Dalam sejarah Islam, sebelum timbul
Aliran Tasawuf, terlebih dahulu muncul Aliran Zuhud. Aliran zuhud atau Aksetisisme
timbul pada akhir Abad I dan permulaan Abad II Hijriyah. Aliran ini timbul
sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari Khalifah dan keluarga serta
pembesar-pembesar Negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah
Islam meluas ke Syria, Mesir, Mesopotania dan Persia.[1]
Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran Tasawuf bermula dari gerakan hidup
Zuhud. Dengan istilah lain bahwa cikal bakal Aliran Tasawuf adalah gerakan
hidup Zuhud. Jadi sebelum orang Sufi lahir telah ada orang Zahid yang secara
tekun mengamalkan Ajaran-ajaran Islam, yang kemudian dikenal dengan Ajaran
Tasawuf.[2]
Kehidupan kerohanian Tasawuf itu
belumlah terpisah dari kehidupan sehari-hari, sahabat-sahabat Nabi yang utama,
mencontoh kehidupan Nabi Muhammad telah dapat menggabungkan kehidupan lahir
(duniawi) dengan hidup kerohanian didalam kehidupan sehari-hari. namun segala
warna kehidupan itu telah mereka pandangi dari segi hidup kerohanian.
Orang Sufi menganggap kehidupan
Wara’ sebagai permulaan dalam mencapai kehidupan Zuhud Imam Al-Qusyairi menukil
perkataan Sulaiman Darani yang mengatakan “Wara’ permulaan kehidupan Zuhud
sebagaimana Qanaah (merasa cukup) adalah jalan menuju kehidupan Redho”.[3]
Rabi’atul Adawiyah, adalah seorang Zahid perempuan
yang sangat besar.. Tingkat kehidupan Zuhud yang tadinya direncanakan oleh
Hasan Basri, yaitu takut dan pengharapan, telah dinaikkan oleh Rabi’ah kepada
Zuhud karena cinta. Jika kita berbicara masalah Asketisisme (Zuhud), banyak
sekali para Ulama yang berpendapat tentang Zuhud. Bermacam-macam pendapat yang
mereka kemukakan ada yang mengatakan bahwa Zuhud itu pada hakikatnya adalah
membelakangkan semua mata benda dunia, tetapi bukan berarti tidak mau memiliki
apa-apa, dalam arti kata tidak berlebih-lebihan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa
Zuhud adalah ketidak inginan terhadap sesuatu yang bersifat sementara atau
sesuatu yang bisa menyesatkan tetapi tujuan hidup yang sebenarnya adalah
semata-mata mengharapkan keredhoan Allah SWT yakni kehidupan yang kekal abadi
(akhirat).[4]
A.
Pengertian Zuhud
Secara etimologis, zuhud
berarti ragaban ‘ ansyai’in watarakahu, artinya tidak tertarik
terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenagan dunia untuk ibadah.
Berbicara tentang zuhud secara
terminologis, maka tidak bisa di lepaskan dari dua hal: yang pertama
zuhud sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tasawuf. Kedua
zuhud sebagai moral (akhlak) islam dan gerakan protes.
Apabila tasawuf diartikan
adanya komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan,
maka zuhud merupakan suatu stasiun (maqam) menuju tercapainya
“perjumpaan” atau ma’rifat kepadaNya.
Klasifikasi arti zuhud ke dalam dua
pengertian tersebut sejalan dengan makna ihsan. Yang pertama berarti
ibadah kepada Allah seakan-akan melihatnya dan zuhud sebagai salah satu maqam
menuju kesana, dan yang kedua arti dasar ihsan adalah berbuat baik
Menurut Al-Palibani hakikat zuhud
itu meninggalkan sesuatu yang di kasihi dan berpaling dari padanya kepada
sesuatu yang lain, yang lebih baik dari padanya. Karena itu sikap seseorang
yang meninggalkan kasih akan dunia “karena mengigikan sesuatu didalam akhirat
itulah yang dikatakan zuhud.[1]
Pengertian zuhud ini ada tiga macam
:
1. Meninggalkan
sesuatu karena mengiginkan sesuatu yang lebih baik dari padanya.
2. Meninggalkan
keduniaan karena mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan, dan
3. Meninggalkan
segala sesuatu selain Allah karena mencintaiNya.[2]
1.
Biografi
Hasan Al-Bashri
Nama asli dari Hasan Al-Bashri adalah Abu
Sa'id Al Hasan bin Yasar. Baliau dilahirkan oleh seorang perempuan yang bernama
Khoiroh, dan beliau adalah anak dari Yasaar, budak Zaid bin Tsabit[3],
tepatnya pada tahun 21 H di kota Madinah setahun setelah perang shiffin, ada
sumber lain yang menyatakan bahwa beliau lahir dua tahun sebelum berakhirnya
masa pemerintahan Khalifah Umar bin Al-Khattab[4],
Khoiroh adalah bekas pembantu dari Ummu Salamah yang bernama asli Hindi Binti
Suhail yaitu istri Rosulullah SAW. Sejak kecil Hasan Al-Basri sudah
dalam naungan Ummu Salamah. Bahkan ketika ibunya menghabiskan masa nifasnya
Ummu Salamah meminta untuk tinggal di rumahnya. Dan juga nama Hasan Al-Bashri
itupun pemberian dari Ummu Salamah. Ummu Salamah pun terkenal dengan seorang
puteri Arab yang sempurna akhlaknya serta teguh pendiriannya. Para ahli sejarah
menguraikan bahwa Ummu Salamah paling luas pengetahuannya diantara para
istri-istri Rosullah SAW lainnya. Seiring semakin akrabnya hubungan Hasan
Al-Bashri dengan keluarga Nabi, berkesempatan untuk bersuri tauladan kepada
keluarga Rosullulah dan menimba ilmu bersama sahabat di masjid Nabawy.
2.
Prinsip-Prinsip
Ajaran Hasan Al-Bashri
1.
Zuhud:
Penyucian Jiwa
Lahirnya gerakan asketisme (zuhud)
sebagai bentuk awal dari sufisme dalam Islam. Gerakan ini mulai muncul secara
mencolok, terutama pada zaman dinasti Ummayah di kala pemerintahan Islam
mengambil bentuk kerajaan. Penindasan politik para penguasa pada waktu itu
dirasakan oleh masyarakat terlalu oversif sehingga melahirkan bermacam aksi dan
protes sosial, politik. Salah satu reaksi terhadap ketidakadilan sosial dan
degenerasi moral pada waktu itu adalah gerakan sufi yang mencoba menangkap
kedalaman dan spiritual Islam. Bukan Islam yang sudah dikebiri menjadi sejumlah
aturan hukum dan doktrin teologi yang kering, dan juga bukan Islam yang telah
berubah menjadi sistem politik yang memberikan justifikasi bagi elitisme,
nepotisme, dan eksploitasi. Menurut Nicholas, asketisme (zuhud) merupakan
bentuk tasawuf yang paling dini. Ia member atribut pada para asketis dengan
gelar "para sufi angkatan pertama" (abad-abad pertama dan kedua
Hijriah). Selanjutnya, (sampai abad ketiga) mulai tampak perbedaan jelas antara
asketisme.
Jadi, sebelum lahirnya tasawuf
sebagai disiplin ilmu, zuhud merupakan permulaan tasawuf. Setelah itu, zuhud
merupakan salah satu maqamat dari tasawuf. Kalau pada mulanya pengertian zuhud
itu hanya hidup sederhana, kemudian bergeser dan berkembang ke arah yang lebih
keras dan ekstrem. Pengertian yang ekstrem tentang zuhud datang pertama kali
dari Hasan Al-Bashri yang mengatakan, "perlakukanlah dunia ini sebagai
jembatan sekadar untuk dilalui dan sama sekali tidak membangun apa-apa di
atasnya.”[5]
Bahkan, menurut Al-Junaid, zuhud adalah tidak mempunyai apa-apa dan tidak
memiliki siapa saja. Konsep dasar pendirian tasawuf Hasan Al-Bashri adalah
zuhud terhadap dunia, menolak kemegahannya, semata menuju kepadaAllah,
tawakal, khauf, dan raja' , semuanya tidaklah terpisah. Jangan hanya takut
kepada Allah, tetapi ikutilah ketakutan itu dengan pengharapan. Takut akan
murka-Nya, tetapi mengharap karunia-Nya.[6]
Jadi, Hasan Al-Bashri senantiasa
bersedih hati, senantiasa takut, apabila ia tidak melaksanakan perintah Allah
sepenuhnya dan tidak menjauhi larangan sepenuhnya pula. Sedemikian takutnya,
sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu dijadikan untuk dia. Abdul
Al-Hakim Hasan meriwayatkan bahwa Hasan Al-Bashri pernah mengatakan, “Aku
pernah menjumpai suatu kaum yang lebih zuhud terhadap barang yang halal
daripada yang haram. "
Hasan A1-Basliri terkenal
berpengetahuan mendalam, terkenal pula ke zuhudan (keasketisan) dan kerendahan
hatinya. At-Tausi dalam kitabnva AI-Uma', meriwayatkan, suatu ketika dikatakan
pada Hasan Al-Bashri, "Engkau adalah orang, yang paling memahami etika.
Hal apakah yang paling bermanfaat, baik untuk masa singkat atau lama"
Jawabannya, mendalami agama. Sebab, itu arah kalbu orang-orang yang
menurut ilmu, sikap asketis dalam hal duniawi, memperdekat pada Tuhan semata,
dan mengerti apa yang dianugerahkan Allah kepadamu. Di dalamnya terkandung
kesempurnaan iman."
Dari pemaparan di atas, jelaslah Hasan Al-Bashri, berupaya untuk selalu
meninggalkan dan memalingkan diri dari hal-hal yang menghalangi untuk mengabdi
kepada Tuhannya. Zuhud terhadap dunia dan mendekatkan diri kepada Allah. Hal
ini sesuai dengan pemaknaan zuhud, yaitu ragaba ‘an syai’in ‘wa
tarakahu artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya.
2.
Khauf: Akhlaq Sufi
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa khauf menurut Hasan Al-Bashri
adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau Allah tidak senang padanya. Karena
adanya perasaan seperti itu beliau selalu berusaha agar sikap dan perbuatannya
tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah. Khauf merupakan aspek yang tidak
terpisah dari zuhud. Karena khauf tersebut merupakan tipe kezuhudan Hasan
Al-Bashri. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Khauf senantiasa meliputi
perasaan Hasan Al-Bashri. Apabila duduk, ia seperti tawanan perang yang
menjalani sanksi dipukul pundaknya, dan jika disebutkan kepadanya tentang
neraka, ia merasa bahwa sepertinya neraka itu diciptakan untuknya. Perasaan
al-Khauf (takut) baginya merupakan sebuah hal (kondisi) dari beberapa ilmu.
Perasaan khauf ini menjadi salah satu maqam (tingkatan) pemberian Allah bagi
seorang yang 'arif billah.
Allah SWT berfirman:
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ
جَنَّتَان
Artinya : Dan bagi orang yang takut
akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga
(Q.S. Ar Rahman: 46)
Dalam hal ini, Hasan Al-Bashri
mengaitkan khauf sebagai hal-hal dalam salah satu maqam untuk mencapai
"keyakinan" (aI-Yaqin
Allah SWT. Berfirman:
وَاعْبُدْ
رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِين
Artinya:"Dan sembahlah Tuhanmu
sampai yakin (ajal) datang kepadanmu.(Q.S. Al-hijr: 99)
Keyakinan ini harus ditempuh melalui perasaan takut kepadaAllah SWT., yaitu
dengan mengembangkan sikap mental yang dapat merangsang seseorang melakukan
hal-hal lang baik dan mendorongnya untuk menjauhi perbuatan maksiat. Perasaan
khauf timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada Allah sudah mendalam
sehingga merasa khawatir apabila melupakannya atau takut kepada siksa Allah.
3.
Raja' dan Optimisme
Raja' berarti suatu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan
nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambanya yang saleh. Setelah tertanam
dalam hati, perasaan khauf harus dibarengi dengan pengharapan (raja').
KarenaAllah Maha Pengampun, Pengasih, dan Penyayang, seorang hamba yang taat
merasa optimis akan memperoleh limpahan karunia Ilahi. Jiwanya penuh
pengharapan akan mendapat ampunan, merasa lapang dada, penuh gairah menanti
rahmat dan kasih sayang Allah, karena merasa hal itu akan terjadi. Perasaan
optimis akan memberi semangat dan gairah melakukan mujahadah demi
terwujudnya apa yang diidam-idamkan itu karena Allah adalah Yang Maha Pengasih
lagi maha Penyayang.
Hasan Al-Bashri semula aktif memberikan fatwa dan dialog dengan penguasa
(pada masa Umar bin Abdul Aziz) tentang kebijaksanaan pemerintahan dan ikut
serta mencerdaskan kehidupan umat dengan mengajarkan hukum syariat, mengajak
serta mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sasaran dakwah Hasan
Al-Bashri menjangkau lapisan atas dan bawah, kiprahnya beliau memberikan nuansa
tersendiri. Pada masa Umar bin Abdul Aziz berkuasa, ketika nilai-nilai
spiritual dan moralitas sangat dijunjung tinggi, namun setelah habis masa
pemerintahan umar bin Abdul Aziz, ia acuh terhadap penguasa, tidak mendekat
pada penguasa yang zalim.
B.
Aliran-aliran
Asketisisme Dalam Islam
Sejak masa yang dini di Madinah
telah muncul para Zahid. Mereka kuat berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan
Sunnah, dan mereka menetapkan Rasuluallah sebagai panutan kezuhudan. Diantara
mereka dari kalangan sahabat adaah abu Ubaidah Al-Jarrah, Abu Zard Al-Ghifari,
Salman Al-Farisi, Abduallah Ibn Mas’ud, Hufaizah Ibnu Yaman. Sementara itu dari
kalangan Tabi’in diantaranya adalah Sa’id Ibnu Al-Masayyad dan Salim Ibnu
Abduallah. Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama
kaum Muslimin (salaf), dan berpegang teguh pada Zuhud serta kerendahan hati
Nabi. Aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada Ajarn-ajaran
Islam.
Selanjutnya, di Madinah muncul
beberapa orang Zahid ternama, antara lain, seperti Sa’id bin Musayyab (w. 91
H). menurut Ibn Khalikan, dia adlah tokoh Tabi’in kelas pertama. Salim bin
Abduallah bin Umar bin Al-Khattab pun tekenal sebagai salah seorang Tabi’in
Madinah yang cenderung pada kehidupan Zuhud. Kemudian, gerakan Zuhud juga
muncul di Mesir. Diantara tokoh-tokohnya pada Abad yang pertama Hijriyah adalah
Salim bin Atar Al-Tajibi[8]
Tokoh lainya adalah Abdurrahman bin Hujairah, yang menjabat sebagai hakim agung
Mesir tahun 69 Hijriyah, dan meninggal tahun 83 Hijriyah. Dia terkenal sebagai
seorang Zahid yang tekun beribadah. Sedangkan Zahid yang menonjol pada abad
yang kedua Hijriyah adalah Al-Lais bin Sa’ad. Sikap Zuhud dan kehidupannya yan
sederhana begitu terkenal. Dia lahir di Qalqasyandah, Mesir, salah satu kampung
dipesisir laut merah, dan meninggal tahun 175 Hijriyah di Mesir. Menurut Ibn
Khalikan, dia seorang Zahid yang kaya juga dermawan. Selain itu, dia pun
seorang ahli hukum yang terkenal.
2. Aliran
Bashrah
Louis Massignon mengemukakan dalam
artikelnya, bahwa pada Abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua Aliran
Zuhud yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang Lainnya di Kufah.
Menurut Massignon orang-orang tinggal di Bashrah berasal dari Bani Tami, mereka
terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal-hal
yang riil. Mereka adalah penganut Aliran Ahlussunnah tapi cenderung pada
Alira-aliran Mu’tazilah dan Qadariah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan
Al-Basri[9]
Malik Ibnu Dinar, padahal Al-Raqqasyi, Rabbah Ibnu ‘Amru Al-Qissyi, Saleh
Al-Murni atau Abdul Zahid Ibnu Zaid. Corak yang menonjol dari dari para Zahid
Bashrah ialah Zuhud dan rasa takut yang berlebih-lebihan. Dalam hal ini Ibnu
Taimiyah berkata: para Sufi muncul yang pertama dari Bashrah.
3. Aliran Kufah
Aliran kufah menurut Louis
Massignon, berasal dari Yaman. Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal-hal
aneh dalam Nahwu, hal-hal imeg dalam puisi dan harfiah dalam hal Hadist. Dalam
Aqidah mereka cenderung pada Aliran Si’ah dan Raja Iyyah dan ini tidak aneh,
sebab Aliran Si’ah pertama kali muncul di kufah.
4. Aliran Mesir
Pada Abad-abad pertama dan kedua
Hijriyah terdapat Aliran Zuhud yang lain, yang dilupakan para orientalis dan
Aliran ini tampaknya bercorak Salafi, seperti halnya Aliran Madinah. Aliran
tersebut adalah Aliran Mesir, sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam
terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu, misalnya Amru
Ibn Al-Ash, Abduallah Ibn Amru Ibn Al-Ash yang terkenal kezuhudannya, Zubair
bin Awwam dan Miqdad Ibnal-Aswad.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 64.
Asmaran AS, Pengantar
Studi Tasawuf, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 233.
M. Asywadi Syukur, Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu ), hal. 62.
Ahmad Mu’adz Haqqi, Syarah 40 Hadist Tentang Akhlak, (Buku Islam Rahmatan),
hal. 79.
M. Amin Syukur, M.A zuhud
di abad modern (pustaka pelajar) h.1
Imam ahmad bin hambal,
Az-Zuhd,( dar Ar-Rayyan Lit-Turats Cairo) h.28
Pannerans. Multiply. com
Wisdom Of Hasan Al-Basri Nasehat-Nasehat Penerang
Hati. PT
Serambi Ilmu Semesta Jakarta 2008
Siregar, Rivay, Tasawuf,
Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999,
Hlm 17.
Hamka, Tasawuf Perkembangan
Dan Pemurniannya, Jakarta: Citra Serumpun Padi, 1994, Hlm. 71.
w.w.w. google. Yahoo. Com
Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, hal. 246
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hal. 67.
[1]M. Amin Syukur, M.A zuhud di abad modern (pustaka pelajar) h.1
[2]Imam ahmad bin hambal, Az-Zuhd,( dar Ar-Rayyan Lit-Turats Cairo)
h.28
[5]Siregar, Rivay, Tasawuf, Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, h. 17.
[8]Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, h. 246
Tidak ada komentar:
Posting Komentar