Harun
Nasution membagi sejarah perkembangan Islam dalam tiga periode yaitu: klasik
(650-1250), pertengahan (1250-1800) dan modern (1800-sekarang).[1]
Pada periode klasik tersebut umat Islam mengalami kejayaan. Hal tersebut dapat
dilihat pada beberapa aspek diantaranya: luasnya kekuasaan umat Islam yang
tersebar dalam tiga benua Asia, Afrika dan Eropa, dan berkembang pesatnya ilmu
pengetahuan yang dikembangkan oleh umat Islam baik pengetahuan agama maupun
pengetahuan umum sehingga pada periode tersebut Islam telah menjadi adikuasa dunia.
Sedangkan pada periode pertengahan dikenal sebagai periode kemunduran. Hal
tersebut diakibatkan oleh banyak factor diantaranya: kehancuran diansti
Abbasiyah akibat serangan bangsa Mongol, penyerangan umat Kristen Eropa ke
dunia Islam selama kurang lebih dua ratus tahun. Faktor tersebut mengakibatkan
umat Islam terpecah menjadi beberapa imperium yakni Utsmani di Turki, Safawi di
Persia dan Mughal di India.
Imperium-imperium
menjadi pusat peradaban Islam pada abad pertengahan dan masih mampu menjaga kewibawaan
kaum muslimin. Namun, mejelang akhir abad ke XVII Masehi imperium tersebut
mengalami kemunduran dan sebaliknya Eropa yang “menjadi musuh Islam” pada saat
itu telah bangkit dari masa kegelapan dan kemunduran menjadi ancaman bagi
imperium-imperium Islam.
Kebangkitan
bangsa Eropa dari masa kemunduran menjadikan mereka melakukan banyak ekspansi
ke wilayuah di luar Eropa termasuk ke imperium-imperium Islam yang telah
terpecah-pecah. Misalnya Malaka jatuh ke Portugis pada tahun 1511 M, Prancis
menduduki mesir pada akhir abad ke XVIII, Mughal jatuh ke Inggris pada abad ke
XIX M., dan Mughal dibubarkan oleh Inggris setelah berkuasa kurang lebih tiga
ratus tahun. Ekspansi bangsa Eropa tidak berhenti sampai di situ, mereka terus
melakukan ekspansi sehingga satu persatu wilayah Islam jatuh ke tangan mereka.
Sebagai
akibat dari hal tersebut maka, umat Islam sangat sadar akan kemundurannya dari
bangsa Eropa sehingga mereka mulai mengadakan perbaikan dan pembenahan.
Sehingga, muncullah tokoh-tokoh pembaharu (mujaddid) untuk memperbaiki keadaan.
Misalnya: Sanusi di Afrika Utara, Abdul Wahhab di Najd, Jamaluddin di
Afganistan dan Mirza Ghulam Ahmad di India.
Gerakan
Mirza Ghulam Ahmad muncul di India sebagai respon atas kemunduran umat Islam di
dunia secara umum dan India secara khusus baik dalam bidag agama, politik,
ekonomi, social dan bidang-bidang kehidupan lainnya. Hal tersebut menjadikan
Mirza Ghulam Ahmad mempunyai tanggung jawab moral untuk memajukan umat Islam
dari berbagai keterpurukan. Selain itu, ia juga terinspirasi dari gerakan kaum
misionaris yang melakukan kristenisasi di India. Gerakan Mirza Ghulam Ahmad
tersebut dikenal dengan Ahmadiyah. Ahmadiyah dalam perkembangannya sangat dekat
dengan “penjajah” Inggris di India.
Hal
tersebut agak membingungkan karena Ahmadiyah tampil menangkis gerakan
kristenisasi di India namun di lain sisi juga bersahabat mesra dengan
“penjajah” Inggris yang jelas-jelas punya misi gospel (kristenisasi).
Selain itu, pengikut Ahmadiyah juga meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang
nabi dan mendapatkan wahyu dari Tuhan. Hal ini tentunya menuai kontra dari umat
Islam lainnya. Kontroversi dan kesimpang-siuran tentang Ahmadiyah selama ini menjadikan
menarik kuntuk mengetahui apa sebenarnya Ahmadiyah itu?
1.
Sejarah
Singkat Kelahiran dan Perkembangan Ahmadiyah
Menurut
Rahardjo, berdirinya Ahmadiyah dilatarbelakangi oleh tiga factor, pertama kolonialisme
Inggris di India. Kedua, kemunduran kehidupan umat Islam di segala bidang.
Ketiga, proses kristenisasi oleh misionaris.[1]
Kedatangan
bangsa Inggris di India bukan hanya untuk mencari kekayaan dalam perdagangan
maritim di anak benua India melainkan juga mempunyai misi menyebarkan agama
Kristen pada daerah yang didatangi. Pada saat itu, memang kondisi umat Islam di
dunia dan India secara khusus mengalami kemunduran. Hal tersebut melahirkan
sebuah gerakan yang dikenal dengan Ahmadiyah.
Ahmadiyah
ini didirikan oleh seorang keturunan bangsawan Mughal dari Qadiani bernama
Mirza Ghulam Ahmad anak dari Mirza Ghulam Murtaza. Menurut Iain Adamson Mirza
Ghulam Ahmad lahir pada 13 Februari 1835.[2]
Sehubungan dengan hal tersebut Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud (Khalifah
Al-Masih ke III) menulis sebagai berikut:
The Ahmadiyah Movement was founded
by Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908), (on whom be peace thel blessings of
God), in March 1889, when he was about 54 years of age. Ahmad (on whom be
peace) belonged to a noble and ancient Mughal family of the Punjab which had
migrated to India from Samarkand or about the reign of the Emporer Babar.[3]
Berangkat
dari kutipan dia atas dapat dipahami bahwa keluarga Mirza Ghulam Ahmad bukan
orang India asli, melainkan ia adalah pendatang dari daerah Samarkand (Asia
Tengah) yang datang dan menetap ke wilayah Punjab, India.
Mirza
Ghulam Ahmad sejak kecil adalah seorang yang tekun belajar, sangat gemar
membaca Alquran dan Hadīts dan buku-buku keislaman. Bahkan, ia juga gemar membaca
khazanah keagamaan lainnya seperti Kristen
dan Hindu. (Adamson 2008: 69). Bahkan, ayahnya mendatangkannya seorang
guru untuk mengajarnya yaitu Fasal Ahmad untuk mengajarnya bahsa Arab dir
umahnya dan Gul Ali Syah untuk mengajarnya Nahawu dan Mantiq untuk untuk ilmu
ketabuban ia belajar dari ayahnya sendiri.[4]
Hal tersebut tentunya menajadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai orang yang
mempunyai wawasan luas.
Pada
tahun 1864 Mirza Ghulam Ahmad diangkat menjadi pegawai pada pemerintahan
Inggris pada kantor Bupati Sialkot. Ia bekerja pada kantor tersebut selama
empat tahun. Sebelum akhirnya ia dipanggil oleh ayahnya pulang ke Qadian untuk
bertani karena tidak cocok dengan pekerjaan tersebut. Selama ia bekerja pada
kantor tersebut ia sering diskusi dengan para misionaris Kristen dan pendeta
Hindu.[5]
Ketika
Mirza Ghulam Ahmad kembali dari Sialkot dan menetap kembali di Qadian atas
panggilan ayahnya. Setelah kematian ayahnya ia lebih banyak menyepi dari
kehidupan dari kehidupan duniawi. Pada saat-saat terakhir sebelum ayahnya
meninggal ia mengaku telah menerima wahyu dari Tuhan.[6]
Setelah
menerima wahyu dari Tuhan yang yang menunjuknya sebagai Al-Masih Al-Ma’ud
maka, ia memproklamirkan dirinya mendapt perintah dari tuhan untuk menrima
ba’iat dari para pengikutnya. Pemba’iatan pertamakali dilakukan pada tahun 11 Maret
1889 maka tahun tersebut dianggap sebagai tahun berdirinya AHmadiyah Qadian.
Sedangkan menerut Ahmadiyah Lahore bahwa tahun berdirinya Ahmadiyah ialah
ketika Mirza Ghulam Ahmad pertamakali menerima wahyu pada tahun 1888.[7]
Terlepas
dari perbedaan tahun kelahiran gerakan Ahmadiyah tersebut, intinya di India
telah muncul seorang tokoh bernama Mirza Ghulam Ahmad yang gerakannya disebut
Ahmadiyah. Ia tampil untuk memperbaiki kondisi umat Islam di wilayah tersebut.
Untuk
mengembangkan ajarannya maka mulailah para pengikut aliran ini secara
terang-terangan di tahun 1900, mendakwahkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai
"nabi" dan menghormatinya layaknya seorang rasul Tuhan. Sehubungan
dengan hal ini al-Maududi menjelaskan bahwa salah seorang propagandisnya,
Maulawi 'Abd al-Karim (khalifah Ahmadiyah ke 6) menyatakan dalam khutbah
Jumatnya sebagai berikut:
"Ketahuilah olehmu, bahwasanya kamu
sekalian jika tidak patuh kepada al-Masihul-Mau'ud (Mirza Ghulam Ahmad) mengenai
apa saja yang kalian perselisihkan, dan tidak mengimaninya sebagaimana para
sahabat mengimani Rasulullah SAW, maka kalian tergolong orang-orang yang
memisahkan diri dari Rasul Allah dan bukan pengikut Ahmadiyah." [8]
Dalam mengembangkan ajarannya tersebut
AHmadiyah sanhgat giat dan beserta para pengikutnya, dia berhasil
mengorganisasikan dengan baik sehingga kini tercatat memiliki sekitar 10 juta
pengikut, yaitu 4 juta di Pakistan dan sisanya di berbagai bagian negara-negara
Afrika dan negara-negara barat.
Dalam waktu relative singkat mereka telah menjangkau dunia para pengikutnya
semakin bertambah jumlahnya hadir di mana-mana termasuk Indonesia.[9]
2.
Perbedaan
Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore
Dalam
perkembangan Ahmadiyah terpecah menjadi dua yaitu Ahmadiyah Qadian dan
Ahmadiyah Lahore. Namun, keduanya sama-sama mempercayai bahwa Mirza
Ghulam Ahmad adalah Isa al-Masih yang telah dijanjikan Nabi Muhammad
SAW. Akan tetapi dua kelompok tersebut memiliki perbedaan prinsip. Berikut adalah perbedaan prinsip antara
keduanya sebagaimana yang dikutip dari Wikipedia[10] yaitu:
Ahmadiyah
Qadian:
1.
Hadhrat Mirza Ghulam
Ahmad, laki-laki kelahiran Qadian, India sebagai Imam Mahdi dan Al-Masih yang
dijanjikan kedatangannya di akhir zaman oleh Allah SWT.
2.
Mengimani dan meyakini
bahwa kitab Alquran adalah satu-satunya kitab suci.
3.
Mengimani dan meyakini
bahwa wahyu dan kenabian tidak terputus dengan diutusnya Nabi Muhammad saw.
Mereka beranggapan bahwa risalah kenabian (nabi ummati/nabi pengikut Rasulullah
saw. yang hanya mengikuti syariat Islam terus berlanjut sampai hari kiamat.
4.
Mengimani dan meyakini
bahwa Mekah dan Madinah tempat suci sebagaimana umat Islam pada umumnya.
5.
Wanita Ahmadiyah
dianjurkan menikah dengan laki-laki Ahmadiyah demi menjaga dan meneruskan
keturunan rohani, namun laki-laki Ahmadiyah boleh menikah dengan wanita di luar
Ahmadiyah.
Ahmadiyah
Lahore:
1.
Percaya pada semua aqidah dan hukum-hukum yang tercantum dalam al Quran dan Hadits, dan percaya pada semua
perkara agama yang telah disetujui oleh para ulama salaf dan Ahlus-Sunnah wal Jama'ah.
3.
Sesudah Nabi Muhammad SAW,
malaikat Jibril tidak akan membawa wahyu nubuwat kepada siapa pun.
4.
Apabila malaikat Jibril
membawa wahyu nubuwwat (wahyu risalah) satu kata saja kepada
seseorang, maka akan bertentangan dengan ayat: walâkin rasûlillâhi wa khâtamun-nabiyyîn (QS
33:40), dan berarti membuka pintu khatamun-nubuwwat.
5.
Sesudah Nabi Muhammad SAW
silsilah wahyu nubuwwat telah tertutup, akan tetapi
silsilah wahyu walayat tetap terbuka, agar iman dan akhlak umat tetap cerah dan
segar.
6.
Sesuai dengan sabda Nabi
Muhammad SAW, bahwa di dalam umat ini tetap akan datang auliya Allah,
para mujaddid dan para muhaddats, akan tetapi
tidak akan datang nabi.
7.
Mirza Ghulam Ahmad
adalah mujaddid abad 14 H. Dan menurut Hadits, mujaddid akan
tetap ada. Dan kepercayaan kami bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi, tetapi
berkedudukan sebagai mujaddid.
8.
Percaya kepada Mirza
Ghulam Ahmad bukan bagian dari Rukun Islam dan Rukun Iman, maka dari itu orang yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad tidak
bisa disebut kafir.
9.
Seorang muslim, apabila
mengucapkan kalimah
thayyibah, dia tidak boleh disebut kafir. Mungkin dia bisa salah,
akan tetapi seseorang dengan sebab berbuat salah dan maksiat, tidak bisa
disebut kafir.
Sebenenarnya perbedaan antara Ahmadiyah Qadian
dan Ahmadiyah Lahore terletak pada dua hal, yaitu terkait dengan hal kenabian
dan institui khilafah. Qadian percaya kalau Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi
sedangkan Lahore menganggapnya sebatas mujaddid saja, dan Lahore tidak mengakui
adanya lembaga khilafah sedangkan Qadian berpendapat sebaliknya.
Sebenarnya Ahmadiyah tidak punya ajaran pokok
seperti Mu’tazilah yang punya konsep al-Ushūl al-Hamsah. Mereka punya
ajaran kepercayaan sama dengan umat Islam pada umumnya percaya rukun iman dan
rukun Islam. Namun , dalam empat hal berbeda dengan umat Islam pada umumnya
karena mereka punya interpretasi berbeda:
1.
Kewafatan Nabi Isa
Umat Islam pada umumnya mempercayai Nabi Isa
tidak wafat melainkan diangkat ke langit dan akan kembali pada suatu saat.
Sebaliknya, Ahmadiyah Qadian maupun Lahore meyakini bahwa Nabi Isa telah wafat
dan dikuburkan di Srinagar India.[11]
Terkait dengan perbedaan status wafat dan hidupnya Nabi Isa antara Ahmadiyah
dengan kaum muslimin secara umum sebenarnya hal itu merupakan perbedaan
interpretasi dalam menafsirkan QS An-Nisa: 157.
2.
al-Masih
Umat Islam secara umum meyakini bahwa al_masih
atau Nabi Isa (yang sesungguhnya) pada
suatu saat nanti akan muncul atau datang ke dunia ini untuk membinasakan
dajjal, mematahkan tiang salib membunuh babi dan lain-lain. Sedangkan Ahmadiah
menyatakan bahwa yang dimaksud Nabi Isa itu bukan Isa yang sebenarnya melainkan
adalah orang yang punya sifat atau karakter seperti Nabi isa dan orang itu
adalah Mirza Ghulam Ahmad.
3. Wahyu
Ahmadiyah membagi wahyu menjadi dua yaitu
wahyu syariat dan wahyu muthlak, wahyu syariat dipertuntukkan
hanya bagi para nabi sedangkan wahyu muthlak diberikan kepada selain dari nabi.[12]
Berangkat dari pendapat tersebut maka bias dimaklumi kalau Ahmadiyah meyakini
bahwa wahyu itu tidak pernah terputus karena yang mereka maksudkan adalah wahyu
muthlak bukan wahyu syariat. Hal tersebut berbeda dengan keyakinan umat Islam
secara umum bahwa wahyu telah terputus sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW.
4.
Kenabian
Ahmadiyah Lahore membuat deskripsi tentang kenabian menjadi dua yaitu
pertama, nabi hakiki yaitu nabi pembawa syariat. Kedua, nabi lughawi yaitu nabi
yang tidak hakiki. Dan sekte tersebut mengatakan bahwasanya Mirza Ghulam Ahmad
hanyalah tidak lebih dari manusia biasa yang memiliki persamaan yang cukup
besar dengan para nabi: menerima wahyu tetapi hanya wahyu walayah (kewalian),
namun tidak bersifat tasyri’i. Disamping itu, dia tak lebih sebagaiMujaddid abad
14 H.
Tetapi disisi lain, pendapat Ahmadiyah Qadian berbeda dengan pendapat
Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Qadian mendeskripsikan kenabian menjadi tiga
pengertian: (a) nabi shahib al syari’ah dan mustaqil. Nabi shahib
al syari’ah adalah nabi pembawa syari’at untuk manusia.
Sedangkan nabi mustaqil yaitu hamba Allah yang menjadi nabi
dan tidak mengikuti nabi sebelumnya, misalnya nabi Isa, dan nabi Muhammad. (b) nabi mustaqil
ghair al tasyri’i adalah seorang manusia yang menjadi seorang nabi dan
tidak mengikuti nabi sebelumnya namun ia tidak membawa syariat baru. Ia
ditugaskan oleh Allah untuk menjalankan syari’at nabi sebelumnya, misalnya nabi
Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya dan Isa as. (c) nabi Zhilli Ghair Tasyri’
adalah seorang manusia yang menjadi nabi karena kepatuhannya kepada nabi
sebelumnya dan juga karena mengikuti syari’atnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Hazrat
Mirza Bashiruddin Mahmud. Ahmadiyah or tha True of Islam. New Delhi:
Award Publishing tth.
Adamson, Iain. Mirza
Ghulam Ahmad of Qadian, terj. Suhadi Madyohartono; Mirza Fhulam Ahmad
dari Qadian. Yogyakarta: Pustaka Marwa 2010.
Departemen Agama
RI, Aljamil, al-Qur’an Tajwid Warna, Terjemahan Perkata, Terjemahan Inggris. Bekasi: Cipta Bagus Segara, 2012.
https//id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyah.
Diakses 7 November 2016
Nasution, Harun.
Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya
(Jilid I). Jakarta: UI Press, 2010.
Rasyid, Soraya.
Ahmadiyah Dalam Sorotan. Makassar: Alauddin University Press 2012.
Sofianto, Kunto.
Kritis Ahmadiyah Indonesia. Disetasi Fakulti Sains Sosial dan
Kemanusiaan Universitas Bangi-Malaysia 2014.
Tim Penyusun. Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah Makalah, Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Laporan
Penelitian. Makassar: UIN Alauddin Press, 2013.
Yoguswara, A.
Heboh Ahmadiyah, Mengapa Ahmadiyah Tidak LAngsung Dibubarkan? Cet. 1
Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008.
[1] A. Yogaswara. Heboh
Ahmadiyah: Mengapa Ahmadiyah Tidak Langsung Dibubarkan?. (Cet. 1
Yogyakarta: Penerbit Narasi: 2008), h. 33.
[2] Iain Adamson. Mirza
Ghulam Ahmad of Qadian, terj. Suhadi Madyohartono, Mirza Ghulam Ahmad
dari Qadian, (Yogyakarta: Pustaka Marwa 2010), h. 39.
[3] Hazrat Mirza
Bashiruddin Mahmud Ahmad, Ahmadiyyat or the True of Islam, (New Delhi:
Award Publishing House tt), h. 4.
[4] Soraya Rasyid,
Ahmadiyah Dalam Sorotan (Makassar: Alauddin University Press 2012), h.
30.
[5] Soraya Rasyid,
Ahmadiyah Dalam Sorotan, h. 30
[6] Adamson. Mirza
Ghulam Ahmad of Qadian, terj. Suhadi Madyohartono, Mirza Ghulam Ahmad
dari Qadian, h. 101.
[9] A. Yogaswara. Heboh
Ahmadiyah: Mengapa Ahmadiyah Tidak Langsung Dibubarkan?, h. 51
[11] Kunto
Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Disertasi Fakulti
Sains Sosial dan Kemanusian Universitas
Bangi-Malaysia 2014) h. 75.
[12] Soraya Rasyid,
Ahmadiyah Dalam Sorotan, h. 178.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar