Minggu, 14 Januari 2018

FANA, BAQA’, DAN ITTIHAD

            Dikalangan sufi, Abu Yazid al-Bustami adalah orang pertama yang mencetuskan konsep al-fana’, al-baqa’ dan Al-Hallaj (Husein Bin Mansyur Al-Hallaj) adalah tokoh yang mengembangkan faham  al-hulul. Karena untuk memasuki alam tasawuf yang disebut dengan ittihad harus terlebih dahulu melewati tangga itu. Selama belum dapat mencapai itu, maka tidak akan bisa menyatu dengan Tuhan. Konsep fana’ merupakan tahapan awal yang berarti meleburkan diri. Kalau seorang sufi ingin mencapai tingkat ittihad, maka tahapan al-fana’ ini merupakan bagian yang tidak dapat ditinggalkan oleh seorang Sufi. Segolongan penganut tasawuf menyebutkanm bahwa tujuan utama yang menjadi inti ajaran tasawuf adalahs ampai pada zat al-Haqq dan bahkan bersatu dengan Tuhan. Jadi, semua aktifitas ketasawufan langsung atau tidak langsung pasti  berkaitan dengan penghayatan fana’ dan ma’rifat pada zat Allah. Jadi ma’rifat itu bukan tanggapan atau pengalaman kejiwaan, yakni suatu tanggapan atau pengalaman kejiwaan sewaktu mengalami fana’. Dengan sampainya seseorang sufi ketingkat ma’rifat, ia pada hakikatnya telah dekat benar dengan Tuhan, sehingga akhirnya ia bersatu dengan Tuhan yang disebut dengan istilah ittihad. Tetapi sebelum seroang sufi bersatu dengan Tuhan, ia harus terlebih dahulu menghancurkan dirinya, dalam tasawuf disebut dengan istilah fana’.
A.    Pengertian Al-Fana, Al-Baqa, Al-Ittihad, dan Hulul
            Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan fasad (rusak). Fana artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan fasad adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain.[1]
            Adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri  atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri seseorang. Menurut pandangan lain, fana adalah bergantinya sifat-sifat kemanusian dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat berarti pula hilangnya sifat-sifat yang tercela.[2]
            Mustafa Zuhri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya inderawi, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. [3]
            Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal. Menurut para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan, sebagaimana dinyatakan oleh ahli tasawuf :
اِذَا اَشْرَقَ نُوْرُالْبَقَاءِ فَيَفْنَى مَنْ لَمْ يَكُنْ وَيَبْقَى مَنْ لَمْ يَزُلْ
apabila tampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yan kekal”.
التَّصَوَّفُ فَانُوْنَ عَنْ اَنْفُسِهِمْ قَاقُوْنَ بِرَبِّهِمْ بِحُضُوْرِ قُلُوْبِهِمْ مَعَ اللّهِ
Tasawuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah. 
            Fana yang dicari oleh seorang sufi ialah penghancuran diri ( Al-Fana ‘An Al-Nafs ), yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia.
            Berbicara mengenai fana dan baqa maka erat hubungannya dengan Al-Ittihad, yaitu penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa adalah Ittihad. [4] Mustafa Zuhri mengatakan bahwa fana dan baqa tidak dapat dipisahkan dengan Ittihad. Dalam ajaran Ittihad sebagai salah satu metode tasawuf. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Baidlowi, yang dilihat hanya satu wujud. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang mencintai (Tuhan).[5] Dalam situasi Ittihad yang semacam itu , seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu.
            Hulul secara harfiah berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana.[6] Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam Al-Luma’ yang dikutip Harun Nasution, Hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia-manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah kemanusian yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
            Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia bertolak dari dasar pemikiran Al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). [7]
            Menurut Al-Hallaj, bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat agar bersujud kepada Nabi Adam, karena pada diri Adam Allah menjelma. Sebagaimana telah di isyaratkan yang berbunyi :
اِنَّ اللّهَ خَلَقَ ادَمَ عَلَى صُوْرَتِهِ
Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan Bentuknya.
            Dengan melihat ayat dan hadits tersebut Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan pada Tuhan juga terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan yang terdapat pada diri manusia  bersatu dengan sifat kemanusiaan yang terdapat pada diri Tuhan maka terjadilah hulul. Untuk sampai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses Al-Fana.
            Berdasarkan uraian diatas maka Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin.[8] Hamka mengatakan bahwa hulul adalah ketuhanan ( lahut) menjelma kedalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh jalan hidup kebatinan.[9]
B.     Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad dalam pandangan Al-Qur’an

Paham fana’ dan baqa’ yang ditunjukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh Sufi sebagai sejalan dengan konsep menemui Tuhan. Fana’ dan baqa’ merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang berbunyi:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (١١٠)
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-kahfi: 110)
Faham ittihad ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Isa ingin melihat Allah. Musa berkata: “Ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu”. Tuhan berfirman: Tinggallah dirimu (lenyapkanlah dirimu), baru kamu kemari (bersatu). Ayat dan riwayat tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah dan bathiniyah, yang caranya antara lain dengan beramal shalih dan beribadah semata-mata karena Alllah, menghilangkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifa-sifat Allah, yang kesemuannya ini tercakup dalam konsep fana dan baqa’. [10]
C.    Pemikiran tentang Fana’, Baqa’ Ittihad
1. Abu Yazid al-Bustami
            Dalam sejarah tasawuf, abu yazid al-bustami disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan faham fana dan baqa.[11]Ketika abu yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari mulutnya keluar kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati  memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan, padahal sesuangguhnya ia tetap manusia, yaitu manusia yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan Tuhan. Diantara ucapannya ganjil yang keluar dari dirinya, misalnya : Tidak ada Tuhan, melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besarnya kuasaku.
            Selanjutnya Abu yazid juga pernah mengatakan,
لاَاِلهَ اِلاَّ اَنَافَاعْبُدُوْنِيْ
Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku
سُبْحَانِيْ , سُبْحَانِيْ , مَا اَعْظَمُ شَأْنِيْ
Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku. [12]
            Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid itu bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam Ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagi Tuhan.
            Bagi orang yang bersikap toleran, Ittihad dipandang sebagai penyelewengan, tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama, itu dipandang sebagai kekufuran.[13]
2. Husein Bin Mansyur Al-Hallaj
            Sebagaimana telah disinggung diatas bahwa yang mengembangkan paham Al-Hulul adalah Al-Hallaj (Husein Bin Mansyur Al-Hallaj). Ia diharirkan di  negeri Baidha pada tahun 244 H (858 M), kemudian tinggal sampai dewasa di Wasith. 
            Al-Hallaj akhirnya terbunuh karena dianggap telah menyebarkan faham yang menyimpang dari para ulama fikih dan pemerintah pada saat itu. Dalam Faham Hulul yang dikemukakan oleh Al-Hallaj tersebut terdapat dua hal yang penting, yakni pertama, bahwa paham al-hulul merupakan pengembangn atau bentuk lain dari dari pham mahabbah. Kedua, al-hulul juga menggambarkan adanya Ittihad atau kesatuan rohani dengan Tuhan. [14]
           
Al-Hallaj adalah tokoh yang dianggap paling controversial dalam sejarah kesufian (mistisme) Islam. Ini berangkat dari konsep tasawuf yang ia tawarkan jauh berbeda dengan tradisi tasawuf ketika itu. Ungkapan Al-Hallaj yang mengatakan “Ana al-Haq” ( Akulah Yang Maha Besar) ditafsirkan para ulama sebagai sesuatu yang sangat jauh keluar dari garis-garis ketauhidan. Sehingga polemik pemikiran ini berakhir ditiang gantungan sebagai eksekusi terhadap Al- Hallaj.
Di kalangan cendikiawan dan pemikir Islam timbul ikhtilaf tentang substansi dari perkataan Al-Hallaj. Sebagai berasumsi bahwa ungkapan Al Hallaj tersebut adalah ajaran yang keluar dari ajaran Islam (Bid’ah). Sebab mustahil manusia dapat bersatu dengan Allah (al-Hulul). Al-Haq (Yang Maha Besar) adalah Allah Subhanahu Wa Ta'ala.Ketika Al-Hallaj berkata “Ana al-Haq” berarti dia telah menyatakan dirinya sebagai Tuhan. Inilah yang kemudian dianggap oleh penguasa Abbasiyah ketika itu sebagai justifikasi untuk menjatuhkan hukuman gantung kepada Al-Hllaj yang mereka anggap telah murtad.
            Al-Hallaj adalah tokoh yang dianggap paling controversial dalam sejarah kesufian (mistisme) Islam. Ini berangkat dari konsep tasawuf yang ia tawarkan jauh berbeda dengan tradisi tasawuf ketika itu. Ungkapan Al-Hallaj yang mengatakan “Ana al-Haq” ( Akulah Yang Maha Besar) ditafsirkan para ulama sebagai sesuatu yang sangat jauh keluar dari garis-garis ketauhidan. Sehingga polemik pemikiran ini berakhir ditiang gantungan sebagai eksekusi terhadap Al- Hallaj.
Di kalangan cendikiawan dan pemikir Islam timbul ikhtilaf tentang substansi dari perkataan Al-Hallaj. Sebagai berasumsi bahwa ungkapan Al Hallaj tersebut adalah ajaran yang keluar dari ajaran Islam (Bid’ah). Sebab mustahil manusia dapat bersatu dengan Allah (al-Hulul). Al-Haq (Yang Maha Besar) adalah Allah Subhanahu Wa Ta'ala.Ketika Al-Hallaj berkata “Ana al-Haq” berarti dia telah menyatakan dirinya sebagai Tuhan. Inilah yang kemudian dianggap oleh penguasa Abbasiyah ketika itu sebagai justifikasi untuk menjatuhkan hukuman gantung kepada Al-Hllaj yang mereka anggap telah murtad.

DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 20
Nasution, Harun, Filasafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang,                1983.
Shaliba, Jamil, Mu’jam Al-Falsafy, Jilid II, Beirut : Dar Al-Kitab,                                        1979.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniaannya, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1984.
Jamil Shaliba, Mu’jam Al-Falsafy, Jilid II, Beirut : Dar Al-Kitab, 1979, 
Zuhri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya : Bina Imu,
1985.

[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012, h. 231
[2] Jamil Shaliba, Mu’jam Al-Falsafy, Jilid II, Beirut : Dar Al-Kitab, 1979, h. 167.
[3] Mustafa Zuhri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya :Bina Imu, 1985, h.234

[4] Abuddin, Akhlak..., h. 233-234
[5] Mustafa, Kunci..., h. 236
[6] Abuddin, Akhlak..., h. 239

[7] Harun Nasution, Filasafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1983, h.88
[8] Abuddin, Akhlak..., h. 241
[9] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniaannya, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1984, h 120
[10] Abuddin, Akhlak..., h. 237-238

[11] Hamka, Tasawuf..., h. 102
[12]  Nasution, Falsafah..., h.86

[13] Abuddin, Akhlak..., h.237
[14] Abuddin, Akhlak..., h. 242-244

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ALIRAN MU’TAZILAH

 Teologi, sebagai mana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk beluk agam an ya se...