Sejarah pemikiran Islam tidak dapat
dipisahkan dengan sejarah kaum muslimin itu sendiri, sehingga keduanya
mempunyai hubungan yang sangat erat. Pemikiran Islam yang berkembang ibarat
sebuah produk sejarah yang dihasilkan oleh para pelaku sejarah yang terlibat di
dalamnya. Atau dengan kata lain, perkembangan pemikiran Islam ditentukan oleh
cara dan pola pikir kaum Muslimin Ketika itu.
Pada masa-masa awal kenabian, pemikiran
Islam belum berkembang seperti ini. Nabi Muhammad saw adalah tokoh sentral yang
bertindak sebagai pemimpin agama sekaligus kepala pemerintah yang berwenang
penuh dalam mengatur segala aspek kehidupan ummat Islam pada saat itu. Mereka
bersatu dibawah satu kekuasaan politik dengan penuh kepatuhan.
Pasca meninggalnya Rasulullah saw,
perpecahan ummat Islam mulai nampak. Puncaknya adalah saat dua kubu berseteru
(bertikai) yaitu; kubu Ali dan kubu Muawiyah. Konflik kedua kubu inilah yang
dianggap sebagai starting point terhadap konflik-konflik yang datang
belakangan. Bahkan lebih jauh membagi-bagi umat Islam kedalam kelompok-kelompok
dan aliran pemikiran.
Keputusan Ali menerima penyelesaian
konflik dengan jalan tahkim (arbitrase), walaupun dilakukan dengan terpaksa
ternyata menimbulkan rasa tidak puas dikalangan pasukan Ali sendiri. Mereka
yang tidak puas ini memisahkan diri dari barisan Ali dan membentuk kelompok
sendiri yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Khawarij.
Lain halnya dengan Murji’ah, tapi
tetap masih pengaruh pilitik sehingga aliran/kaum Murji’ah ini terbentuk,
berangkat dari adanya suasana caci mencaci, dan tuduh menuduh serta kafir
mengkafirkan muncul dikalangan Syi’ah dan Khawarij. Maka ada pihak lain yang
merasa tidak tenang untuk berada disalah satu posisi ini, mereka ingin jadi
pihak penengah terhadap apa yang diperbincangkan sehingga mereka memilih
mengembalikan persoalan ini kepada Allah.
A.
Sejarah
Lahir dan Perkembangan kaum Khawarij dan Murji’ah
1.
Kaum
Khawarij
Ketika perang Shiffin
yang terjadi antara Ali dengan Muwiyah. Pihak Muawiyah hampir kalah lalu
mereka mengangkat mushaf pada ujung tombak dan menyerukan perhentian peperangan
dengan bertahkim atas usulan Amr bin Ash seorang kaki tangan Muawiyah. Akibat
itu golongan Ali terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan yang setuju dengan
tahkim dan golongan yang tidak setuju dengan tahkim. Kaum inilah yang dinamakan
kaum Khawarij yaitu kaum yang keluar dari Muawiyah dan keluar dari Ali.[1]
Nama Khawarij
berasal dari kata Kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka
karna keluar dari barisan Ali, tetapi adapula pendapat yang mengatakan bahwa
pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100 dari surah an-Nisa, Allah berfirman
dalam QS. An Nisa/4 : 100
Terjemahnya:
Dan barang
siapa keluar dari rumahnya untuk berhijrah kepada Allah dan rasulNya.[2]
Dengan demikian
kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari
kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan RasulNya. Disamping
nama Khawarij yang secara umum dipakai, dikenal juga dengan nama-nama al
Hururiah, al Syurah, al Mariqah dan al Muhakkimah.[3]
Adapun alasan mereka menyebut diri mereka Syurah, yang berasal dari kata Yasri
(Menjual), sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al Baqarah/2 : 207
Terjemahnya:
Dan di antara
manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan
Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.[4]
Kembali ke
persoalan Takhim, adapun yang dimaksud tahkim adalah kedua belah pihak
mengirim utusan yang berhak sebagai hakim. Keduanya akan memutuskan perkara
yang disepakati bersama untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum. Muawiyah
mewakilkan urusan tersebut kepada Amr bin al Ash sebagai wakilnya. Sedagnkan
Ali bin Abi Thalib mewakilkan kepada Abu Musa al Asy’ari. Kedua belah pihak
menuliskan kesepakatan yang dicapai pada sebuah dokumen resmi. Sebagian prajurit
dalam pasukan Ali bin Abi Thalib menilai bahwa tindakan tersebut adalah dosa
dan pelakunya kafir. Ia harus bertaubat kepada Allah, mereka yang tidak setuju
dengan perdamaian menyatakan keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Kelompok
inilah yang dikenal dengan nama al Khawarij. Ali mengirim Ibnu Abbas kepada
kelompok ini untuk berdialog dan berdebat dengan mereka. bahkan pada akhirnya
Ali bin Abi Thalib pun turun tangan untuk berdialog dengan mereka secara
langsung. Setelah dialog dengan Ali, sebagian dari mereka ada yang bergabung
kembali dengan Ali, namun sebagian lagi tetap menolak.[5]
Banyak sekali
cerita-cerita seputar Tahkim yang disampaikan oleh para sejarawan dan disajikan
dalam buku-buku sejarah. Mereka menganggap bahwa cerita tersebut adalah cerita
yang sesungguhnya dan tidak perlu diragukan lagi. Diantara para sejarawan ada
yang menyajikan secara panjang lebar, ada yang menyampaikan secara ringkas, dan
ada yang menyimpulkan saja untuk diambil sebagai pelajaran.
Selanjutnya
kaum khawarij ini mengeluarkan pernyataan-peryataan yang berbau teologis.
Mereka misalnya memandang Ali , Muawiyah, Amr bin al Ash, Abu Musa al Asy’ari
dan orang-orang yang menerima Tahkim tersebut adalah Kafir karna dalam al
Qur’an telah dijelaskan bahwa siapa yang memutuskan sesuatu tanpa berdasarkan
kepada al Qur’an, maka Hukumnya Kafir.[6]
Adapun ayat yang dimaksud adalah QS. Al Maidah/5 : 44
Terjemahnya :
Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.[7]
2.
Kaum
Murji’ah
Sebagaimana
dengan kaum Khawarij, kaum Murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan akibat
persoalan politik, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan dikalangan
ummat Islam setelah Usman bin Affan mati terbunuh. Seperti yang telah dilihat,
kaum Kahwarij, pada mulanya adalah penyokong Ali, tetapi kemudian berbalik
menjadi musuhnya. Karna adanya perlawanan ini, penyokong-penyokong yang tetap
setia padanya bertambah keras dan kuat kembelanya dan akhirnya mereka merupakan
satu golongan lain dalam Islam yang dikenal dengan nama Syi’ah. Kefanatikan
golongan in terhadap Ali bertambah keras, setelah ia sendiri mati terbunuh
pula.[8]
Nama Murji’ah
berasal dari kata Irja atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan, dan pengharapan. Kata arja mengandung pula arti memberi harapan
kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat Allah. Selain itu,
arja’a berarti pula meletakkan akan amal dari iman. Oleh karna itu, Murji’ah
artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa
yakni Ali dan Muawiyah serta pasukan masing-masing ke hari akhirat kelak.[9]
Menurut Abdul
Kadir al Bagdadi, penamaan Murji’ah didasarkan pada doktrin “raja” itu sendiri
(penundaan ketentuan hukum bagi pelaku perbuatan dosa). Firman Allah dalam QS
al Taubat/9: 106:
Terjemahnya :
Dan ada (pula) orang-orang
lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah; adakalanya Allah akan
mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima taubat mereka. dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[10]
Dengan
demikian, kaum Murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut
campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika akan mengambil sikap
terhadap penentuan hukum kafir atau tidaknya orang-orang yang bertentangan
dengan Tuhan.[11]
Mereka menganalogikan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar, tidak
lantas harus diberikan predikat kafir, tapi tetap mukmin, dan yang berhak atas
semua itu hanyalah Allah.
Embrion
terbentuknya aliran Murji’ah pada dasarnya memang berawal dari persoalan
politik dan konflik saling mengkafirkan. Ada golongan sahabat dari Madinah di
bawah pimpinan Abdullah bin Umar di Basrah, Kufah, dan Damaskus yang menarik
diri dari konflik politik tersebut, tidak mau melibatkan diri dan berpihak
kepada salah satu yang bertentangan. Mereka bersikap netral dan menahan diri, tidak
mau mengemukakan pendapat atau pernyataan apapun, terutama tentang peperangan
antara Ali dan Thalhah dan kawan-kawan juga peperangan antara Ali dan Muawiyah.
Mereka tidak mengajukan pendapat siapa yang salah diantara Ali dan Muawiyah.
Penyesalannya terserah pada kepad Tuhan.[12]
Atas dasar sikap netral itulah dan tidak ingin terlibat yang berdasar atas
pandangan Teologi bahwa penilaian hukum bagi pelaku dosa besa diserahkan kepada
Tuhan.
3.
Perkembangan
Keduanya
Pada
perkembangannya, kaum Khawarij semakin luas dan terbagi menjadi dua golongan.
Yang pertama bermarkas disebuah negeri Bathaih yang menguasai dan mengontrol
kaum Khawarij yang berada di Persia yang dikepalai oleh Nafi bin Azraq dan
Qathar bin Faja’ah, dan golongan yang kedua bermuara ke Arab Daratan yang
menguasai kaum Khawarij yang berada di Yaman, Khadaramaut, dan Thaif yang
dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah bin Ami, dan Abu Fudika.[13]
Lain halnya
dengan Murji’ah, perkembangan kaum Murji’ah sangatlah subur pada masa
pemerintahan dinasti Bani Umayyah, karna bersifat netral sebab tidak memusuhi
pemerintah yang sah. Dalam perkembangan berikutnya, lambat laun aliran ini
tidak mempunyai bentuk lagi. Bahkan beberapa ajarannya diakui oleh aliran
berikutnya, sebagai aliran yang berdiri sendiri, golongan Murjiah ekstrim pun
sudah hilang dan tidak didapati pada sebagian ummat Islam yang menjalankan
ajaran-ajarannya. Kemungkinan mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya
mengikuti ajaran-ajran golongan Murji’ah ekstrim.[14]
B.
Makna-makna
dari aliran Khawarij dan Murji’ah
1. Khawarij
Khawarij
adalah satu perkataan yang berasal dari kata kerja “Kharajai” yang
berarti “memberontak” atau juga dapat dikatakan sebagai orang-orang yang
menentang serta membangkang. Sedangkan A. Syalaby memberi defenisi yakni mereka
yang keluar dari kelompok Ali. (Hasaruddin, 2012: 187).
Abu al Fath
Muhammad ibn abd al Karim ibn Abi Bakr Ahmad al Syah ristani, menulis dalam
bukunya al Milal wa al Nihal:
كل
من خرج علي الامام الحق الذي اتفقت
الحماعة عليه يسمي خارجيا سواء كان الخروج عي ايام الصحا بة علي الا ء مة على
الراشدين اركان بعد هم على الاء مة ف كل زمان
Al Khawarij
dalam pengertian diatas adalah nama yang tercela, karna keluar dari kebenaran
yang disepakati oleh jam’ah ummat. tetapi al Khawarij yang dimaksud dalam
pengertian ilmu kalam adalah dalam pengertian kelompok orang-orang yang
membangkang terhadap Ali. Mereka keluar dari kelompok Ali dan menentang
kebijaksanaan Ali menerima tahkim. Dalam bahasa Arab, Kaharaja berarti keluar,
maka orang yang keluar dikatakan kharijiy adalah khawarij yang berarti
orang-orang yang keluar. (Yunan Yusuf, 2014: 43)
Secara
etimologi khawarij adalah bentuk plural dari kharij dan kharij adalah kata
turunan dari khuruj, sedangkan khuruj secara etimologi Arab mengandung beberapa
makna, diantaranya:
a.
Hari kiamat
berkata Abu Ubadah dalam menafsirkan firman Allah: “(Yaitu) pada hari mereka
mendengar teriakan dengan sebenar-benarnya itulah hari keluar (dari kubur). QS.
50:42. Khuruj adalah nama dari nama-nama hari kiamat.
b.
Kebangkitan
dari kubur, misalnya dalam firman Allah QS. Qamar/54:7 yang artinya “sambil
menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kubur seakan-akan mereka
belalang yang beterbangan.
c.
Lawan dari
masuk, yaitu keluar.
Sedangkan
secara terminologi, menurut Syahrastani bahwa yang disebut Khawarij adalah
setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jam’ah
baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin, atau pada masa tabi’in secara
baik-baik. Nama ini diberkan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa term Khawarij dalam ilmu kalam adalah suatu
sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi tahlib yang keluar meninggalkan
barisan karna ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali menerima arbitrase
(Tahkim), dalam perang siffin pada tahun 37/648 M dengan kelompok Muawiyah bin
Abu Sufyan perihal persengketaan Khalifah.[15]
Nama “Khawarij”
diberikan kepada golongan yang keluar dai jama’ah Ali menerima tahkim dari
Muawiyah dari pertempuran siffin. Mereka dinamakan Khawarij adalah karena
mereka keluar dari rumah-rumah mereka dengan maksud berjihad di jalan Allah.
Mereka dinamakan juga “syurah” karna merea menganggap bahwa sanya diri mereka
telah mereka jual kepada Allah, mereka dinamakan juga “hururiyah” karna mereka
pergi berlindung ke suatu kota kecil dari kufah yang bernama Hururah,
sebagaimana mereka dinamakan “muhakkimah” karna mereka selalu menggunakan
semboyan. “la hukma illa lillah”. (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1992:168).
2. Murji’ah
Nama Murji’ah
diambil dari kata irja atau Arja’a, yang bermakna penundaan, penangguhan
dan pengharapan. Al-Irja’a dengan makna dan harapan, seperti pada firman Allah
dengan QS. An Nisa/4 : 104
Terjemahnya :
sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka
harapkan.
Menurut as
Syahrastani, jika makna kata Murji’ah yang pertama digunakan untuk menyebut
suatu golongan. Makna-makna yang berdua lebih tepat karna mereka menangguhkan
perbuatan dari niat dan balasan. Maksudnya adalah penangguhan vonis hukuman
atas perbuatan seseorang sampai ke pengadilan Allah swt. Sehingga seorang
Muslim sekalipun berdosa besar dalam kelompok ini tetap diakui sebagai muslim
dan punya harapan untuk bertaubat. (Azizi Masbullah, 2010 : 8).
C.
Pokok-pokok
ajaran Khawarij dan Murji’ah
1.
Khawarij
Adapun doktrin dari kaum Khawarij adalah :
a.
Khalifah atau
iman harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
b.
Khalifah tidak
harus berasalh dari keturunan Arab. dengan demikian setiap orang muslim berhak
menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
c.
Khalifah dipilh
secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at
Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh jika melakukan kedzaliman.
d.
Khalifah
sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh
dari masa kekhalifahan Utsman ra dianggap telah menyeleweng.
e.
Kahlifah Ali
adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah
menyeleweng,
f.
Muawiyah dan
Amr bin Ah serta Abu Musa al Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah
menjadi kafir.
g.
Pasukan perang
jawal yang melawan Ali juga Kafir.
h.
Seorang yang
berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat
anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi
kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim yang lain yang telah dianggap kafir
dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
i.
Setiap muslim
harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. bila tidak mau bergabung,
ia wajib diperangi karna hidup dalam dar harb (negara musuh), sedang
golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar Islam (Negara Islam).
j.
Seseorang harus
menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
k.
Adanya wa’ad
dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahar harus
masuk neraka).
l.
Amar ma’ruf nahyi mungkar.
m.
Memalingkan
ayat-ayat al Qur’an yang tampak mutasyabihat (samar)
n.
Al Qur’an
adalah makhluk
o.
Manusia bebas
memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.[16]
Dalam bukunya
pengantar Ilmu Kalam. Salihin A. Nasir menjelaskan ajaran-ajaran pokok Khawarij
ialah Khalifah, dosa, dan Iman. Mereka menghendaki kedudukan Khalifa
dipiluh secara demokrasi melalui pemilihan bebas. Mereka juga berpendapat. Dosa
yang ada hanyalah dosa besar tidak ada pembagian dosa besar. Lalu persoalan
iman, menurut Khawarij iman itu bukan hanya membenarkan dalam hati dan ikrar
lisan saja, tetapi amal Ibadah menjadi bagian dari Iman. Barang siapa tidak
mengamalkan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan lain-lain, maka hafirlah
dia.[17]
2.
Murji’ah
Doktrin Murj’ah
pada dasarnya adalah merupakan ajaran pokok yang dipegangi yaitu irja’ atau
arja’a yang diwujudan dalam berbagai persoalan baik yang sifatnya politik
maupun teologis. Misalnya dalam bidang politik, doktrin irja’ selalu disekapi
dalam bentuk diam dalam arti tidak mau ikut terlibat. Sedangkan dalam bidang
teologis irja’ dikembangkan Murji’ah ketika menghadapi beberapa persoalan yang
muncul dan berkembang. Baik masalah iman, kufur maupun status pelaku dosa besar
di akhir kelak.
Dalam hal ini,
Montgomery Watt seperti yang dikutip oleh Rosihun Anwar dengan membagi doktrin
Murji’ah sebagai berikut:
a.
Penangguhan
keputusan kepada Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di Akhirat kelak.
b.
Pemberian
harapan terhadap orang Muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
Rahmat dari Allah.
c.
Doktrin-doktrin
Murji’ah menyerupai ajaran para skeptic dan empiris dari kalangan helenis.
Seperti juga
yang disebutkan oleh Harun Nasution, yang dikutip oleh Nurlaela Abbas membagi
Teologi Murji’ah ke dalam empat bagian. Yaitu :
a.
Menunda hukuman
atas Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash, dan Abu Musa al Asy’ary yang terlibat
tahkim dan menyerahkannya kepada Allag dihari kiamat.
b.
Menyerahkan
keputusannya kepada Allah atas orang Muslim yang berbuat dosa besar.
c.
Menekankan
pentingnya keimanan daripada perbuatan.
d.
Memberi
penghargaan kepada Mu’min yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah.[18]
DAFTAR PUSTAKA
Abbas,
Nurlaelah. Ilmu Kalam Sebuah Pengantar. Makassar : Alauddin University
Press. 2014.
A.Nasir,
Salihun. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta : PT. Grafindo Persada. 1996.
A.Nasir,
Salihun. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangan. Jakarta
: PT. Rajagrafindo Persada. 2012.
Ash
Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Jakarta : PT.
Karya Unipress. 1992.
As
Shallabi, Ali Muhammad, Biografi Ali bin Abi Thalib. Jakarta : Pustaka
Al Kautsar, 2012.
Departemen
Agama R.I, Al Qur’an dan Terjemahnya. Semarang : PT Karya Toha Putra,
1996.
Nasution,
Harun. Teologi Islam Aliran aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta
: UI Press. 1986.
Siola,
Muh. Nasir, Studi Aliran Kalam dalam Sejarah, Tokoh, dan Pemikiran. Makassar
: Alauddin University Press, 2014.
Yusuf,
M. Yunan, Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam. Prenadamedia Group.
2014.
[1] Nasir Siola, Studi
Aliran Kalam dalam Sejarah, Tokoh, dan Pemikiran (Cet I; Makassar: Alauddin
University Press, 2014), h. 17.
[2] Departemen
Agam R.I, al Qur’an dan Terjemahnya (Cet II; Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1996)
[3] M. Yunan
Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam (Jakarta: Prenadamedia Group,
2014) h. 44.
[4] Departemen
Agama R.I., Al Qur’an dan Terjemahnya.
[5] Ali Muhammad
ash Shallabi, Biografi Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: Pustaka al Kautsar,
2012), h. 670.
[6] Nurlaela
Abbas, Ilmu Kalam Sebuah Pengantar, (Cet I; Samata: Alauddin University
Press, 2014 ), h. 86
[7] Departemen
Agama R.I, al Qur’an dan Terjemahnya.
[8] Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, (Cet
V; Jakarta: UI Press, 1986), hal. 22.
[9] Nurlaelah
Abbas, Ilmu kalam Sebuah Pengantar, h. 104
[10] Departemen
Agama R.I, al Qur’an dan Terjemahnya.
[11] Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,h.
22.
[12] Nurlaela
Abbas, Ilmu Kalam Sebuah Pengantar, h. 107.
[13] Nasir Siola, Studi
Aliran Kalam dalam Sejarah, Tokoh, dan Pemikiran, h. 20.
[14] Nasir Siola, Studi
Aliran Kalam dalam Sejarah, Tokoh, dan Pemikiran, h. 52
[15] Nasir Siola, Studi
Aliran Kalam dalam Sejarah, Tokoh, dan Pemikiran, h. 15-17.
[16] Nasir Siola, Studi
Aliran Kalam dalam Sejarah, Tokoh, dan Pemikiran. h. 19-20.
[17] Salihun A.
Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996),
h. 95-98.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar