Minggu, 14 Januari 2018

ZUHUD


Dalam sejarah Islam, sebelum timbul Aliran Tasawuf, terlebih dahulu muncul Aliran Zuhud. Aliran zuhud atau Aksetisisme timbul pada akhir Abad I dan permulaan Abad II Hijriyah. Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari Khalifah dan keluarga serta pembesar-pembesar Negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syria, Mesir, Mesopotania dan Persia.[1] Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran Tasawuf bermula dari gerakan hidup Zuhud. Dengan istilah lain bahwa cikal bakal Aliran Tasawuf adalah gerakan hidup Zuhud. Jadi sebelum orang Sufi lahir telah ada orang Zahid yang secara tekun mengamalkan Ajaran-ajaran Islam, yang kemudian dikenal dengan Ajaran Tasawuf.[2]
Kehidupan kerohanian Tasawuf itu belumlah terpisah dari kehidupan sehari-hari, sahabat-sahabat Nabi yang utama, mencontoh kehidupan Nabi Muhammad telah dapat menggabungkan kehidupan lahir (duniawi) dengan hidup kerohanian didalam kehidupan sehari-hari. namun segala warna kehidupan itu telah mereka pandangi dari segi hidup kerohanian.   
Orang Sufi menganggap kehidupan Wara’ sebagai permulaan dalam mencapai kehidupan Zuhud Imam Al-Qusyairi menukil perkataan Sulaiman Darani yang mengatakan “Wara’ permulaan kehidupan Zuhud sebagaimana Qanaah (merasa cukup) adalah jalan menuju kehidupan Redho”.[3]
Rabi’atul Adawiyah, adalah seorang Zahid perempuan yang sangat besar.. Tingkat kehidupan Zuhud yang tadinya direncanakan oleh Hasan Basri, yaitu takut dan pengharapan, telah dinaikkan oleh Rabi’ah kepada Zuhud karena cinta. Jika kita berbicara masalah Asketisisme (Zuhud), banyak sekali para Ulama yang berpendapat tentang Zuhud. Bermacam-macam pendapat yang mereka kemukakan ada yang mengatakan bahwa Zuhud itu pada hakikatnya adalah membelakangkan semua mata benda dunia, tetapi bukan berarti tidak mau memiliki apa-apa, dalam arti kata tidak berlebih-lebihan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Zuhud adalah ketidak inginan terhadap sesuatu yang bersifat sementara atau sesuatu yang bisa menyesatkan tetapi tujuan hidup yang sebenarnya adalah semata-mata mengharapkan keredhoan Allah SWT yakni kehidupan yang kekal abadi (akhirat).[4]

A.                Pengertian Zuhud
Secara  etimologis, zuhud berarti ragaban ‘ ansyai’in watarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu  dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenagan dunia untuk ibadah.
Berbicara tentang zuhud secara terminologis, maka tidak bisa di lepaskan  dari dua hal: yang pertama  zuhud sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tasawuf. Kedua  zuhud sebagai moral (akhlak) islam dan gerakan protes.
Apabila tasawuf  diartikan adanya komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu stasiun (maqam)  menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepadaNya.
Klasifikasi arti zuhud ke dalam dua pengertian tersebut sejalan dengan makna ihsan. Yang pertama berarti ibadah kepada Allah seakan-akan melihatnya dan zuhud sebagai salah satu maqam menuju kesana, dan yang kedua arti dasar ihsan adalah berbuat baik
Menurut Al-Palibani hakikat zuhud itu meninggalkan sesuatu yang di kasihi dan berpaling dari padanya kepada sesuatu yang lain, yang lebih baik dari padanya. Karena itu sikap seseorang yang meninggalkan kasih akan dunia “karena mengigikan sesuatu didalam akhirat itulah yang dikatakan zuhud.[1]
Pengertian zuhud ini ada tiga macam :
1.      Meninggalkan sesuatu karena mengiginkan sesuatu yang lebih baik dari padanya.
2.      Meninggalkan keduniaan karena mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan, dan
3.      Meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencintaiNya.[2]
1.      Biografi Hasan Al-Bashri
Nama asli dari Hasan Al-Bashri adalah Abu Sa'id Al Hasan bin Yasar. Baliau dilahirkan oleh seorang perempuan yang bernama Khoiroh, dan beliau adalah anak dari Yasaar, budak Zaid bin Tsabit[3], tepatnya pada tahun 21 H di kota Madinah setahun setelah perang shiffin, ada sumber lain yang menyatakan bahwa beliau lahir dua tahun sebelum berakhirnya masa pemerintahan Khalifah Umar bin Al-Khattab[4], Khoiroh adalah bekas pembantu dari Ummu Salamah yang bernama asli Hindi Binti Suhail yaitu istri Rosulullah SAW. Sejak kecil Hasan Al-Basri sudah dalam naungan Ummu Salamah. Bahkan ketika ibunya menghabiskan masa nifasnya Ummu Salamah meminta untuk tinggal di rumahnya. Dan juga nama Hasan Al-Bashri itupun pemberian dari Ummu Salamah. Ummu Salamah pun terkenal dengan seorang puteri Arab yang sempurna akhlaknya serta teguh pendiriannya. Para ahli sejarah menguraikan bahwa Ummu Salamah paling luas pengetahuannya diantara para istri-istri Rosullah SAW lainnya. Seiring semakin akrabnya hubungan Hasan Al-Bashri dengan keluarga Nabi, berkesempatan untuk bersuri tauladan kepada keluarga Rosullulah dan menimba ilmu bersama sahabat di masjid Nabawy.
2.      Prinsip-Prinsip Ajaran Hasan Al-Bashri
1.      Zuhud: Penyucian Jiwa
Lahirnya gerakan asketisme (zuhud) sebagai bentuk awal dari sufisme dalam Islam. Gerakan ini mulai muncul secara mencolok, terutama pada zaman dinasti Ummayah di kala pemerintahan Islam mengambil bentuk kerajaan. Penindasan politik para penguasa pada waktu itu dirasakan oleh masyarakat terlalu oversif sehingga melahirkan bermacam aksi dan protes sosial, politik. Salah satu reaksi terhadap ketidakadilan sosial dan degenerasi moral pada waktu itu adalah gerakan sufi yang mencoba menangkap kedalaman dan spiritual Islam. Bukan Islam yang sudah dikebiri menjadi sejumlah aturan hukum dan doktrin teologi yang kering, dan juga bukan Islam yang telah berubah menjadi sistem politik yang memberikan justifikasi bagi elitisme, nepotisme, dan eksploitasi. Menurut Nicholas, asketisme (zuhud) merupakan bentuk tasawuf yang paling dini. Ia member atribut pada para asketis dengan gelar "para sufi angkatan pertama" (abad-abad pertama dan kedua Hijriah). Selanjutnya, (sampai abad ketiga) mulai tampak perbedaan jelas antara asketisme.
Jadi, sebelum lahirnya tasawuf sebagai disiplin ilmu, zuhud merupakan permulaan tasawuf. Setelah itu, zuhud merupakan salah satu maqamat dari tasawuf. Kalau pada mulanya pengertian zuhud itu hanya hidup sederhana, kemudian bergeser dan berkembang ke arah yang lebih keras dan ekstrem. Pengertian yang ekstrem tentang zuhud datang pertama kali dari Hasan Al-Bashri yang mengatakan, "perlakukanlah dunia ini sebagai jembatan sekadar untuk dilalui dan sama sekali tidak membangun apa-apa di atasnya.”[5] Bahkan, menurut Al-Junaid, zuhud adalah tidak mempunyai apa-apa dan tidak memiliki siapa saja. Konsep dasar pendirian tasawuf Hasan Al-Bashri adalah zuhud terhadap dunia, menolak  kemegahannya, semata menuju kepadaAllah, tawakal, khauf, dan raja' , semuanya tidaklah terpisah. Jangan hanya takut kepada Allah, tetapi ikutilah ketakutan itu dengan pengharapan. Takut akan murka-Nya, tetapi mengharap karunia-Nya.[6]
Jadi, Hasan Al-Bashri senantiasa bersedih hati, senantiasa takut, apabila ia tidak melaksanakan perintah Allah sepenuhnya dan tidak menjauhi larangan sepenuhnya pula. Sedemikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu dijadikan untuk dia. Abdul Al-Hakim Hasan meriwayatkan bahwa Hasan Al-Bashri pernah mengatakan, “Aku pernah menjumpai suatu kaum yang lebih zuhud terhadap barang yang halal daripada yang haram. "
Hasan A1-Basliri terkenal berpengetahuan mendalam, terkenal pula ke zuhudan (keasketisan) dan kerendahan hatinya. At-Tausi dalam kitabnva AI-Uma', meriwayatkan, suatu ketika dikatakan pada Hasan Al-Bashri, "Engkau adalah orang, yang paling memahami etika. Hal apakah yang paling bermanfaat, baik untuk masa singkat atau lama" Jawabannya, mendalami agama. Sebab, itu arah kalbu orang-orang yang  menurut ilmu, sikap asketis dalam hal duniawi, memperdekat pada Tuhan semata, dan mengerti apa yang dianugerahkan Allah kepadamu. Di dalamnya terkandung kesempurnaan iman."
                        Dari pemaparan di atas, jelaslah Hasan Al-Bashri, berupaya untuk selalu meninggalkan dan memalingkan diri dari hal-hal yang menghalangi untuk mengabdi kepada Tuhannya. Zuhud terhadap dunia dan mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini sesuai dengan pemaknaan zuhud, yaitu ragaba ‘an syai’in ‘wa tarakahu artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya.
2.      Khauf: Akhlaq Sufi
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa khauf menurut Hasan Al-Bashri adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau Allah tidak senang padanya. Karena adanya perasaan seperti itu beliau selalu berusaha agar sikap dan perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah. Khauf merupakan aspek yang tidak terpisah dari zuhud. Karena khauf tersebut merupakan tipe kezuhudan Hasan Al-Bashri. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Khauf senantiasa meliputi perasaan Hasan Al-Bashri. Apabila duduk, ia seperti tawanan perang yang menjalani sanksi dipukul pundaknya, dan jika disebutkan kepadanya tentang neraka, ia merasa bahwa sepertinya neraka itu diciptakan untuknya. Perasaan al-Khauf (takut) baginya merupakan sebuah hal (kondisi) dari beberapa ilmu. Perasaan khauf ini menjadi salah satu maqam (tingkatan) pemberian Allah bagi seorang yang 'arif billah.
Allah SWT berfirman:

وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَان
Artinya : Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga
(Q.S. Ar Rahman: 46)
Dalam hal ini, Hasan Al-Bashri mengaitkan khauf sebagai hal-hal dalam salah satu maqam untuk mencapai "keyakinan" (aI-Yaqin
Allah SWT. Berfirman:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِين
Artinya:"Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadanmu.(Q.S. Al-hijr: 99)
Keyakinan ini harus ditempuh melalui perasaan takut kepadaAllah SWT., yaitu dengan mengembangkan sikap mental yang dapat merangsang seseorang melakukan hal-hal lang baik dan mendorongnya untuk menjauhi perbuatan maksiat. Perasaan khauf timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada Allah sudah mendalam sehingga merasa khawatir apabila melupakannya atau takut kepada siksa Allah.
3.      Raja' dan Optimisme
Raja' berarti suatu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambanya yang saleh. Setelah tertanam dalam hati, perasaan khauf harus dibarengi dengan pengharapan (raja'). KarenaAllah Maha Pengampun, Pengasih, dan Penyayang, seorang hamba yang taat merasa optimis akan memperoleh limpahan karunia Ilahi. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampunan, merasa lapang dada, penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang Allah, karena merasa hal itu akan terjadi. Perasaan optimis akan memberi semangat dan gairah melakukan mujahadah demi terwujudnya apa yang diidam-idamkan itu karena Allah adalah Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang.
Hasan Al-Bashri semula aktif memberikan fatwa dan dialog dengan penguasa (pada masa Umar bin Abdul Aziz) tentang kebijaksanaan pemerintahan dan ikut serta mencerdaskan kehidupan umat dengan mengajarkan hukum syariat, mengajak serta mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sasaran dakwah Hasan Al-Bashri menjangkau lapisan atas dan bawah, kiprahnya beliau memberikan nuansa tersendiri. Pada masa Umar bin Abdul Aziz berkuasa, ketika nilai-nilai spiritual dan moralitas sangat dijunjung tinggi, namun setelah habis masa pemerintahan umar bin Abdul Aziz, ia acuh terhadap penguasa, tidak mendekat pada penguasa yang zalim.
B.                   Aliran-aliran Asketisisme Dalam Islam
1.       Aliran Madinah.[7]
Sejak masa yang dini di Madinah telah muncul para Zahid. Mereka kuat berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah, dan mereka menetapkan Rasuluallah sebagai panutan kezuhudan. Diantara mereka dari kalangan sahabat adaah abu Ubaidah Al-Jarrah, Abu Zard Al-Ghifari, Salman Al-Farisi, Abduallah Ibn Mas’ud, Hufaizah Ibnu Yaman. Sementara itu dari kalangan Tabi’in diantaranya adalah Sa’id Ibnu Al-Masayyad dan Salim Ibnu Abduallah. Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum Muslimin (salaf), dan berpegang teguh pada Zuhud serta kerendahan hati Nabi. Aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada Ajarn-ajaran Islam.
Selanjutnya, di Madinah muncul beberapa orang Zahid ternama, antara lain, seperti Sa’id bin Musayyab (w. 91 H). menurut Ibn Khalikan, dia adlah tokoh Tabi’in kelas pertama. Salim bin Abduallah bin Umar bin Al-Khattab pun tekenal sebagai salah seorang Tabi’in Madinah yang cenderung pada kehidupan Zuhud. Kemudian, gerakan Zuhud juga muncul di Mesir. Diantara tokoh-tokohnya pada Abad yang pertama Hijriyah adalah Salim bin Atar Al-Tajibi[8] Tokoh lainya adalah Abdurrahman bin Hujairah, yang menjabat sebagai hakim agung Mesir tahun 69 Hijriyah, dan meninggal tahun 83 Hijriyah. Dia terkenal sebagai seorang Zahid yang tekun beribadah. Sedangkan Zahid yang menonjol pada abad yang kedua Hijriyah adalah Al-Lais bin Sa’ad. Sikap Zuhud dan kehidupannya yan sederhana begitu terkenal. Dia lahir di Qalqasyandah, Mesir, salah satu kampung dipesisir laut merah, dan meninggal tahun 175 Hijriyah di Mesir. Menurut Ibn Khalikan, dia seorang Zahid yang kaya juga dermawan. Selain itu, dia pun seorang ahli hukum yang terkenal. 
2.      Aliran Bashrah
Louis Massignon mengemukakan dalam artikelnya, bahwa pada Abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua Aliran Zuhud yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang Lainnya di Kufah. Menurut Massignon orang-orang tinggal di Bashrah berasal dari Bani Tami, mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal-hal yang riil. Mereka adalah penganut Aliran Ahlussunnah tapi cenderung pada Alira-aliran Mu’tazilah dan Qadariah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan Al-Basri[9] Malik Ibnu Dinar, padahal Al-Raqqasyi, Rabbah Ibnu ‘Amru Al-Qissyi, Saleh Al-Murni atau Abdul Zahid Ibnu Zaid. Corak yang menonjol dari dari para Zahid Bashrah ialah Zuhud dan rasa takut yang berlebih-lebihan. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah berkata: para Sufi muncul yang  pertama dari Bashrah.
3.      Aliran Kufah
Aliran kufah menurut Louis Massignon, berasal dari Yaman. Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal-hal aneh dalam Nahwu, hal-hal imeg dalam puisi dan harfiah dalam hal Hadist. Dalam Aqidah mereka cenderung pada Aliran Si’ah dan Raja Iyyah dan ini tidak aneh, sebab Aliran Si’ah pertama kali muncul di kufah.
4.      Aliran Mesir
Pada Abad-abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat Aliran Zuhud yang lain, yang dilupakan para orientalis dan Aliran ini tampaknya bercorak Salafi, seperti halnya Aliran Madinah. Aliran tersebut adalah Aliran Mesir, sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu, misalnya Amru Ibn Al-Ash, Abduallah Ibn Amru Ibn Al-Ash yang terkenal kezuhudannya, Zubair bin Awwam dan Miqdad Ibnal-Aswad.
DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 64.
Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 233.

M. Asywadi Syukur, Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu ), hal. 62.
Ahmad Mu’adz Haqqi, Syarah 40 Hadist Tentang Akhlak, (Buku Islam Rahmatan), hal. 79. 
M. Amin Syukur, M.A zuhud di abad modern (pustaka pelajar) h.1
Imam ahmad bin hambal, Az-Zuhd,( dar Ar-Rayyan Lit-Turats Cairo) h.28
Pannerans. Multiply. com
Wisdom Of Hasan Al-Basri Nasehat-Nasehat Penerang Hati. PT Serambi Ilmu Semesta Jakarta 2008
Siregar, Rivay, Tasawuf, Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, Hlm 17.
Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya, Jakarta: Citra Serumpun Padi, 1994, Hlm. 71.
w.w.w. google. Yahoo. Com
Asmaran As.,  Pengantar Studi Tasawuf, hal. 246
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hal. 67.



[1]M. Amin Syukur, M.A zuhud di abad modern (pustaka pelajar) h.1
[2]Imam ahmad bin hambal, Az-Zuhd,( dar Ar-Rayyan Lit-Turats Cairo) h.28
[3]pannerans. Multiply. com
[4]Wisdom Of Hasan Al-Basri Nasehat-Nasehat Penerang Hati. PT Serambi Ilmu Semesta Jakarta 2008
[5]Siregar, Rivay, Tasawuf, Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, h. 17.
[6]Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya, Jakarta: Citra Serumpun Padi, 1994, h. 71.
[7]w.w.w. google. Yahoo. com
[8]Asmaran As.,  Pengantar Studi Tasawuf, h. 246
[9]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 67.


[1]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 64.
[2]Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada), h. 233.
[3]M. Asywadi Syukur, Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu ), h. 62.
[4] Ahmad Mu’adz Haqqi, Syarah 40 Hadist Tentang Akhlak, (Buku Islam Rahmatan), hal. 79. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ALIRAN MU’TAZILAH

 Teologi, sebagai mana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk beluk agam an ya se...