Minggu, 14 Januari 2018

Mahhabbah dan Ma`rifah


Tasawuf merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan diri kepada Allah, sebuah kesadaran akan adanya komunikasi dengan Allah. Komunikasi yang harus dijalin di setiap saat, tanpa mempertimbangkan apapun. Sehingga pangkat atau maqom tertinggi yang patut diperoleh untuknya. Tetapi pada perkembangannya, sebagian mutashawifin memberikan istilah yang berbeda-beda dalam menamakan puncak maqamat atau tempat-tempat sebagai perhentian yang harus dilewati oleh para sufi atau pejalan spiritual sebelum bisa mencapai akhir perjalanan tersebut, baik itu yang disebut ma’rifah, ,maupun mahabbah (kecintaan) kepada Allah SWT. Seperti Robi’ah al Adawiyyah dengan teorinya ”al Mahabbah”. Yang berpandangan bahwa beribadah hanyala murni karena cinta kepada sang Khaliq, bukan karena takut akan siksaan neraka dan bukan karena merahi janji kenikmatan surga.
Disisi lain, Hujjah al-Islam Imam al-Ghazali memberikan istilah al Ma’rifah bagi manusia yang sudah berada pada derajat yang tertinggi. Beliau berpendapat bahwa tidaklah cukup seseorang mengenal Allah dengan akal saja, tetapi harus dengan perantara intuitif (berdasar bisikan/gerak hati).


A.     Pengertian Mahabbah dan Ma’rifah
1.      Mahabbah
Mahabbah artinya cinta. Hal ini mengandung maksud cinta kepada Tuhan  lebih luas lagi, bahwa “Mahabbah” memuat pengertian yaitu:
a.       Memeluk dan mematuhi perintah tuhan dan membenci sikap yang melawan pada tuhan.
b.      Berserah diri pada Tuhan.
c.       Mengkosongkan perasaan di hati dari segala-galanya kecuali dari zat yang dikasihi.[1]
Mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja pada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sunguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak,yaitu cinta kepada Tuhan.[2]
Tentang “Mahabbah” dapat kita jumpai dalam al-Quran antara lain dalam Surah Al-imran ayat  31:
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçR茠3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÊÈ
Terjemahnya:   Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Imran Ayat 31).
Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan “seluk-beluk” cinta atau mahabbah tersebut, namun yang pasti, mahabbah pada dasarnya merupakan sebuah sikap operasional. Dengan kata lain, konsep mahabbah (cinta kepada Allah) adalah salah satu ajaran pokok yang memungkinkan Islam membawa rahmat bagi seluruh isi alam. Cinta pada hakikatnya bukanlah sebutan untuk emosi semata-mata yang hanya dipupuk di dalam batin saja, akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada kegiatan nyata sekaligus menjadi sumber keutamaan moral.
Hanya saja dalam perjalanan sejarah umat Islam, “cinta” atau “mahabbah” telah menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi. Mereka menggeser penekanan cinta kearah idealism emosional yang dibatinkan secara murni. Sehingga di kalangan sufi, mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam penempatannya maupun dalam pengertiannya. Kalau makrifat merupakan tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang mahabbah adalah merupakan perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa terisi oleh rasa kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan, sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi”diri yang dicintai”. Oleh karena itu menurut  al-Gazali, mahabbah itu adalah manifestasi dari makrifat kepada Tuhan.[3]
Demikian cintanya orang-orang sufi kepada Tuhan, mereka rela mengorbankan dirinya demi memenuhi keinginan Tuhannya. Olehnya itu, cinta atau mahabbah pada hakikatnya adalah lupa terhadap kepentingan diri sendiri, karena mendahulukan kepentingan yang dicintainya yaitu Tuhan. Mahabbah adalah suatu ajaran tentang cinta atau kecintaan kepada Allah. Tetapi bagaimana bentuk pelaksanaan kecintaan kepada Allah itu tidak bisa dirumuskan secara pasti karena hal itu menyangkut perasaan dan penghayatan subyektif tiap sufi.
Selain itu, uraian di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah adalah merupakan sebua keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Hal bertalian dengan maqam karena hal bukan diperoleh atas usaha manusia, melainkan karena anugrah dan rahmat dari Tuhan.
2.      Ma’rifah
Istilah Ma’rifah berasal dari kata al-Ma’arif, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Apabila di hubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka istilah Ma’arif disini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam Tasawuf.[4] Ma’rifah berasal dari kata ‘Arafa,Ya’rifu,Irfan, ma’rifah yang artinya pengetahuan atau pengalaman.[5] Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini di dasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakekat itu satu, dan segala yang maujud (yata) berasal dari yang satu.[6]
Harun Nasution menyebutkan bahwa Rabi'ah, dengan pembagian dua cintanya, telah menggambarkan peralihan dari mahabbah ke ma'rifah. Rasa cinta yang tulus kepada Tuhan dibalas Tuhan, yaitu terbukanya tabir antara manusia dengan Tuhan, dan sufi pun melihat Tuhan dengan mata hati.[7]
Tentang mari'fah, Rabi'ah sendiri pernah berkata: "Buah ilmu rohani adalah agar engkau palingkan mukamu dari makhluk agar engkau dapat memusatkan perhatianmu hanya kepada Allah saja, karena ma'rifah itu adalah mengenal Allah sebaik-baiknya."[8]
Uraian di atas telah menginformasikan bahwa ma’rifah adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang di berikan kepada hambaNya melalui pancaran cahaya-Nya yang di masukkan Tuhan kedalam hati seorang sufi. Dengan demikian Ma’rifah berhubungan dengan nur (cahaya Tuhan). Di dalam Al Qur’an, di jumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur di ulang dan sebagian besar di hubungkan dengan Tuhan Yang tiada di beri cahaya misalnya dalam Surah al-Zumar ayat 22:
Terjemahnya: Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka Kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang Telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (QS. Al-Zumar:22)
B.     Mahabbah dan Ma’rifah: Rabi’ah al-Adawiyah, Ma’ruf al-Kharkhi dan Dzul-Nun al-Misri
1.      Rabi’ah al-Adawiyah
Hampir seluruh literatur bidang Tasawuf menyebutkan bahwa  tokoh yang memperkenalkan ajaran mahabbah (cinta) adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini didasarkan pada ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut.
Rabiah al-Adawiyah (714-801 M) adalah seorang zahidah perempuan yang amat besar dari Basrah dan Irak.[9] Sumber lain menyebutkan bahwa ia meninggal dunia dalam th 185H/796. M.[10]
Kelahirannya diliputi bermacam cerita aneh-aneh pada malam ketika ia lahir, di rumah tidak ada apa-apa, bahkan minyak untuk menyalakan lampu pun tidak ada, juga tidak di temui sepotong gombal pun untuk membungkus bayi yang baru di lahirkan itu. Rabiah kehilangan kedua orang tuanya waktu iamasih kecil. Ketiga kakaknya perempuan juga meninggal ketika wabah kelaparan melanda Basra. Ia sendiri jatuh ketangan  orang yang kejam, dan orang ini menjualnya sebagai budak. Rabiah menghabiskan waktunya dengan melaksanakan segala perintah majikannya, sedangkan malam harinya ia selalu berdoa. Pada suatu malam ,majikanya melihat tanda kebesaran rohani Rabiah, ketika Rabiah berdoa kepada Allah:” Ya Rabbi, Engkau telah membuatku menjadi Budak belian seorang manusia sehingga aku mengabdi kepadanya, seandainya aku bebas pasti akan persembahkan seluruh waktu dalam hidupku ini untuk berdoa kepadaMu”. Tiba tiba tampak cahaya di dekat kepalanya,dan melihat itu majikannya sangat ketakutan,Esok harinya Rabiah di bebaskan.[11]
Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadah, bertaubat dan menjaui hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang di berikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang di panjatkan ia tak mau meminta hal hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.
Riwayat lain mnyebutkan bahwa ia selalu menolak lamaran lamaran pria shalih,dengan mengatakan;”Akad nikah adalah bagi milik kemaujudan luar biasa(Allah). Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepa  naungan firmanNya. Akad nikah mesti di minta dariNya (Allah), bukan dariku.[12]
Cinta Rabiah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu pada Tuhan, terlihat dari ungkapan doa-doa yang di sampaikannya. Ia misalnya berdoa”Ya Tuhanku,bila aku menyembahMu lantaran takut pada neraka,maka bakarlah diriku dalam neraka,dan bila aku menyambahMu karena mengharap Surga, maka jauhkanlah aku dari surga, namun jika aku menyembahMu hanya demi engkau, maka janganlah engkau tutup keindahan AbadiMu”.
Selain itu diantara doa-doa yang tercatat berasal dari Rabiah ada yang dipanjatkannya pada waktu larut malam, di atas atap rumahnya. “Tuhanku, binatang-binatang bersinar gemerlapan,manusia sudah tidur nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik msuk masuk dengan kesayangannya, dan disinilah aku sendirian bersama Engkau”.[13]
Menurut Rabiah, ada tiga aspek yang terkandung dalam mahabbah (cinta), yaitu; kepuasan hati (ridha), kerinnduan(syauq), dan keintiman (uns):
1)       Ridha yakni adanya ketaatan tanpa disertai adanya penyangkalan, dari seorang pencinta, untuk bertemu kekasih. Ridha ini mempunyai dua sisi; subyektif dan obyektif; terdapat kepuasan antara manusia dengan Tuhannya dan keridhaan Allah kepada manusia. Ada empat golongan manusia yang ridha kepada Allah :
a.       Mereka yang ridha dengan pemberian-pemberian Allah, yaitu ma’rifat.
b.      Mereka yang ridha pada kebahagiaan, yaitu dunia ini.
c.       Mereka yang ridha terhadap penderitaan, yaitu bermacam-macam ujian.
d.      Mereka yang merasa ridha menjadi pilihan Tuhan, yaitu cinta.
2)        Syauq, adalah kerinduan pecinta untuk bertemu dengan kekasih. Al-Sarraj berpendapat bahwa kerinduan (syauq) sebagai api Yang Maha Tinggi yang Dia nyalakan di setiap hati para sufi sehingga mampu membakar semua nafsu, keinginan, rintangan dan kebutuhan duniawi yang ada di hati mereka. Tingkatan tertinggi dari syaq ini dapat dicapai oleh seorang yang mampu melihat Tuhannya berada dekat sekali dengannya, dan melihat Tuhannya itu selalu ada dan tidak pernah meninggalkannya.
3)        Uns adalah hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual. Dalam kondisi ini sang penyembah merasa terpesona, sedangkan sang kekasih merasakan keintiman juga. Ini merupakan kebahagiaan sang kekasih. Tingkatan tertinggi dalam Uns, sebagaimana dalam Syauq akan menjadi uns yang tidak disadarinya, dalam pengertian penghormatan ( di dalam kehadiran Allah), kedekatannya kepada Allah, dan kebesaran-Nya semua unsur ini menyatu menjadikan suatu keintiman yang Agung.[14]
2.      Ma’ruf al-Kharkhi
Nama lengkapnya adalah Abu Mahfuz Ma’aruf bin Firuz al-Karkhi. Ia berasal dari Persia, namun hidupnya lebih lama di bagdad. Ia meninggal di kota ini juga pada tahun 200 H/815 M. Ia dikenal sebagai sufi yang selalu di liputi rasa rindu kepada Allah SWT sehinnga ia di golongkan ke dalam kelompok auliya. Dia di pandang sangat berjasa dalam meletakkan dasar-dasar tasawuf. Dan dia adalah pertama yang mengembangkan tasawuf dari pada cinta yang di bawa oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Ia mengatakan bahwa timbulnya rasa cinta kepada Allah itu bukan karena diusahakan melalui belajar, tetapi datangnya semata-mata karena karunia Allah.[15]
Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya, orang tua Ma’ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga,” tapi, Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa. Mendengar jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.[16]
Menurut para peneliti Barat yang di antaranya Nicholson yang mencoba menghubungkan antara timbulnya ide memperoleh hakikat (ma’rifat) dengan latar belakang keagamaan Ma’ruf al-Karkhi di masa kecilnya. Menurut Nicholson ide itu berasal dari ajaran agama yang dipeluknya yang dahulu ialah Kristen atau Sabiah. Pendapat yang seperti ini hanya merupakan dugaan alasannya pada masa kecil Ma’ruf al-Karkhi belum tentu mengenal ajaran tentang hakikat bahkan dugaan besar ia belum mengenalnya karena usianya yang masih muda. Muncul ide mencai hakikat itu, mungkin saja hasil dari tafakur atau renungannya dalam tasawuf.[17]
Menurut sufi bahwa Ma’ruf al-Karkhi seperti halnya para zahid dan shufi lainnya. Ma’ruf al-Karkhi terkenal di kalangan shufi memiliki banyak keramat yang di antaranya ketika terjadi kemarau panjang ia berdoa dalam shalat istisqa meminta hujan, sebelum doanya selesai hujan turun.
Masih menurut Ma’ruf, seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.
3.      Dzun-nun al-Misri
Nama lengkap Dzun-nul al-Misri adalah Abu al-Faid Saubun bin Ibrahim Dzun-nul al-Misri. Dia lahir di Ekhimim yang terletak di kawasan mesir hulu pada tahun 155 H/770 M. Banyak guru-guru yang telah di datanginya dan banyak pengembaraan yang telah dilakukannya baik di negeri arab maupun Syira. Pada tahun 214 H/829 M. Menurut biografi-biografi pada sufi, dia adalah salah seorang yang pada masanya terkenal keluasan ilmunya, kerendahan hatinya dan budi pekertinya yang baik. Dalam tasawuf posisinya dipandang penting karena dia itulah yang pertama di mesir yang memperbincangkan masalah ahwal dan maqamat para wali. Dalam tasawuf Dzun-nul al-Misri dipandang sebagai bapak paham ma’rifah.[18]
Dalam dunia tasawuf, Dzun-nul al-Misri dianggap sebagai bapak teori ma’rifah. Menurutnya ma’rifah tentang Tuhan terkatagori ke dalam 3 golongan:
Pertama, pengetahuan orang awam.
Kedua, pengetahuan para Filosof dan Ulama
Ketiga, pengetahuan Sufi.
Menurut Harun Nasution, yang dimaksud dengan ma’rifah versi awam adalah meyakini Tuhan Yang Maha Esa melalui dua kalimat Syahadat. Filosof dan Ulama melalui logika (yang lebih tinggi derajatnya), sedangkan Sufi melalui hati sanubari.[19]
Pengetahuan yang paling hakiki dari ketiga katagori di atas, adalah pengetahuan sufi yang disebut dengan Ma’rifah ini hanya dimiliki oleh Sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan mata bathinnya. Dalam hal ini ialah yang tertinggi dan meyakinkan, karena diperoleh bukan melalui belajar, usaha, dan pembuktian, tetapi ia adalah ilham yang dilimpahkan Allah ke dalam hati yang paling rahasia pada hambanya sehingga ia mengenal Tuhannya dengan Tuhannya. Setelah seseorang memasuki dunia ma’rifah ia akan berpandangan : “memandang sesuatu melalui Allah, mengembalikan segalanya pada-Nya dan memintanya kembali pada-Nya”.[20]
Hal ini dipertegas oleh pernyataan Dzunnun :“aku mengenal Tuhanku melalui tuhanku, dan sekiranya bukan Tuhanku, aku tidak akan mengenal Tuhanku”.[21]
Apabila diuraikan kata itu berarti bahwa pengenalannya akan Tuhan adalah karena dan melalui Tuhan. Selanjutnya menurut Harun Nasution ada tiga alat dalam tubuh manusia yang dipergunakan Sufi dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Ketiga alat tersebut adalah Qalb (untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan), ruh (untuk mencintai Tuhan) dan Sir (untuk melihat Tuhan). Qalb merupakan wadah ruh, sedangkan sir sendiri bertempat pada ruh yang dapat menerima Nurul Anwar jika qalb dan ruh sudah suci. diwaktu itulah sufi melihat Allah SWT. Di sinilah seseorang mencapai tingkat ma’rifat. Sesuatu yang perlu diingat bahwa ma’rifah adalah proses perjalanan Sufi yang bersifat kontinuitas. Dalam arti, semakin banyak ia memperoleh ma’rifah, semakin banyak pula pengetahuannya terhadap rahasia-rahasia Allah, tetapi tentu tidak semua rahasia-Nya.
Menurut Harun Nasution, konsep ma’rifah Dzunnun tidak merefleksikan ahwal bagi seorang sufi. Itu jelas terlihat dari ungkapan beliau, Dzunnun al Misri kelihatannya baru sampai pada ma’rifah”. Sedangkan Dr. Muhammad Abu Rayan secara kritis menilai bahwa memang Dzunnun tidak mengungkapkan secara terang-terangan tentang refleksi ma’rifahnya, tetapi dalam akhir sejarah perkembangan pemikirannya, Ia berpendapat bahwa refleksi dari ma’rifah adalah al-Fana (penyatuan wujud rohani manusia dengan Tuhan).Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Dzunnun sendiri : “Seorang Mukmin apabila beriman kepada Allah, lalu tertanam imannya, ia akan takut kepadaNya. Dan jika Ia takut kepada Allah, akan lahir dari ketakutan tersebut kharisma Allah. Dan jika kharisma Allah menetap dalam tubuh manusia, ia akan senantiasa taat kepada-Nya. Jika seseorang taat kepada-Nya, maka akan lahir raja’, jika raja’ telah tertanam, akan lahir al-Mahabbah. Jika Mahabbah telah melekat pada hati seseorang, maka akan diikuti oleh Syauq (kerinduan). Dan jika seseorang selalu merindukan Tuhan, maka kerinduan tersebut akan melahirkan al-Uns. Setelah itu ia akan tenang bersama Allah SWT. Ketika demikian hari-harinya akan terlewati dengan kenikmatan lahir maupun bathin”[22].
Deskripsi ini yang menginginkan agar pancaran nur Ilahi sampai harus melalui tahapan-tahapan berupa :
1.      Iman (kesadaran diri bahwa ia selalu berada dalam pengawasan Allah SWT).
2.      Khauf (sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya)
3.      Taat (melaksanakan yang diperintahkan oleh Allah dengan sebenar-benarnya)
4.      Raja’ (sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia Allah).
5.      Mahabbah (perasaan kedekatan dengan Allah melalui cinta)
6.      Syauq (rasa rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni)
7.      Uns (keadaan jiwa terpusat pada Allah).

DAFTAR PUSTAKA
Abudin, Nata. Akhlak Tasawuf,(Jakarta: Rajawali pers.2012)
Abuddin, Nata. Akhlak Tasawuf,(Jakarta:Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4,2002).
A.J.Arberry, Pasang surut aliran Tasawuf (Bandung:Mizan,Cet 1,1985)
As, Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf.(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2002).
Hamka.Tasawuf  perkembangan dan Pemurniaannya (Jakarta:Pustaka Panji mas,1984)
IAIN Sumatera Utara,Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatera Utara,1983)
Jamil Saliba, Mu’jam al-Falsafi, jilid 2,(Beirut:Dar al-Kitab 1979)
Kamus Yunus, Kamus Arab Indonesia,(Jakarta:Hidakarya Agung, 1990)
Mahmud, Abdul Halim.Dzunnun Al-Misri.(Mesir:Al Ma’arif,1996)
Muhammad Fu’ad, Abd Al-Baqo, al Mujam al Mufahras li afadz al Qur’an al- karim,(Beirut,DaralFikr,1987)

Mustofa. Akhlak Tasawuf,(Bandung:Pustaka setia,2014)

Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam,(Jakarta,Bulan bintang 1983)
Nasution, Harun.Falsafah dan Mistisisme. (Jakarta:Bulan Bintang,1973)
Smith, Margaret.Rabiah Pergaulan spiritual Perempuan, terjemahan oleh Dra. Jamilah Baraja dari rabia the mystic and her fellow; Saints in Islam (1928). (Surabaya: Risalah Gusti. 1997)

Winarno Surakhmad Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali, 2005).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ALIRAN MU’TAZILAH

 Teologi, sebagai mana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk beluk agam an ya se...