (210-298 H), misalnya, justru sangat tidak menyukai sikap zuhud demikian. Menurut dia, zuhud model itu hanya akan membawa orang, termasuk sufi, pada kondisi yang tidak menggembirakan. Padahal konsep zuhud adalah dimana kita tetap memiliki harta, namun tidak terlalu mencintainya. Hal ini seperti yang dikatakan Husyain Assabuni bahwa tidak ada zuhud itu meninggalkan harta, akan tetapi bagaimana menggantinya dengan jalan rasa takut didalam hati dan tidak tamak.[9]
Aplikasi zuhud, menurut Junayd al-Baghdadi, bukanlah meninggalkan kehidupan dunia sama sekali, melainkan tidak terlalu mementingkan kehidupan duniawi belaka. Jadi, setiap Muslim termasuk juga para sufi, tetap berkewajiban untuk mencari nafkah bagi penghidupan dunianya, untuk diri dan keluarganya. Letak zuhudnya adalah, bila ia memperoleh rezeki yang lebih dari cukup. ia tidak merasa berat memberi kepada mereka yang lebih memerlukannya.
Berdasarkan pemahaman dan penghayatan Junayd al-Baghdadi tentang zuhud ini, maka tidak berlebihan kalau kemudian ia disebut sebagai “Sufi yang moderat”. Kemoderatan Junayd al-Baghdadi dalam bertasawuf jelas terlihat ketika ia bicara soal zuliud misalnya. Karena  zuhud merupakan pangkal atau dasar dari segala ajaran yang terkandung dalam sufisme yang diyakini oleh setiap sufi. Untuk menjadi sufi, setiap orang harus terlebih dulu menjalani zuhud atau menjadi zahid. Untuk menjadi zahid, seorang sufi harus melepaskan kesenangannya pada benda-benda yang selama ini telah memberinya kenikmatan duniawi. Sebab kesenangan kepada duniawi diyakini sebagai pangkal segala bencana. Sedangkan bencana yang paling besar bagi setiap sufi adalah ketika mereka tidak dapat mendekati dan bersatu dengan Tuhan.
Menurut Junayd al-Baghdadi, setiap Muslim, termasuk juga para sufi, seharusnya mengikuti jejak Rasulullah, yaitu menjalani kehidupan ini seperti manusia biasa, menikah, berdagang, berpakaian yang pantas. tapi juga dermawan, la tidak suka dengan sifat manusia yang apatis.
Kata al-Junyad, “Seorang sufi tidak seharusnya hanya berdiam diri di masjid dan berzikir saja tanpa bekerja untuk nafkahnya. Sehingga untuk menunjang kehidupannya orang tersebut menggantungkan diri hanya pada pemberian orang lain. Sifat-sifat seperti itu sangatlah tercela. Karena sekali pun ia sufi, ia harus tetap bekerja keras untuk menopang kehidupannya sehari-hari, dimana jika sudah mendapat nafkah, diharapkan mau membelanjakannya di jalan Allah.”[10]
Konsep taswuf  al-Junyad sperti itu dapat diterapkan pada keadaan zaman sekarang ini, karena pada kehidupan modern kali ini tidak mungkin seseorang melakukan zuhud yang meninggalkan kehidupan dunia secra total karena masih banyaknya tanggung jawab yang harus di pikulnya serta diperlukan adanya interaksi dengan banyak orang serta urusan dunia yang lain. Maka dengan demikian konsep zuhud yang ditawarkan al-Junayd yang sangat cocok dengan tantangan zaman kali ini.
Selain itu, meski al-Junayd seorang sufi, ia tidak melulu membicarakan soal tasawuf saja, tetapi juga berbagai masalah lain yang berhubungan dengan kemaslahatan umat Islam. Inilah juga yang membuat al-Junayd agak  berbeda dengan para sufi pada umumnya.
Misalnya. al-Junayd sangat peduli terhadap berbagai penyakit yang timbul di masyarakat. Menurut dia, di dalam masyarakat lebih banyak ditemukan orang yang sakit jiwa ketimbang mereka yang sakit jasmani. Itu lantaran jiwa lebih sensitif dan lebih rapuh ketimbang fisik, sehingga jiwa lebih mudah menderita. Lebih lanjut, penyakit jiwa ini lebih merusak jika dibandingkan dengan penyakit fisik. Sebab penyakit tersebut lebih mudah menggerogoti jiwa dan moral manusia. Sedangkan jika jiwa seorang sudah rusak, maka dengan mudah ia akan terseret pada berbagai perbuatan yang menyalahi ajaran agama, yang lebih jauh akan menggiringnya masuk ke dalam neraka.[11]
E. Junayd Al-Baghdadi Dalam Hal Ittihad dan Hulul
Berbicara Ittihad yang dikembangkan oleh al-Busthami dan hulul yang dipopulerkan oleh al-Hallaj atau konsep cinta dan menyatu dengan Allah sangatlah menarik dalam taswwuf. Sehingga radikalisme dan liberalisme tasawuf dapat kita amati dalam fenomena ittihad dan hulul tersebut, yang keduanya memiliki kesamaan dalam menafikan realitas konkret manusia.
Keliaran pemikiran semacam itu dalam pandangan Junayd al-Baghdadi, tidaklah benar. Baginya, dunia tasawuf harus tetap berpijak pada realitas konkret manusia. Pencapaian tertinggi dalam dunia tasawuf hanyalah sampai level mahabbah dan marifah. Dengan demikian eksistensi konkret hamba (ubudiah) tetap terpisah dari eksistensi tuhan (uluhiah). Menurut al-Junaid, syariat tetaplah penting dalam menuju mahabbah dan marifah.[12]
Kendati demikian, dari pemahan itu, manusia menurut al-Junyad bisa mendekati bahkan bersatu dengan Tuhan melalui tasawuf. Dan untuk mencapai kebersatuan itu, orang harus mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat kemakhlukan yang melekat pada dirinya. Walau begitu, kata al-Junayd, sufisme adalah suatu sifat (keadaan) yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia. Artinya, esensinya memang merupakan sifat Tuhan, Tapi gambaran formalnya (lahirnya) adalah sifat manusia.
Di sinilah Junayd al-Baghdadi ingin menegaskan bahwa sesungguhnya diri manusia telah dihiasi dengan sifat Tuhan, sehingga, kondisi tingkat tertinggi dari suatu pengalaman sufistik yang dicapai seorang sufi pada persatuannya dengan Tuhan, juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini seorang sufi akan kehilangan kesadarannya, la tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan lingkungannya, Seluruh perhatiannya hanya tertuju buat Tuhan dengan kehilangan kesadarannya akan keduniaan, maka ia otomatis sedang berada dengan Tuhan.
Pada tingkat yang demikian. seorang sufi merasakan tidak ada lagi jarak antara dirinya dengan Tuhan. Karena sifat-sifat yang ada pada dirinya semuanya sudah digantikan dengan sifat Tuhan. Segala kehendak pribadi manusia lenyap, digantikan dengan kehendak-Nya.
Ketika Junayd al-Baghdadi ditanya mengenai al-Haaq yang dilontarkan pada diri al-Hallaj. Ia tidak mengartikan hal itu langsung kepada arti Allah, tetapi ia mengartikan al-Haqq itu merupakan lawan dari al-Bathil. Al-Hallaj dibunuh dijalan yang benar.[13] Artinya, kata al-Haq yang dikatakan oleh al-Hallaj tersebut menandakan bahwa ia adalah sesuatu yang benar bukanlah Allah. Terlepas dari itu, dapat kita lacak apakah pernyataan al-Hallaj itu ada latar belakang dari apa yang dikatakan. Karna pada saat itu terdapat suatu kekuasan yang besar yang mungkin kebijakannya lepas dari ajaran agama, yang mendorong dirinya berkata demikian.
Junayd al-Baghdadi bahkan berkata, bahwa yang mengetahui Allah hanyalah  Allah sendiri. Demikian pula dengan orang yang dicintai Allah (Nabi Muhammad) yang telah dibukakan tabir 70.000 tabir hijab, hanya tinggal satu hijab antara ia dengan-Nya.[14] Hal itu dapat kita pahami dalam perjalanan Rasulullah saat kejadian Mi’raj. Begitu halnya dengan Nabi-Nabi lain disaat ia berhadapan dengan Allah, beliau tidak mampu melihat secara langsung. Apalagi manusia biasa yang derajatnya jauh dari derajat kenabian itu sendiri.
Bahakan Junayd al-Baghdadi memperlihatkan sikap cukup keras terhadap orang yang mengabaikan syari’at. Ketika diceritakan kepadnya tentang orang yang telah mencapai marifat, kemudian ia dibebaskan oleh Allah dari amal ibadah. Ia justru berkata bahwa orang tersebut sebenarnya berada dalam lumuran dosa dan mereka lebih berbahya dari pada pencuri serta pembuat keonaran.[15]
Dalam hal ini,  Junayd al-Baghdadi ingin menegaskan bahwasanya walaupun orang telah menyatu dengan Allah, baginya tetap dikenakan kewajiban melaksankan aturan-aturan syari’at, yang menandakan bahwa Manusia tetaplah manusia yang tidak akan berubah posisinya menjadi Allah, walaupun ia sedang merasa dalam keadaan ittihat ataupun hulul itu sendiri.
Maka dengan demikian, untuk mencapai persatuan kepada Tuhan, menurut Junayd al-Baghdadi. manusia harus menyucikan batin, mengendalikan nafsu, dan rnembersihkan hati dari segala sifat-sifat kemakhlukan. Setelah kebersatuan dengan Tuhan itu tercapai, seorang sufi kembali tersadar, dan selanjutnya harus mengajak umat, membimbingnya ke jalan yang diyakininya. Maksud dari apa yang ditawarkan al-Junyad ini, diharapkan agar oaring yang bertaswuf harus seimbang antara urusan dunia dan ahirat serta bagaimana didalam perakteknya adanya keterkaitan antara syariat dan hakekat itu sendiri.
(al) Muhasibi, Al-harist. Sederhana penuh berkah,. Diterjemahkan dari al-Wasaya: karangan Abu Abdillah al-harist ibn Hasan al-Muhasibi. Al-haramain, singapurah dan Jeddah, Tt.  PT. Serambi Alam Semista,  2006.
Assabuni, Sayyid Muhammad bin Muhammad Husaain. Ittihafussadatil Muttaqin: bisyarahi ihya’ ulumuddin. Juz II. Bairut: Darul Kutubul Ilmiyah, 1409.
(al) Jerrahi, Syekh Mudzaffer Ozak. Dekap aku dalam kasih sayangmu: Jalan Cinta pendamba Ridha Allah. Penerjemah serambi. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semista, 2006.
(al) Jarrahi, Syekh Tosun Bayrok. Asmaul Husna, makna dan khasiat. Penerjemah, Nuruddin Hidayat. Jakarata: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007.
(al) Qushairy, AI-Risalah  al-Qushairiyah.  Kairo: Dar al-Kutub al-’Arabiyah al-Kubra, 1912.
…………………  Ar-Risalati Al-Qusyairiyyah, Abdul Halim Mahmud, ed. Dar al-Kutub al- Haditsah, 1385 H.
Basuni, Ibrahim.  Nasy’ah at-Tashawwuf al-Islami.  Cairo: Dar al-Fikr, 1969.
Djamil, Abdul. Perlawanan Kiai Desa: pemikiran dan gerakan Islam KH. Ahmad Rifa’i kalisasak. Yogyakarta: LkiS, 2001.
Hasan, Abdul Hakim. At-Tasawuf fi Syi’ir al-‘Arabi,Cairo: Maktabah Anglo Misriyah, 1954
Huda, Sokhi. Tasawuf Kultural: fenomina shalawat wahidiyah,Yogyakarta: LkiS, 2003.
Shalikin, Muhammad. 17 jalan menggapai mahkota sufi, sekh abdulqadir al-Jailani,Yogyakarta: Mutiara Media, 2009.
Sumber Lain:
Http: // Ahmedelkariem.Blogspot.Com/2010/01/Junaid-Al-Baghdadi.Html. 06-12-16.


[1]Abdul Hakim Hasan, At-Tasawwuf fi Syi’ir al-‘Arabi, (Cairo: Maktabah Anglo Misriyah, 1954), 19.
[2]Shalikin, menggapai mahkota sufi, 29.
[3]Sokhi Huda, Tasawwuf Kultural: fenomina shalawat wahidiyah, (Yogyakarta: LkiS, 2003),28.
[4]Ibrahim Basuni, Nasy’ah at-Tashawwuf al-Islami, (Kairo: Dar al-Fikr, 1969), 17.

[6]Al-Qusyairi, Ar-Risalati Al-Qusyairiyyah, Abdul Halim Mahmud, ed., (Dar al-Kutub al- Haditsah, 1385 H),  240.
[7]Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahan,(Bandung: Dipenogoro, 2005), 396.
[8]l-harist al-Muhasibi, Sederhana penuh berkah,. Diterjemahkan dari al-Wasaya: karangan Abu Abdillah al-harist ibn Hasan al-Muhasibi. (Al-haramain, singapurah dan Jeddah, Tt. ( PT. Serambi Alam Semista,  2006), 18.

[9]ayyid Muhammad bin Muhammad Husaain Assabuni, Ittihafussadatil Muttaqin: bisyarahi ihya’ ulumuddin. Juz II, (Bairut: Darul Kutubul Ilmiyah, 1409), 634.
[11]AI-Qushairy, AI-Risalah ai-Qushairiyah,(Kairo: Dar al-Kutub al-’Arabiyah al-Kubra, 1912),10.
[13]Syekh Mudzaffer Ozak al-Jerrahi. Dekap aku dalam kasih sayangmu: Jalan Cinta pendamba Ridha Allah. Penerjemah serambi, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semista, 2006 ), 73.
[14]Syekh Tosun Bayrok al-Jarrahi, Asmaul husna, makna dan khasiat. Penerjemah, Nuruddin Hidayat, (Jakarata: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007 ), 21.
[15]Abdul Djamil, Perlawanan Kiai Desa: pemikiran dan gerakan Islam KH. Ahmad Rifa’i kalisasak, (Yogyakarta: LkiS, 2001), 119.



[1]Muhammad Shalikin, 17 jalan menggapai mahkota sufi, sekh abdulqadir al-Jailani, (Yogyakarta: Mutiara Media, 2009), 29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ALIRAN MU’TAZILAH

 Teologi, sebagai mana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk beluk agam an ya se...