Sabtu, 13 Januari 2018

PERBANDINGAN Aliran-aliran dalam Pemikiran Islam


Dalam sejarah pemikiran Islam, terdapat lebih dari satu aliran teologi yang berkembang. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat liberal, tradisional, dan antara aliran liberal dan tradisional. Kondisi demikian membawa hikmah bagi umat Islam. Oleh karena itu, bagi mereka yang berpikiran liberal dapat menyesuaikan dirinya dengan aliran yang liberal tersebut, sementara bagi mereka yang berpiiran tradisional atau antara liberal dan tradisional, mereka akan menyesuaikan dirinya dengan aliran-aliran yang cocok dengan pemikirannya.
Salah satu pokok persoalan yang menjadi bahan perbincangan para teolog adalah tentang ketergantungan manusia terhadap Tuhan dalam hal menentukan perjalanan hidupnya. Adakah manusia dalam segala aktifitasnya terikat pada kehendak mutlak Tuhan, atau Tuhan telh berkenan memberi kemerdekaan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya serta mengatur perjalanan hidupnya ?[1]
Objek pemikiran kalam itu adalah Tuhan serta hubungan-Nya dengan alam semesta dan isinya, terutama manusia. Malah lebih spesipik lagi, pemkiran kalam itu memusatkan perhatian pada upaya mendefinisikan posisi manusia dalam kaitannya dengan Tuhan sebagai pencipta. Oleh sebab itu, pemikiran kalam akan membicarakan manusia, dalam kaitan dengan kebebasan dan keterkaitannya, sumber pengetahuannya serta persepsinya tentang imam, dan membicarakan Tuhan, dalam kaitannya dengan kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya, keadilan-Nya serta perbuatan dan sifat-sifatnya.[2]
Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-pesoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Persoalan orang berbuat dosa inilah kemudian yang mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya dalam Islam. Persoalannya ialah: Masihkah ia bisa dipandang orang mukmin ataukah ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu?[3] Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Yaitu: Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah.

A. Perbandingan Aliran-aliran
Perbedaan pendapat di kalangan umat Islam pada mulanya di sebabkan persoalan politik yang pada akhirnya menjadi persoalan teologis. Pada masa Al-Khulafaar-Rasyidin, misalnya, banyak muncul masalah akidah yang sebenarnya bermula dari persolan politik. Persoalan khalifah, pengganti Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin umat Islam, yang menyebabkan terpilah-pilahnya umat Islam dalam berbagai aliran teologi.
Dengan demikian, faktor politik dapat memunculkan madzab-madzab pemikiran di lingkungan umat Islam, khususnya pada awal-awal perkembangannnya. Maka, persoalan Imamah (khalifah) menjadi persoalan tersendiri dan khas yang menyebabkan perbedaan pendapat, bahkan perpecahan di lingkungan umat Islam persoalan ini muncul mungkin karena umat Islam menyadari bahwa khalifah adalah amanah Ilahi, yang memiliki tujuan untuk mengembangkan dan menegakkan kultur, menegakkan perdamaian serta menjamin manusia menjadi masyarakat yang tertib, dan lebih jauh lagi memelihara dan menegakkan Islam di muka bumi ini.
Prof. Dr. Ahmad Salaby menegaskan bahwa munculnya persoalan-persoalan di tengah-tengah umat Islam merupakan kelemahan umat Islam itu sendiri. Perbedaan di antara mereka menyebabkan terjadinya perpecahan. Sekalipun ada ungkapan hadis: “Perbedaan pendapat di kalangan umatku itu menjadi rahmat.” Pada praktiknya sulit diwujudkan. Hal ini, bukan berarti agama menjadi sumber konflik, tetapi pemeluknya itu sendiri yang menjadi sumber, yakni pertentangan masalah khilafah dan munculnya sekte-sekte dalam agama.[1]
Sumber pemikiran ilmu kalam adalah al-Qur’an dan al-Hadis. Sumber ini dipahami dan diinterprestasikan oleh umat Islam berdasarkan perkembangan sejarahnya. Dari upaya memahami sumber tersebut, muncullah aliran teologi dalam islam dengan masing-masing memiliki karakteristik dan pola pemikiran yang berbeda.[2] Adapun perbandingan aliran-aliran teologi dalam Islam adealah sebagai berikut:
1.      Imam dan Kufur
Dalam hal ini, para ahli teologi memiliki perbedaan sikap dalam menentukan unsur-unsur tersebut sebagai unsur integral dari iman. Golongan al-Khawarij berpendapat bahwa iman bukan sekedar pengakuan hati (tasdiq bi al-qalb) terhadap keesaan Allah, tetapi amal pun merupakan unsur dari iman. Mereka memandang amal sebagai unsur integral dari iman sehingga menurut mereka seseorang yang bersalah karena dosa besar, ia bukan saja sebagai orang yang berdosa besar tetapi juga seorang kafir, sekalipun ia tetap meyakini keesaan Allah. Al-Muhakkimah, salah satu golongan al-Khawarij asli yang pertama memunculkan paham kafir pada setiap orang yang berbuat dosa besar dan akan kekal di neraka.
Kaum Murji’ah berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun soal dosa besar yang mereka lakukan di tunda penyelesaiannya pada hari kiamat. Golongan Murji’ah ekstrem menyatakan bahwa iman hanya pengakuan atau pembenaran dalam hati (tasdiq bi -qalb). Artinya mengakui dengan hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya. Berangkat dari konsep ini, Murji’ah berpendapat bahwa seseorang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar, bahkan menyatakan kekufurannya secara lisan. Demikian juga tidak kafir bagi orang Islam yang menyembah berhala dan ikut merayakan natal dengan mengikuti ibadah-ibadah kristen di dalam gereja. Menurut mereka yang penting adalah tasdiq dalam hati, sedangkan amal tidak di pandang penting oleh mereka. Pelaku dosa besar menurut mereka tidak kafir dan tidak kekal di neraka, tapi di hukum dalam neaka sesuai dengan dosa yang meeka lakukan. Kalau Tuhan mengampuni, ia bebas dari neraka, kalau tidak mendapat ampunan, ia masuk neraka tetapi akhirnya di keluarkan dan masuk masuk surga.
Persoalan iman dan kafir merupakan persoalan yang mendorong lahirnya golongan Mu’tazilah. Menurut golongan ini iman bukan hanya tasdiq dalam arti menerima sebagai sesuatu yang benar apa yang disampaikan orang lain, tetapi iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tasdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dapat di katakan mukmin. Tegasnya, iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang di katakan orang lain, iman harus aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.[3]
Seseorang yang tidak mengerjakan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan atau mengerjakan hal-hal yang jelas dilarang Tuhan tidak lagi dapat dikatakan mukmin dan tidak juga kafir, tetapi berada pada posisi pertengahan (al-Manzilah baina al-Manzilatain). Tidak dapat dikatakan karena ia telah melakukan dosa besar yang dilarang Tuhan yang menjadikan imanya tidak sempurna, tidak juga dikatakan kafir karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad.
Istilah kafir menurut Mu’tazilah ditujukan pada orang yang berhak menerima siksa berat di neraka. Semestinya ia tidak perlu masuk neraka, tetapi karena ia bukan mukmin ia tidak dapat dimasukkan ke dalam surga. Jadi satu-satunya tempat buat dia adalah neraka, atas dasar keadilan ia dimasukkan ke dalam neraka dengan siksa yang lebih ringan.[4]
Kaum Asy’ariyah yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah memaksakan paham khalq al-Qur’an banyak membicarakan persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melaui wahyu, ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tasdiq.
Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah terhadap Allah (qaulun bi al-Nafs ya tadhamman ma’rifatullah). Oleh karena itu, iman menurut golongan ini hanyalah tasdiq sebab tasdiq merupakan hakikat dan ma’rifah. Siapa yang mengetahui sesuatu itu benar, ia akan membenarkan dengan hatinya.
Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar bi al-Lisan) merupakan syarat iman, tetapi tidak termasuk hakikat iman yaitu tasdiq. Argumentasi mereka adalah Q.S al-Nahl : 106
مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dlam beriman (dia tidak berdosa).” (Q.S. al-Nahl : 106)

Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan terpaksa, sedangkan hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia tetap dipandang mukmin, karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang beradadi luar juzu’ iman. Seseorang yang berdosa besar tetap mukmin karena iman tetap berada dalam hatinya.[5]
Maturidiyah Bukhara memandang akal tidak sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan karena iman tidak bisa mengambil bentuk ma’rifah atau amal, tetapi haruslah merupakan tasdiq. Batasan yang di berikan al-Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa tidakn ada yang serupa dengan Dia. Pengakuan secara lisan merupakan salah satu rukun iman. Mereka mengemukakan argumentasi melalui pendekatan bahasa, iman berarti tasdiq yang harus melalui hati dan lisan. Jadi, kedua unsur ini menjadi rukun dari iman.
Kafir bagi kaum Maturidiyah Bukhara ialah orang yang tidak membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, baik oleh hati maupun lidahnya. Oleh karena itu, orang mukmin yang berdosa besar masih tetap mukmin. Soal dosa besar yang dilakukannya di tentukan Tuhan di akhirat. Jika Tuhan memberi ampunan ia akan masuk surga, tetapi tidak ia dimasukkan ke neraka dan di siksa sesuai dengan dosa besar yang diperbuatnya.[6]

2.      Akal dan Wahyu
Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunya wahyu wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula menegerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib.
Dalam pendapat Asy’ariyah segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman.[7]
Maturidiyah, bertentangan dengan Asy’ariyah tetapi sepaham dengan Mu’tazilah, juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui keawajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan. Dalam pendapat Mu’tazilah orang yang berakal, muda-tua, tak dapat diberi maaf dalam soal mencari kebenaran. Dengan demikian, anak yang telah berakal mempunyai kewajiban percaya pada Tuhan. Jika ia sekiranya mati tanpa percaya pada Tuhan, ia mesti diberi hukum. Dalam Maturidiyah anak yang yang belum balig, tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Tetapi Abu Mansur al-Maturidi berpendapat bahwa anak yang telah berakal berkewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hal ini tak terdapat perbedaan antara Maturidiyah dan Mu’tazilah.[8]
3.      Zat dan Sifat Tuhan
Aliran Mu’tazilah yang memberikan kepada akal daya yang besar berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dikatakan mempunyai sifat-sifat jasmani. Bila Tuhan dikatakan mempunyai sifat jasmani, demikian Qadi Abd al-Jabbar, tentulah Tuhan itu mempunyai ukuran panjang, lebar, dan dalam, atau Tuhan diciptakan sebagai kemestian dari sesuatu yang bersifat jasmani.[9]
Asy’ariyah sebagai aliran kalam, tradisonal yang memberikan kepada akal daya yang kecil, juga menolak paham Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani bila sifat jasmani dipandang sama dengan sifat jasmani manusia. Namun ayat-ayat al-Qur’an, kendatipun menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani, tidak boleh ditakwilkan  dan harus di terima sebagai mana makna harfiah. Oleh sebab itu Tuhan dalam pandangan Asy’ariyah mempunyai mata, wajah, tangan serta bersemayang di singgasana. Namun semua itu di katakan ia yukayyaf wa la yuhad (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasannya).
Aliran Maturidiyah Bukhara berbeda dengan Asy’ariyah, sebagaimana aliran lain, Maturidiyah Bukhara juga berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat jasmani haruslah diberi takwil. Oleh sebab itu, menurut al-Bazdawi, kata istaway  haruslah dipahami dengan arti al-istila’ala al-Syai’i wa al-Qahr ‘alaihi (menguasai sesuatu dan memaksanya). Demikian juga ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai dua mata dan dua tangan, bukanlah berarti Tuhan mempunyai anggota badan.[10]
Kaum Syi’ah juga menyakini bahwa Allah swt itu esa, tempat bergantung semua makhluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk yang ada di bumi ini. Namun, menurut mereka Allah memiliki 2 sifat yaitu tsubutiyah yang merupakan sifat yang harus dan tetap ada pada Allah swt. Sifat ini mencakup ‘alim (maha mengetahui), qadir (maha berkuasa), hayy (maha hidup), murid (maha berkehendak), mudrik (maha cerdik), qadim azali baqi (maha kekal, azaly, maha tetap), mutakallim (maha berfirman), dan shaddiq (maha benar). Adapun sifat kedua yang dimiliki oleh Allah swt yaitu salbiyah yang merupakan sifat yang tidak mungkin ada pada Allah swt. Sifat ini meliputi antara tersusun dari beberapa bagian, berjisim, bisa dilihat, bertempat, bersekutu, berhajat kepada sesuatu dan merupakan tambahan dari dzat yang telah dimiliki-Nya.[11]
4.      Perbuatan Tuhan
Dalam uraian tentang kekuasaan mutlak dan keadilan Tuhan, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat di simpulkan dalam satu kewajiban, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia.
Bagi kaum Asy’ariyah, paham Tuhan mempunyai kewajiban tidak dapat diterima, karena hal itu bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang mereka anut. Paham mereka bahwa Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk mengandung arti bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa sebagai kata al-Ghazali perbuatn-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (ja’iz) dan tidak satupun dari padanya yang mempunyai sifat wajib. Tuhan demikian al-Asy’ari, sekali-kali tidak mempunyai kewajiban terhadap hamba-Nya.
Kaum Maturidiyah Samarkand, sebagai telah diliat di atas, memberi batasan-batasan kepada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dan dengan demikian dapat menerima paham adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menempati janji tentang pemberian upah dan pemberian hukuman.[12]
Kaum Syi’ah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat maha adil. Allah tidak pernah melakukan perbuatan zalim ataupun pebuatan buruk yang lainnya. Allah tidak melakukan sesuatu kecuali atas adsar kemaslahatan dan kebaikan umat manusia. Menurut kaum Syi’ah semua perbuatan yang dilakukan Allah pasti ada tujuan dan maksud tertentu yang akan dicapai, sehingga segala perbuatan yang dilakukan Allah swt adalah baik. Jadi dari uaraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep keadilan Tuhan yaitu Tuhan selalu melakukan perbuatan yang bak dan tidak melakukan apapun yang buruk. Tuhan juga tidak meninggalkan sesuatu yang wajib dikerjakan-Nya.[13]
Ibn Taimiyyah menegaskan bahwa mazhab salaf ialah mengimani qadar yang baik maupun yang buruk, kekuasaan Allah dan kehendak-Nya yang bersifat mutlak. Allah menciptakan hamba dan segenap potensi yang dimilikinya, sedangkan hamba melakukan apa saja yang dikehendakinya dengan kekuasaan dan kehendak-Nya. Berkenaan dengan hal ini, Ibn Taimiyyah berkata: “seyogyanya diketahui bahwa menurut madzhab salaf, Allah lah yang menciptakan segala sesuatu, Allah menciptakan hamba sebagai makhluk yang berkeluh kesah dan kikir. Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesh dan apabila mendapatkan kebaikan ia amat kikir. Hamba adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya, tetapi Allah lah yang mempunyai kehendak, kekuasaan dan kemauan.” Allah berirman :

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ لِمَن شَاءَ مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ

“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah.” (Q.S. al-Takwir 81: 28-29)

Ibn Taimiyyah mengakui bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak dan hamba mempunyai daya serta dapat merasakan efek kekuasaan Allah itu. Dengan demikian Ibn Taimiyyah mengakui tiga hal yaitu:
1)      Allah adalah pencipta segala sesuatu
2)      Hamba adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya serta mempunyai kemauan dan kehendak yang sempurna yang membuatnya bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya
3)      Allah memudahkan, meridhai, dan menyukai perbuatan baik, serta mempersulit perbuatan buruk dan tidak menyukainnya.[14]
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Amin Nurdin dan Afifi Fauzi. Sejarah Pemikiran Islam, Cet I; Jakarta: Amzah, 2011

Abu Zahrah, Imam Muhammad. Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam, Cet I; Jakarta: Logos Publishing , 1996
Ghazali, Adeng Muchtar. Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern, Cet I; Bandung: Pustaka Setia, 2005
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan, Jakarta: UI Press, 2013
Yusuf, M. Yunan. Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, Cet I; Jakarta: Prenadamedia Group, 2014

Siola, Muh. Natsir. Studi Aliran Kalam dalam Sejarah, Tokoh, dan Pemikiran, Cet I; Makassar: Alauddin University Press, 2014




[1] Adeng Muchtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern (Cet I; Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 52
[2] Ibid, h. 61
[3]  Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, Ibid, h. 267
[4] Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, Ibid, h. 268
[5]  Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, Ibid, h. 270
[6] Ibid, h. 271
[7] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, dan Perbandingan, Ibid, h. 80 
[8] Ibid, h. 87
[9]  M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, Ibid, h. 139
[10] Ibid, h. 140
[11] Muh. Natsir Siola, Studi Aliran Kalam dalam Sejarah, Tokoh, dan Pemikiran (Cet I; Makassar: Alauddin University Press, 2014), h. 33
[12] Harun Nasution, Teologi Islam, Ibid, h. 128
[13]  Muh. Natsir Siola, Studi Aliran Kalam dalam Sejarah, Tokoh, dan Pemikiran, Ibid, h. 33
[14] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam (Cet I; Jakarta: Logos Publishing , 1996), h. 241 


[1] Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam (Cet I; Jakarta: Amzah, 2011), h. 31
[2] M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi (Cet I; Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), h. 104
[3]  Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2013), h. 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ALIRAN MU’TAZILAH

 Teologi, sebagai mana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk beluk agam an ya se...