Minggu, 14 Januari 2018

SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWWUF


Pada esensinya,  agama Islam yang terdiri atas aqidah, syariat dan akhlak, merupakan agama  yang sempurna dan semua ajarannya terintegral dan saling berkaitan. Aqidah menjelaskan  syariat, syariat menjelaskan  aqidah, dan aqidah serta syariat menjelaskan akhlak. Dalam pengejawantahannya kemudian melahirkan praktek-prektek yang  beragam dikalangan ummat Islam. Dan dalam sejarah kemudian kita mengenal adanya praktek-praktek sufi yang dijalani oleh beberapa orang dan kelompok.

Wacana tasawuf mengarahkan pikiran kita pada orang-orang saleh, banyak ibadah, menjaga tingkah laku pergaulannya dengan Allah SWT., dengan sesama manusia, dengan mahluk lain dan selalu ingin dekat dengan Allah pencipta semua mahluk. Namun demikian istilah ini merupakan istilah yang disandarkan pada sebuah gerakan batiniah dalam usaha untuk mendekkatkan diri seorang hamba kepada sang Khalik.


Terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan kemunculan tasawuf dalam Islam. Ada yang berpendapat bahwa tasawuf baru muncul dalam Islam pada akhir abad ke II Hijriyah atau awal abad ke III Hijriyah, kelompok lain berpendapat bahwa praktek kehidupan sufi sudah ada sejak awal kemunculan Islam yang tercermin dalam kehidupan Nabi SAW., dan para sahabat serta jalan hidup yang ditempuh oleh beberapa kelompok di Madinah.
A.      Pengertian Tasawuf
            Wacana tasawuf mengarahkan pikiran kita pada orang-orang saleh, banyak ibadah, menjaga tingkah laku pergaulannya dengan Allah SWT., dengan sesama manusia, dengan mahluk lain dan selalu ingin dekat dengan Allah pencipta semua mahluk. Namun demikian istilah ini merupakan istilah yang disandarkan pada sebuag gerakan batiniah dalam usaha untuk mendekkatkan diri seorang hamba kepada sang Khalik. Untuk lebih mengetahui apa tasawuf itu, terlebih dahulu perlu diketahui pengertiannya.
                        1.        Pengertian tasawuf secara etimologi.
Asal istilah tasawuf merujuk ke beberapa kata:
a.     صفى     artinya suci bersih.[1] Dalam pengertian ini orang  yang ingin dekat dengan Allah SWT., aktifitasnya banyak diarahkan pada pensucian diri dalam rangka dekat dengan Allah swt. Artinya Allah maha Suci tidak mungkin bisa didekati kecuali oleh orang-orang yang memelihara kesucian. Bishr bin al-Harith berkata:”sufi adalah orang yang hatinya suci/tulus kepada Allah.[2]
b.    صف   artinya barisan atau barisan terdepan.[3] Orang yang ingin dekat dengan Allah, pasti sudah kuat imannya. Oleh karena itu selalu ada pada barisan terdepan dalam hal ibadah.[4]
c.     اهل الصفة  artinya penghuni serambi (masjid). Istilah ini disandarkan kepada orang yang ingin selalu dekat dengan Allah SWT., maka mereka ikut juga hijrah dengan Nabi dari Mekah ke Madinah. Di Madinah merreka tinggalnya di serambi masjid.[5]
d.   صوف     artinya wol, bulu binatang kasar. Orang yang selalu dekat dengan Allah swa., hanya memakai alat berpakaian bulu binatang yang kasar, domba, unta dan sebagainya, ini hanya pandangan saya karena kaum sufi tidak mencirikan dirinya dengan memakai pakaian dari bulu.[6]
e.  Pendapat yang lain mengatakan bahwa istilah Tasawuf derasal dari bahasa Yunani yaitu Sophos atau Shofia artinya hikmah atau  bijaksana. Pendapat ini  merupakan pendapat mayoritas  kaum orientalis. Ahli-ahli sofia adalah orang  yang ahli  dalam filsafat atau kebijaksanaan. Mereka  menambahkan  bahwa dalam  tradisi Arab kata sofia  direduksi menjadi kata shufiya  untuk menunjukkan  kepada orang-orang  ahli ibadah dan ahli filsafat agama.[7]
Dari limat pendapat di atas, maka secara etimologis kata tasawuf lebih dekat dengan kata صوف. Sebagaimana pendapat Ibn Khaldun bahwa kata Sufi  merupakan kata  jadian dari kata Suf. Tapi perlu diingat, bukan sekedar karena ia memakai pakaian yang terbuat dari kain bulu dan wol kasar maka seseorang disebut sufi. Seseorang  menggunakan wol hanya sebagai symbol kesucian, mereka menyiksa dan menekan hawa nafsu dan berjalan di jalan Nabi.[8]
2.        Pengertian tasawuf secara terminology
Ada banyak definisi yang telah dibuat oleh untuk menjelaskan pengertian tasawuf secara terminology. Berikut  beberapa diantaranya: 
Menurut Abu Qasim al-Qusyaeri  (376-466), tasawuf ialah penjabaran ajaran Alquran, sunnah, berjuang mengendalikan hawa nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringankan ibadah.[9]  
Menurut Ahmad Amin tasawuf ialah bertekun dalam ibadah, berhubungan langsung dengan Allah SWT., menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang diburu oleh orang banyak, dan menghindari dari mahluk dalam berkhalwat untuk beribadah.[10] Sedang tasawuf menurut Zakaria al- Anshari ialah mengajarkan cara untuk mensucikan diri, meningkatkan akhlak, berlaku zuhud terhadap yang diburu oleh orang banyak, dan menghindari dari mahluk dalam berkhalwat untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh hubungan langsung dengannya.[11]
Dan menurut Ibrahim Hilal dalam bukunya ‘Tasawuf Antara Agama dan Filsafat’, bahwa tasawuf pada umumnya bermakna menempuh kehidupan zuhud, menghindari gemerlap kehidupan dunia, rela hidup dalam keprihatinan, melakukan berbagai jenis amalan ibadah, melaparkan diri, mengerjakan  shalat malam, dan melakukan berbagai jenis wirid sampai fisik  atau dimensi jasmani seseorang  menjadi lemah dan dimensi jiwa atau ruhani menjadi kuat.[12]
            Apabila melihat beberapa definisi diatas, maka dapat diperoleh ungkapan yang singkat dan padat yang mencakup  dua segi yang keduanya membentuk satu kesatuan yang saling menunjang dalam mendefinisikan tasawuf yang pertama adalah cara dan yang kedua adalah tujuan. Cara, diantaranya melaksanakan berbagai rangkaian peribadatan, latihan-latihan rohani  sepeerti zuhud.  Sedangkan tujuannya ialah mendekatkan diri kepada sang Khalik yang puncaknya ialah penyaksian (masyadah).
B.       Sejarah Muncul dan Berkembangnya Tasawuf
1.       Landasan dan Motivasi Lahirnya Tasawuf
Timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad SAW diutus Rasulullah untuk segenap ummat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannuts dan khalwat di Gua Hira disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan. Juga Muhammad berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa noda-noda yang menghingapi masyarakat pada waktu itu.
Tahannuts dan khalwat yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku problema hidup yang beraneka ragam ini, berusaha memperoleh petunjuk dan hidayah dari pencipta alam semesta ini, mencari hakikat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik. Dalam situasi yang sedemikianlah Muhammad Menerima wahyu dari Allah SWT yang penuh berisi ajaran-ajaran dan peraturan-peraturan sebagai pedoman untuk ummat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
Segala pola dan tingkah laku, amal perbuatan dan sifat Muhammad sebelum diangkat menjadi menjadi Rasul meruapakan manifestasi dari kebersihan hati dan kesucian jiwanya yang  menjadi pembawaan sejak kecil.
Dengan turunnya wahyu yang pertama pada tanggal 17 Ramadhan atau 16 Agustus 571 M, berarti Muhammad SAW telah diangkat dan diutus menjadi Rasul untuk mengembangkan amanat Allah dan menyelamatkan ummat manusia dari lembah kejahilan dan kesesatan dalam mencapai kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Demikian juga wahyu yang diturunkan itu Rasulullah dapat membenahi masyarakat Arab Jahiliyah menjadi masyarakat yang maju sesuai dengan perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia.
            Istilah tasawuf dikenal secara luas di kawasan Islam sejak  penghujung abad ke-dua Hijriyah, sebagai perkembangan lanjutan dari  kesalehan asketis atau para zahid yang  mengelompok di serambi mesjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini  lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan  rohaniah dengan mengabaikan  kenikmatan duniawi.[13]
            Pola hidup  kesalehan yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang  kemudian berkembang dengan pesat. Fase ini dapat disebut  sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf yang ditandai dengan munculnya individu-individu  yang lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga  perhatiannya terpusat untuk beribadah. Fase asketisme ini setidaknya berlangsung hingga abad ke-dua Hijriyah. Memasuki abad ke-tiga  Hijriyah sudah terlihatadanya peralihan  dari asketisme Islam ke sufisme.[14]
Tetapi menurut mayoritas penulis sejarah tassawuf mengatakan bahwa embrio atau benih tasawuf dalam dunia Islam sudah Nampak dalam diri Nabi Muhammad SAW., baik jika melihat aspek kehidupan, akhlak serta  ibadah Beliau.
Untuk lebih mengetahui sejarah munculnya   tasawuf dalam Islam berikut  penulis memaparkan indikasi-indikasi yang menjadi dasar lahirnya gerakan ini yang dimulai dari kehidupan para sahabat Rasul hingga menjelang akhir abad ke-dua Hijriyah.
1.      Tasawuf Pada Masa Sahabat Nabi, Atau Khulafa’ Al-Rasyidin Dan Ahla Suffah
            Untuk melihat lebih jauh bagaimana perkembangan tasawuf pada masa ini, diuraikan kehidupan beberapa sahabat nabi sebagai berikut :
      Pada abad ke 1 dan II H terdapat aliran-aliran tasawuf   :
      A.    Aliran Madinah
Para sufi berpegang teguh pada Al-qur’an dan sunah,menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Sahabat yang mengikuti Rasulullah bertasawuf pada abad ini adalah:
§  Abu bakar Ash shidiq (W.13H)
§  Umar bin khatab (W.23H)
§  Ustman bin Affan (W.35H)
§  Ali bin Abi Thalib (W.40H)
§  Salman Al-farisi (W.32H)
§  Abu Dzar Al-Ghifary (W.22H)
§  Ammar bin Yasir (W.37H)
§  Hudzaifah bin Al-Yaman (W.36H)
§  Al-Miqdad bin Al-aswad (W.33H)

      B.     Aliran Basrah
Louis masignan mengemukakan bahwa pada abad 1 dan 2 H terdapat 2 aliran asketisme islam yang menonjol yaitu basrah dan khufah. Dengan tokoh sufi dari aliran basrah :
·      Al-Hasan Al-Bashry (22 H-110 H)
·      Rabiah Al-adawiyah (96 H-185 H)
·      Malik bin Damar (w.131 H)

      C.     Aliran Khufah
Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal-hal aneh dalam nahwu, imajinasi dalam puisi, harfiah dalam hadist, dan kecenderungan pada aliran syi’ah dan murji’ah. Tokoh-tokohnya:
§  Sufyan Ats Tsaury (97H-161H)
§  Ar-rabi’ bin Khatsim (W.67H)
§  Sa’id bin Jubair (W.95H)
§  Thawus bin Khisan (W.106H)

      D.    Aliran Mesir
Tokohnya        :
§  Salim bin ‘Atar At-Tajibi (W.75H)
§  Abdurrahman bin Hujairah (W.69H)
§  Nafi’ (W.117H)
§  Al-laits bin Sa’ad (W.175H)
§  Hayah bin Syuraih (W.158H)
§  Abdullah bin Wahab (W.197H)
           
                     Dari uraian di atas, maka perkembangan tasawuf abad ini yaitu pada masa Nabi, khulafa’ al-Rasyidin, dan masa ahlu Suffah, nampaknya istilah atau term penggunaan tasawuf untuk kehidupan rohani memang belum ada, tetapi tidak bisa di pungkiri faktanya bahwa Nabi dan para sahabatnya adalah praktisi yang dijadikan teladan para sufi sesudahnya
                      Dengan demikian kehidupan Nabi dalam segala hal di anggap, sebagai embrio yang selanjutnya tumbuh dan dikembangkan oleh para sahabat khulafa’ al-Rasyidin dan ahlu Suffah yang dianggap sebagai pelaku-pelaku ibadah yang konsisten mementingkan kehidupan rohani seperti yang dicontohkan oleh Nabi dan selanjutnya diikuti oleh orang-orang shaleh dan orang-orang sufi abad berikutnya.
2.      Munculnya Kehidupan zuhud
              Dari kondisi politik yang tidak kondisif, dan dari kondisi sosial yang tidak bermoral, maka muncul kaum muslimin yang merasa punya kewajiban moral mengingatkan penguasa, rakyat agar kembali pada kehidupan seperti yang dicontohkan Nabi.
            Hal ini dipertajam lagi oleh Nurchalis Madjid bahwa dampak dari perubahan-perubahan itu menimbulkan adanya beberapa orang yang merasa bahwa Islam saat ini sudah tidak lagi seperti pada masa Nabi, khulafa’ al-Rasyidin sehingga menimbulkan letupan-letupan dan kritikan-kritikan terhadap penguasa Umaiyyah yang wujudnya berbentuk oposisi keagamaan terhadap rezim Umayyah.[15]
            Kaum muslimin yang punya keperdulian itu dikenal sebagai tokoh zahid, artinya orang yang menjauhi kehidupan duniawi yang ingin melihat rakyat menjadi aman.                       
Tokoh-tokoh zahid yang termasyhur antara lain seperti Hasan al-Basri (w. 728 M). Beliau banyak mempelajari ilmu yang sifanya moralitas sehingga ajaran itu sangat mempengaruhi pola pikiran, sikap dan perilakunya sehari-hari, dan dia juga dianggap sebagai tokoh oposisi moral. Karena beliau berani mengirim surat kepada penguasa Abd. Malik Bin Marwan menuntut agar penguasa dapat memberikan hak dan kebebasan pada rakyat.[16]
Selain Hasan al-Basri, masih banyak lagi tokoh-tokoh yang zahid seperti Sufyan as-Sauriy (w. 135 H), Malik bin Dinar (w. 171 H) dan lain sebagainya.
            Perkembangan term tasawuf pada masa ini (abad I memasuki awal abad II H) masih terlihat belum jelas wujudnya. Istilah-istilah yang dikenal pada masa ini hanyalah kehidupan zuhud’, artinya suatu sikap jiwa yang lebih memilih dan menyukai kehidupan akhirat dan memperbanyak ibadah dari pada hidup keduniaan.[17]
            Memasuki akhir abad II H, terlihat adanya peralihan kehidupan zuhud ke istilah tasawuf. Hal ini di tandai dengan adanya para zahid-zahid yang mulai membicarakan konsep-konsep mengenai kehidupan yang berdimensi spiritual. Sekalipun sangat sulit membedakan secara tepat dan pasti adanya peralihan itu, tapi secara umum pendapat yang mengatakan bahwa adanya kecenderungan membicarakan konsep tasawuf termasuk di dalamnya cara untuk kepada Tuhan maka masa tersebut dinamai masa peralihan.
            Nicholson mengatakan bahwa sulit membedakan antara hidup zuhud dan hidup kesufian, sebab umumnya orang sufi masa ini tadinya atau sebelumnya adalah orang-orang zahid. Hal ini dipertajam oleh Taftazani bahwa mereka lebih layak dinamai zahid daripada “sufi”[18]
            Tokoh-tokoh zahid akhir abad II H, dan sudah mempunyai konsep tentang oleh rohani antara lain diwakili oleh Rabiahtul Adawiah, seorang zahid perempuan yang telah mengukir lembaran sejarah tasawuf dengan membawa versi baru yang bernama hubb (cinta).
            Pada abad II H, dalam kehidupan spiritual telah terjadi transformasi, dari metode zuhud  ke metode tasawuf, yang di tandai dengan munculnya tokoh-tokoh sufi yang menawarkan suatu konsep atau gagasan yang berbentuk teori sebagai suatu cara untuk berdekatan dengan Allah, seperti Rabiahtul Adawiyah dengan konsep mahabbah atau cintanya.[19]
            Adanya term tasawuf pada akhir abad II H, tapi itu tidak berarti telah lahir sistem tasawuf sebagai suatu ilmu yang walaupun praktenya telah ada sejak masa Rasulullah. Namun ketika memasuki abad ke III H., perkembangan tasawuf sudah mulai jelas dan istilah tasawuf sudah dikenal secara meluas. Perkembangan  tersebut disebabkan prinsip-prinsip teoritisnya sudah mulai tersusun secara sistimetis, demikian pula aturan-aturan praktisnya, sehingga melahirkan tiga macam corak tasawuf yaitu: tasawwuf akhlaki, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi.[20]
Pada masa inilah tasawuf mencapai puncak keemasannya sebagai sebuah gerakan yang banyak dikaji dan diamalkan/dipkraktikkan sebagai prinsip hidup.
C.    Faktor-Faktor Penyebab Mundurnya Tasawuf
                 Ulama peneliti muslim menarik suatu kesimpulan bahwa ada 3 faktor penyebab citra tasawuf runtuh dimata dunia Islam.
              1.  Banyak sufi-sufi yang menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya, mereka tidak tunduk pada aturan syariah sebab mereka sudah menganggap dirinya sudah mencapai tingkat /maqamat yang tinggi yaitu ma’rifah. Kebanyakan sufi mendominasi ajaran tasawufnya dengan unsur-unsur filsafat yang terlalu rasional sehingga tidak lagi relevan dengan Al-Qur’an dan Hadits. 
              2.  Kondisi atau era waktu itu di dominasi oleh penjajah bangsa Eropa yang menguasai Negara Islam, banyak menggunakan faham dan filsafat sekularisme dan materialisme yang sangat bertentangan dengan ajaran tasawuf.
              3.  Pendapat lain mengatakan bahwa pihak-pihak penguasa muslim itu sendiri sering menekan para ulama, untuk melegalkan dan membantu dalam menjalankan kekuasaannya. Satu hal yang perlu diingat bahwa mundurnya tasawuf bukan karena ajaran tasawuf itu sendiri tapi karena manusia yang salah mengakses dan memahami tasawuf.[21]
              D.   Pembagian Dan Ajaran Inti Tasawuf
Secara umum para ahli tasawuf membagi tasawuf menjadi 3 (Tiga) macam : tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi.       Ketiga jenis tasawuf tersebut pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama ingin “mendekatkan diri kepada Allah” dengan cara membersihkan diri dari perbuatan tercela dan menghiasinya dengan perbuatan terpuji. Namun ketiga jenis tasawuf tersebut mempunyai perbedaan dalam penerapan “pendekatan” yang di gunakan.[22]

Pendekatan-pendekatan dari masing-masing jenis tasawuf, sekaligus merupakan spesifikasi dan ajaran inti masing-masing jenis tasawuf tersebut. Para tasawuf yang bercorak akhlaki, pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan “moral” ( teori-teori  أخلاق الكريمة ) atau biasa di sebut pencerdasan emosi.
Untuk tasawuf yang bercorak falsafi, maka pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan “rasio” memberdayakan akal pikiran yang biasa di sebut pencerdasan inteligen. Sedangkan tasawuf yang bercorak amali, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan “amaliah”, memperbanyak aktifitas yang bersifat rohani yang biasa disebut pencerdasan spiritual.
Ketiga bentuk corak tasawuf itu merupakan perwujudan untuk meng-Esakan Tuhan secara mutlak, dan itu berarti kita harus menyadari bahwa meng-Esakan dan memahami Tuhan tidak bisa di jangaku atau didekati hanya dengan rasio atau akal semata, tetapi memahami Tuhan harus dibantu dengan pendekatan moral atau emosi dan spiritual yang keduanya itu bertempat dalam hati sebagai tempatnya iman bersemayam.[23]
                 Berikut adalah ajaran inti tasawuf  yang dikemukakan menurut pembagian tasawuf itu sendiri, yakni:
                   1.  Tasawuf akhlaki
Taswuf Akhlaki ialah ajaran tasawuf yang berhubungan dengan pendidikan mental dan pembinaan serta pengembangan moral agar seseorang berbudi luhur atau berakhlak mulia. Dari pengertian tersebut, maka menurut pandangan orang-orang sufi yang menganut aliran tasawuf akhlaki sebagai berikut :
                            a.   Bahwa satu-satunya cara untuk bisa mengantar seseorang agar bisa dekat dengan Allah SWT ., hanyalah dengan jalan “mensucikan jiwa”.
                            b.  Bahwa untuk mencapai kesucian jiwa tersebut diperlukan “latihan mental” yaitu al-riyadhah yang ketat. Riyadhah tersebut wujudnya adalah “mengontrol” sikap dan tingkah laku secara ketat agar terbentuk pribadi yang berahklak mulia.
                            c.  Bahwa latihan mental tersebut bertujuan untuk mengontrol dan mengendalikan nafsu, seperti godaan-godaan yang sifatnya duniawi.
                            d.  Bahwa pengendalian nafsu di perlukan, sebab nafsu diabggap sebagai penghalang atau tabir antara manusia dengan Tuhan.
            e.  Bahwa untuk membuka tabir tersebut agar manusia dapat dekat dengan Allah SWT. Maka para sufi membuat suatu sistematika pendekatan takhalli (mengosongkan) dan tahalli (mengisi).[24]
                   2.  Tasawuf Amali
            Tasawuf amali yaitu ajaran tasawuf yang mementingkan pengalaman-pengalaman ibadah baik secara lahiriah maupun batiniah. Tasawuf amali di anggap oleh sebahagian sufi sebagai bagian dan lanjutan dari taswuf akhlaki. Menurut sufi yang menganutnya bahwa untuk dekat dengan Allah SWT. Maka seseorang harus menggunakan pendekatan amaliah dalam bentuk memperbanyak aktifitas, amalan lahir dan batin.[25]
Oleh karena itu menurut sufi, ajaran agama juga mengandung aspek lahiriah dan batiniah, maka cara memahami dan mengamalkannya juga harus melalui aspek lahir dan batin. Kedua aspek ini di bagi menjadi empat bagian.
                   a.    Syariah yaitu undang-undang, aturan-aturan, hukum Tuhan , atau ketentuan tentag halal, haram, wajib dan sunnah hal ini menyangkut aspek lahiriah (eksoterik).
            Syariah menurut sufi adalah amalan-amalan lahir yang fardukan dalam agama yang biasanya dikenal sebagai “rukun Islam” yang sumbernya dari Al-Qur’an dan sunnah. Amalan tersebut bukan hanya yang sifatnya wajib tetapi semua sunnah, yang di amalkan dengan penuh keikhlasan sehingga di tetapkanlah cara-caranya waktunya dan jumlahnya. Oleh karena itu, sufi ynag meninggalkan syariah dianggap sesat, sebab tanpa mengamalkan hukum Tuhan secara baik, dan tuntas lewat amalan ibadah berarti tidak tunduk pada aturan Allah.[26]
            Syariat merupakan hakikat itu sendiri, dan hakikat tidak lain adalah syariat itu sendiri. Keduanya   adalah satu, tidak akan sempurna satu sisi tanpa sisi yang lain. Allah SWT., telah  menggabungkan keduanya, oleh karena itu suatu hal yang mustahil jika seseorang mau memisahkan sesuatu yang telah digabungkan oleh Allah SWT.[27]
b.    Thariqah yaitu jalan, cara, metode. Thariqah menurut sufi ialah perjalanan menuju Allah, dan dalam perjalanan tersebut di tempuh melalui suatu cara, atau melalui suatu jalan agar dengan Tuhan. Sebab meurut sufi tanpa suatu cara atau metode khusus yang di sebut thariqah akan sulit sampai pada tujuan. Maka di tetapkanlah ketentuan yang sifatnya batiniah, dengan melalui cara, metode setahap demi setahap yang dikenal dengan istilah  مقام.[28]
Menurut sufi hidup ini penuh dengan rahasia, dan rahasia itu tertutup oleh tabir sebenarnya tabir itu adalah “hawa nafsu” kita sendiri. Tabir itu sebenarnya bisa tersingkap (terbuka) asal menempuh suatu cara (thariqah) lihat Al-Qur’an surah al-Jin ayat 16, yang artinya:
dan bahwasanya : Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam). Benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).[29]
Berdasarkan gambaran di atas, maka maqamat  itu merupakan satu sistem atau metode untuk mengenal dan merasakan adanya Tuhan atau melihat Tuhan dengan mata hati.
c.         Haqiqah diartikan sebagai kebenaran. Haqiqah biasa juga diartikan puncak, atau sumber segala sesuatu. Haqiqah menurut sufi merupakan rahasia yang paling dalam dari segala amal, dan merupakan inti dari syariah. Haqiqah di peroleh sebagai nikmat dan anugerah Tuhan berkat latihan yang dilakukan sufi. Dengan sampainya sufi ke tingkat haqiqah, berarti  telah terbukalah baginya rahasia yang ada dalam syariah, maka sufi dapat memahami  segala kebenaran. Atau dengan kata lain haqiqah adalah mengetahui inti yang paling penting dalam diri sesuatu sehingga  tidak ada yang tersembunyi baginya.[30]
Haqiqah tidak bias terlepas dari  syariah, dan bertalian erat dengan tariqah dan juga terdapat dalam ma’rifah. Dalam pandangan kaum sufi, makna hukum luar (syariah) harus utuh dan sinkron dengan makna hokum dalam (haqiqah), maka setiap manusia harus tunduk pada syariah sekaligus  tunduk pada realitas sebelah dalam (tariqah dan haqiqah), sebab manusia sendiri berada diantara dua ruang yaitu ruang fisik dan ruang ruhani.[31]
d.        Ma’rifah yaitu pengetahuan dan pengenalan. Sedangakan menurut kaum sufi berarti penghetahuan mengenai Tuhan melalui kalbu atau hati nurani. Pengertian tersebut sedemikian lengkapnya  sehingga jiwa seorang sufi sudah merasa bersatu dengan yang diketahuinya. Dikatakan oleh para sufi, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari melihat Tuhan. Inilah sebagai tujuan  utama dalam  ilmu tasawuf.[32]
Melihat gambaran dari syari’ah, tariqah, haqiqah, dan ma’rifah, maka dapat dikatakan bahwa ma’rifah hanya bias dicapai bila melalui syari’ah dan ditempuh berdasarkan tariqah lalu bisa memperolah haqiqah. Apabila syari’ah dan  tariqah  ini sudah dikuasai maka timbullah haqiqah lalu tercapailah tujuan yang diinginkan oleh sufi yaitu ma’rifah.
Menurut kaum sufi pengalaman syariah Islam tidaklah sempurna jika  tidak dikerjakan secara integrative dengan urutan-urutan sebagai berikut:
·           Syari’ah merupakan peraturan
·           Tariqah merupakan cara melakukan peraturan
·           Haqiqah merupakan keadaan yang dirasakan setelah melaksanakan peraturan tersebut.
·           Ma’rifah merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh sufi.[33]

Bila seseorang telah menjalani tariqah yang seimbang  dengan syariah lahir dan batin menuju pada puncak rahasia, maka tercapailah suatu kondisi mental yang dinamakan insan kamil atau waliyullah yaitu orang-orang yang  selalu dekat dengan Allah SWT., dan mendapat karunia-Nya  sehingga melakukan perbuatab-perbuatan luar biasa yang dinamakan ­al-karamah.[34]
3.      Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi merupakan ajaran tasawuf yang memadukan antara visi mistis dengan  visi rasional.
Tasawuf falsafi berbeda dengan tasawuf akhlaki dan amali. Sebab tasawuf falsafi menggunakan term filsafat dalam  mengungkap ajarannya. Terminologi tersebut berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang  mempengaruhi tokoh-tokoh sufi. Dengan adanya term-term filsafat dalam tasawuf ini menyebabkan bercampurnya ajaran filsafat dan ajaran-ajaran dari luar  Islam seperti Yunani, India, Persia, Kristen dalam ajaran tasawuf Islam. Tetapi perlu diketahui  bahwa orisinalitas  tasawuf tetap ada dan tidak hilang. Sebab para sufi tersebut  menjaga kemandirian ajarannya.[35]
Walaupun tasawuf falsafi banyak menggunakan term filsafat, namun tidak  bisa dianggap sebagai filsafat. Sebab ajaran dan metodenya dipadukan pada rasa (zauq). Sebaliknya tidak dikategorikan sebagai tasawuf murni, sebab ajarannya sering diungkap  dalam bahasa  filsafat yang  sering cendrung   pada pantaisme.[36]
       E.  Maqamat dan Ahwal.
            1.      ﻣﻗﺎﻣﺎﺕ    ( Maqamat )
            Untuk mencapai  kedekatan  dengan Tuhan, sufi  memberikan suatu metode atau cara atau jalan.  Jalan itu berisi stasiun yang disebut ﻣﻗﺎﻣﺎﺕ . Maqamat  berasal dari  bahasa Arab yang artinya  tempat orang berdiri.[37]
            Selanjutnya istilah tersebut berkembang  lebih jauh  dengan arti tingkatan, atau tahapan, atau jalan  panjang yang harus dilewati oleh sufi untuk berada  sedekat mungkin dengan Allah SWT. Tingkatan tersebut  berupa atau berbentuk sikap hidup yang nampak kelihatan  dan tercermin  dalam perilaku  akhlak yang mulia. Maqamat  ini sebagai hasil dari mujahadah (kesungguhan)  dan riyadah (latihan)  berkesinambungnan yang dilaksanakannya serta  putusnya hubungan dengan selain Allah.[38]
            Berdasarkan defenisi di atas, dapat dikemukakan bahwa  maqamat  merupakan suatu tingkatan, tahapan yang dicapai oleh  sufi dari usahanya yang keras  dan sungguh-sungguh serta perjuangannya  terus menerus dalam rangka mendekatan diri kepada Allah SWT.
            Dalam perkembangan selanjutnya, muncul  perbedaan pendapat di kalangan sufi bahwa  referensi tentang  jumlah maqamat tidak selamanya sama. Nampaknya  perbedaan tersebut  berfariasi baik segi jumlah maupun formasi maqamat itu. Berikut penulis paparkan pendapat beberapa ulama:
Menurut Abu Bakar al-Kalabazi  ada sepuluh maqatat dengan formasi sebagai berikut:  Taubat, Zuhud, Sabar, Fakir, Tawadu’, Takwa, Tawakkal, Ridha, Mahabbah dan Ma’rifat. Sedang Menurut al-Gazali ada delapan bentuk maqamat: Taubat, Sabar, Fakir, Zuhud, Tawakkal, Mahabbah, Ridha, dan Ma’rifat.[39]
Berbeda dengan dua pendapat sebelumnya, Abu Nasr  al-Sarraj al-Tusi berpendapat bahwa maqamat hanya ada tujuh macam yaitu: Taubat, Wara’,Zuhud, Fakir, Sabar, Tawakkal dan Ridha. Sedangklan menurut Abu. Qasim Abd. Karim maqamat hanya ada enam yaitu:  Taubat, Wara’, Zuhud, Tawakkal, Sabar, dan Ridha.[40]
Kendati ada perbedaan  ulama tentang jumlah formulasi maqamat,  tetap ada  tingkatan  yang sama  disepakati dan mesti ada sebagai unsur dari maqamat tersebut, sebagai mana yang disebutkan  oleh Harun Nasution bahwa ada lima tingkatan yang populer dan diterima secara umum yaitu: Taubat, Zuhud, Sabar,Tawakkal dan Ridha.[41]
Berikut penjelasan singkat kelima macam maqamat tersebut:
1.      ﺍﻟﺗﻭﺑﺔ    ( taubah ) ialah meninggalkan keinginan untuk kembali  melakukan kejahatan  seperti yang telah pernah dilakukannya karena rasa takut akan kebesaran Allah SWT., dan menjauhkan diri dari kemurkaannya. Para sufi berpendapat  bahwa  taubat  adalah maqamat pertama.[42]
         Mengingat  bahwa taubat merupakan metode atau cara  untuk mengikis semua sifat yang jelek. Menurut para sufi, dosa  itu adalah pemisah  antara manusia  dengan Allah, sebab dosa itu adalah sesuatu yang kotor sedangkan Allah Maha Suci dan  menyukai orang  yang senantiasa mensucikan dirinya dari dosa dengan cara bertaubat. Inilah stasiun pertama yang harus dilewati oleh para sufi.
2.        ﺍﻟﺯﻫﺩ   ( zuhud )  diartikan sebagai keadaan meninggalkan dunia dan menjauhkan diri dari hidup kebendaan.[43]
            Namun al-Gazali mengartikan  zuhud sebagai sikap mengurangi keinginan kepada dunia  dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran. Sedangkan al-Qusyaeri menyebut zuhud  yaitu tidak  merasa bangga dengan  kehidupan dunia yang telah ada di tangan dan tidak merasa  bersedih dengan hilangnya kemewahan dari tangannya.[44]
            Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa zuhud   intinya adalah  mengurangi keinginan terhadap  kenikmatan dunia supaya dapat membawa  kekhusyuan  mengabdi  dan dekat dengan Allah SWT.
3       ﺍﻟﺻﺑﺮ ( sabar ), secara harfiah berarti menahan. Menurut al-Gazali sabar adalah sebuah kondisi mental dalam mengendalikan hawa nafsu yang  tumbuhnya  adalah atas dorongan  agama. Sabar yang dimaksud para sufi adalah  konsekwen dan konsisten dalam melaksanakan perintah Allah dan  meniggalkan larangnannya, tahan uji  mengahdapi kesulitan dan cobaan yang ditimpakan kepadanya.[45]
4.      ﺍﻟﺗﻭﻛﻞ  ( tawakkal ). Pengertian tawakkal secara umum adalah sikap pasrah  secara total setelah melaksanakan suatu usaha. Tawakkal juga  berarti berpasrah diri sepenuhnya  kepada Allah SWT dalam menghadapi atau menunggu pekerjaan. Menurut sufi tawakkal tidak cukup hanya sekedar penyerahan diri seperti itu, tetapi lebih mendalam lagi dengan  merefleksikannya melalui sikap dan tindakan dalam  segala hal.[46]
5.      ﺍﻟﺮﺿﺎ ( Ridha ),  secara harfiah ridha artinya rela. Sementara menurut  Harun Nasution ridha berarti menerima qadha dan qadar  Tuhan dengan senang hati. Untuk itu, semua  perasaan benci di dalam hati harus dibuang jauh-jauh sehingga yang tersisa  ialah perasaan  senang dan gembira walaupun ditimpa mala petaka ia tetap senang dan ridha  menerimanya sebagaimana ketika ia mendapat rahmat dan nikmat.[47]
            Sebagai tambahan bahwa term maqamat  muncul sebagai suatu istilah  dalam tasawuf  pada abad III dan IV H. dan yang dianggap pelopornya antara lain Haris al-Muhasibi (165-234 H / 781-857 M), dipandang sebagai orang pertama yang  membahas maqamat. Selain itu juga dikenal Abu Said al-Kharaz (227H) dan Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Anshari (al-Harawi) (361-481H).[48]
               2.   ﺍﻷﺣﻭﺍﻞ   ( Ahwal )
            Selain maqamat,  dalam tasawuf juga dikenal istilah ahwal. Ahwal merupakan  keadaan mental, seperti keadaan  senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya.[49]
            Ahwal Juga diartikan sebagai keadaan mental atau situasi kejiwaan yang diperoleh sufi sebagai karunia dari Allah SWT. Ahwal sebenarnya manifestasi dari maqamat  yang dilalui  oleh sufi sehingga ahwal sangat sulit untuk  dilukiskan  secara informatif dan dideteksi  secara logis, sebab ia termasuk pengalaman rohani yang  hanya diketahui oleh sufi yang yang pernah mengalaminya. Karena itu ahwal sangat bersifat subjektif dan personal.[50]
Dalam tasawuf kemudian dikenal bermacam ahwal. Berikut penjelasannya:
1.             ﺍﻟﺧﻭﻑ merupakan  sikap mental dengan merasakan ketakutan pada Allah SWT, karena kurang sempurna  pengabdiannya dan atas kesalahan yang telah diperbuat. Takut dan khawatir  jika Allah  SWT tidak senang padanya. Oleh karena itu, sufi selalu berusaha agar perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah SWT. Sikap seperti ini memberikan  motivasi untuk  berbuat baik dan mendorong untuk menjauhi maksiat.[51]
2.             ﺍﻟﺮﺟﺎﺀ : merupakan sikap mental yang optimis dalam memperoleh karunia Ilahi. Allah yang maha pengampun dan penyayang, maka sufi penuh ‘harap’ memperolah ampunan dan limpahan rahmat. Sikap raja ini akan memberi  semangat dalam riyadhah dan  mujahadah sehingga  dengan penuh  gairah menanti harapan datangnya rahmat Allah SWT.[52]
3.            ﺍﻟﺷﻭﻖ :   Kondisi kejiwaan yang dirasakan oleh sufi untuk ingin bertemu dengan Tuhannya. Hasratnya bergelora  untuk selalu bersama dengan yang dikasihi. Dalam hal ini,  pengetahun, pemahaman, pengenalan yang sempurna dan mendalam pada Allah SWT, menimbulkan rasa senang yang luar biasa dan bergairah yang melahirkan  cinta dan obsesi yang kuat untuk bertemu dengan Yang dicintai.[53]
4.            ﺍﻷﻧﺲ  : yaitu kedaan jiwa  yang sepenuhnya  terfookus kepda Alah SWT. Tidak merasa tidak mengingat dan tidak mengharap kecuali kepada Alah SWT.[54]
            Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui  bahwa ahwal itu sebagai kondisi  mental yang sedang  dirasakan  dan dinikmati secara damai dan intensif oleh sufi. Selanjutnya dapat diketahui bahwa  jalan  yang harus ditempuh oleh sufi untuk mencapai tujuan memperoleh hubungan batin  dan “bersatu” dengan Tuhan bukanlah sesuatu  cara yang mudah.
            Maqamat dan ahwal memiliki perbedaan dalam konsep dan penrapannya. Maqamat  diperoleh melalui  usaha yang berat dan keadaan atau kondisinya tetap bersifat stabil dan tidak berubah. Seperti kesabarnnya menerima  cobaan sama saja ketika menerima nikmat. Sikap hidupnya  dapat dilihat dari prilaku keseharian sufi seperti kesabaran, tawakkal, suzud dan kerrelaan. Sementara ahwal diperoleh sebagai suatu anugrah, rahmat (bukan unsur usaha dan perjuangan), keadannya bersifat labil dan tidak tetap, mudah berubah, (kadang merasa sedih, kadang senang). Kondisi mental yang dirasakan  bersifat abstrak (tidak bisa dilihat orang lain), dan hanya bisa dirasakan dan dipahami  serta diketahui oleh orang yang mengalaminya.
Walaupun  keduanya mempunyai  perbedaan, namun keduanya sangat berkaitan. Karena keduanya mempunyai dua sisi yang sama dan sulit  dipisahkan. Hal ini disebabkan  makin tinggi  tingkat maqamat yang dicapai oleh seorang sufi, maka semakin intens pula ahwal  yang diperolehnya  dan dirasakannya.
DAFTAR PUSTAKA
Asmaran AS, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemahnya, 1978
Haeri, Fadhalalla, Jenjang-Jenjang Sufisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000
Hamka, Tasawuf Dari Masa ke Masa, Jakarta: Pustaka Islam, 1960
Hilal, Ibrahim,  Al-Thasawwuf al-Islami Bain ad-Din wa al-Falsafah, terj. Ija Suntana dan E. Kusdian,  Tasawuf Antara Agama dan Filsafat Sebuah Kritik Metodologis, (Cet. I; Bandung Pustaka Hidayah,  2002)
Ibrahim, Muhammd Zaki,  Abjadiyyah al-Tashawwuf al-Islam, terj. Abdul Syukur dan Rivai Usman, Tasawuf Salafi, (Cet. I; JAkarta: Hikmah, 2002)
Kalsum, Ummu,  Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002)
Mahmud, Abdul Halim, Tasawuf di Dunia Islam, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002)
Madjid, Nurcholis, Islam  Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Bahasa Arab Indonesia Lengkap,(Cet.  XIV; Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997)
Mustafa , H. A., Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997
Nata,  Abuddin,  Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Rondon, Tashawwuf dan Aliran Kebatinan: Suatu Perbandingan antara Aspek-Aspek Mistik Jawa, (Cet. II; Yogyakarta: LESFI, 1995)
Siregar, H. A. Rivay, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, jilid 5, 1993
Valiuddin, Mir. Tasawuf Dalam Qur’an, (Cet. II; Jakarta:Pustaka Firdaus, 1993)


[1] Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir Bahasa Arab Indonesia Lengkap,(Cet. XIV; Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997),  h. 784
[2] Mir. Valiuddin, Tasawuf Dalam Qur’an, (Cet. II; Jakarta:Pustaka Firdaus, 1993), h. 1
[3] Ahmad Warson Munawir op. cit., h. 783
[4] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002), h. 3
[5] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002), h. 3
[6] Ummu Kalsum Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002), h. 4
[7] Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di Dunia Islam, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 16
[8] Mir. Valiuddin, Tasawuf Dalam Qur’an, (Cet. II; Jakarta:Pustaka Firdaus, 1993), h. 3
[9] Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, jilid 5, 1993, h. 74.
[10] Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, jilid 5, 1993,h. 75.
[11] H. A. Mustafa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997, h. 207.
[12] Ibrahim Hilal, Al-Thasawwuf al-Islami Bain ad-Din wa al-Falsafah, terj. Ija Suntana dan E. Kusdian,  Tasawuf Antara Agama dan Filsafat Sebuah Kritik Metodologis, (Cet. I; Bandung Pustaka Hidayah,  2002), h. 19
[13] H. A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 36
[14] H. A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002). h. 37
[15] Nurcholis Madjid, Islam  Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, h. 256.
[16] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002), h. 34
[17] Muhammd Zaki Ibrahim, Abjadiyyah al-Tashawwuf al-Islam, terj. Abdul Syukur dan Rivai Usman, Tasawuf Salafi, (Cet. I; JAkarta: Hikmah, 2002), h. 23.
[18] Rondon, Tashawwuf dan Aliran Kebatinan: Suatu Perbandingan antara Aspek-Aspek Mistik Jawa, (Cet. II; Yogyakarta: LESFI, 1995), h. 15
[19] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002)., h. 36.
[20] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002), h. 36
[21] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002)h. 45.
[22] Asmaran AS, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994, h. 46
[23] H. A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
h. 52.
[24] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002)h. 47-48.
[25] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002h. 53
[26] Muhammd Zaki Ibrahim, Abjadiyyah al-Tashawwuf al-Islam, terj. Abdul Syukur dan Rivai Usman, Tasawuf Salafi, (Cet. I; JAkarta: Hikmah, 2002), h. 145.
[27] Muhammd Zaki Ibrahim, Abjadiyyah al-Tashawwuf al-Islam, terj. Abdul Syukur dan Rivai Usman, Tasawuf Salafi, (Cet. I; JAkarta: Hikmah, 2002), h. 146.
[28] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002h. 54.
[29] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemahnya, 1978, h. 985
[30] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, h. 55.
[31] Fadhalalla Haeri, Jenjang-Jenjang Sufisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000, h. 97.
[32]. Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002, h. 56
[33] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002h. 57.
[34] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002), h. 45
[35] Asmaran AS, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994), h. 194
[36] Asmaran AS, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994), h. 194h. 150
[37] Ahmad Warson Munawwir, h. 1175.
[38] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme  Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, h. 62  
[39] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002),.,  62
[40] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002),
[41] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme  Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995,., h. 102.
[42] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002),., h. 64.

[43] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002),., h. 65
[44] Asmaran AS. h. 113
[45] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme  Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995,. h. 68
[46] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme  Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, h. 69
[47] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme  Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995
[48] Ummu Kalsum. Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002),., h. 70
[49] Harun Nasution, Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme  Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995., h 63
[50] Ummu Kalsum. Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002),.h. 71
[51] Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002),.,. h. 71
[52] Harun Nasution, Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme  Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995h. 73
[53] Harun Nasution, Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme  Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995h. 75
[54], Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002),h. 45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ALIRAN MU’TAZILAH

 Teologi, sebagai mana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk beluk agam an ya se...