Tasawuf
merupakan ungkapan pengalaman keagamaan yang bersifat subjektif dari seseorang
dalam mendekatkan diri kepada Allah, dengan menitikberatkan pada aspek
pemikiran dan perasaan. Bahkan tasawuf banyak juga menyinggung akan penyatuan
diri dengan Tuhan serta menjalankan konsep zuhud di dunia. Akan
tetapi Secara umum dapat dikatakan bahwa tasawuf itu merupakan usaha akal
manusia untuk memahami realitas dan akan merasa senang manakala dapat sampai
kepada Allah.[1]
Artinya, orang
yang melakukan tasawuf akan mengalami ketenangan pada dirinya. Karena hal
itu telah dijamin oleh Allah didalam al-Qur’an bahwasanya ketika mengingat
Allah. Maka ia akan mengalami ketenangan dalam hatinya. Apalagi didalam Tasawuf
terdapat ajaran-ajaran yang menuntut agar ia selalu ingat kepada Allah, agar ia
bisa menyatu denganNya.
Dalam taswuf,
banyak aliran-aliran tasawuf didalam Islam yang antara satu dan lainnya tidak
sama dalam titik tekannya, yang kadangkala membuat para pengikutnya saling
mengklim bahwa ajarannyalah yang benar. Sehingga dengan demikian, dalam makalah
ini akan membahas mengenai tasawuf Junayd al-Baghdadi, yang corak pemikiran
tasawufnya tidak terlepas dari al-Qur’an dan Hadis serta adanya hubungan antara
ma’rifat dan syariat, dalam artian keseimbangan keduannya sangatlah
penting dalam ranah tasawuf itu sendiri agar sampai pada bagaimana bisa
bersama Allah.
A.
Biografi Junayd al-Baghdadi
Abu al-Qasim
Junayd bin Muhammad al-Junayd al-Khazzaz al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H
di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di
Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn al-Junayd. Ia
adalah murid dari Sirri al-Saqati dan Haris al-Muhasibi.[1]
Al-Junayd
pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang
bernama Sari al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya
berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai
seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan
al-Junayd, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya
dengan baik. al-Junayd meninggal tahun 297 H / 298 M.[2]
dan dianggap sebagai perintis dari tasawuf yang bercorak ortodoks.
B.
Pengertian Tasawuf Meneurut Junayd al-Baghdadi
dan tokoh lainnya
Mengenai
penegertian tasawuf, Junayd al-Baghdadi mengatakan bahwasanya tasawuf ialah
engkau bersama Allah tanpa penghubung.[3]
Sementara menurut Basyuni mendefinisikan tasawuf ialah kesadaran murni yang
mengarahkan jiwa kepada amal dan perbuatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan
diri dari kehidupan dunia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk
mendapatkan perasaan berhubungan erat dengan-Nya.[4]
Akan tetapi Junayd
al-Baghdadi, lebih memperinci lagi. Ia membagi definisi tasawuf ke dalam
empat bagian, yaitu:[5]
- Tasawuf adalah mengenal Allah, sehingga
hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara.
- Tasawuf adalah melakukan semua akhlak yang
baik menurut sunnah Rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk.
- Tasawuf adalah melepaskan hawa nafsu
menurut kehendak Allah.
- Tasawuf adalah merasa tiada memiliki
apapun, juga tidak di miliki oleh sesiapa pun kecuali Allah.
Sehingga dari
definisi-definisi taswuf diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya
tasawuf ialah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan
jalan menyucikan diri dari segala sesutu yang dapat mencegah untuk dekat
kepada-Nya. Baik yang berupa perintah maupun yang dilarang oleh Allah.
C.
Pemikiran dan Ciri Tasawuf Junayd al-Baghdadi
Sebelum ajaran
tasawuf Junayd al-Baghdadi, terdapat Pandangan-pandangan para sufi cukup
radikal, memancing para ahli fikih untuk mengambil sikap. Sehingga muncul
pertentangan antara para pengikut tasawuf dan ahli fikih. Ahli fikih memandang
pelaku tasawuf sebagai orang-orang zindik, yang mengaku Islam tapi tidak
pernah menjalankan syariatnya. Hal ini karena banyak pelaku tasawuf yang secara
lahir meninggalkan tuntunan-tuntunan syari’at. Sebaliknya, tokoh zuhud-tasawuf
memandang tokoh-tokoh fikih sebagai orang-orang yang hanya memperhatikan
legalitas suatu persoalan, banyak penyelewengan dilakukan untuk mendapatkan
hal-hal yang sebenarnya dilarang.
Dari adanya hal
itu, Junayd al-Baghdadi memberikan penegasan lebih lanjut akan pentingnya
amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut al-Junayd, tasawuf
adalah pengabdian kepada Allah dengan penuh kesucian. Oleh karena itu, barang
siapa yang membersihkan diri dari segala sesuatu selain Allah, maka ia adalah
sufi.
Karena penekanan
pada aspek amaliah inilah, maka tasawuf Junayd al-Baghdadi terkesan berusaha
menciptakan keseimbangan antara syari’at dan hakikat. Ini merupakan
kecenderungan yang berbeda sama sekali dengan tasawuf yang berorientasi pada
pemikiran atau falsafah. syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat akan
tertolak, demikian pula hakikat yang tidak diperkuat dengan syari’at juga akan
tertolak. Syari’at datang dengan taklif kepada makhluk sedangkan hakikat muncul
dari pengembaraan kepada yang Haq (Allah).[6]
Hal itu berarti kedekatan kepada Allah dapat dicapai manakala orang telah
melaksanakan amaliah lahiriah berupa syari’at dan kemudian dilanjutkan dengan
amaliah batiniah berupa hakikat.
Al-Junayd
dikenal pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam menghadapi
setiap persoalan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang
bersandarkan pada al-Quran dan Hadis.
Hal itu dapat dilihat pada pemikirannya yang
disesuaikan dengan firman Allah:
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ
إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Terjemahannya:
Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah engkau lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah engkau berbuat kerusakan di bumk Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al Qashash/ 28 : 77).[7]
Dimana pada
umumnya orang memahami zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang
meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar
kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan
duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang
lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak terlalu
peduli.
Karena diakui
atau tidak, bahwasanya tasawuf sebenarnya telah ada sejak Rasulullah, akan tetapi
Rasulullah tidak secara langsung meneyebutkannya dengan tasawuf secara gamlang.
Hal itu dapat terlihat dari pola hidup serta tata cara beliau dalam segala
bentuk hidupnya yang menampilkan dengan penuh kesederhanaan. Namun pada
perkembangan selanjutnya tasawwuf mengalami kemajuan yang dikembangkan oleh
masing-masing tokoh tasawuf dengan model masing-masing.
Begituhalnya
mengenai masalah hulul dan ittihad yang tetap melandasinya dengan
apa yang terdapat didalam ajaran al-Qur’an dan hadis. Artinya tasawuf
Junaid al-Baghdady ini tetap memandang bahwa pentingnya syariat
demi mencapai akhirat. Dimana, ajaran tasawuf al-Junaid ini sama dengan ajaran
tasawuf Al-Muhibbi yang memberi tekanan besar pada disiplin diri atau
lebih sepesifik pada disiplin kalbu. Ia memperjelas antara orientasi
ukrawi dan moralitas.[8]
Dari ajaran
tasawuf Junayd al-Baghdadi ini sangat jelas bahwasanya, orang sufi itu
tetap diwajibkan menjalankan syariat untuk mencapai kehadirat Ilahi
Rabbi. Tanpa menjalankan syariat, seseorang tidak akan sampai kepada
Allah.
D. Pandngan Junayd al-Baghdadi Terhadap
Zuhud
Pada umumnya
orang memahami zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan
kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan
kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan duniawi atau
urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk
kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak terlalu peduli.
Pemahaman
seperti itu jelas kurang tepat. Sebab banyak sufi tidak mengartikan zuhud
seperti itu. Menurut Junayd al-Baghdadi (210-298 H), misalnya, justru sangat
tidak menyukai sikap zuhud demikian. Menurut dia, zuhud model itu hanya
akan membawa orang, termasuk sufi, pada kondisi yang tidak menggembirakan.
Padahal konsep zuhud adalah dimana kita tetap memiliki harta, namun
tidak terlalu mencintainya. Hal ini seperti yang dikatakan Husyain Assabuni
bahwa tidak ada zuhud itu meninggalkan harta, akan tetapi bagaimana
menggantinya dengan jalan rasa takut didalam hati dan tidak tamak.[9]
Aplikasi zuhud,
menurut Junayd al-Baghdadi, bukanlah meninggalkan kehidupan dunia sama sekali,
melainkan tidak terlalu mementingkan kehidupan duniawi belaka. Jadi, setiap
Muslim termasuk juga para sufi, tetap berkewajiban untuk mencari nafkah bagi
penghidupan dunianya, untuk diri dan keluarganya. Letak zuhudnya adalah,
bila ia memperoleh rezeki yang lebih dari cukup. ia tidak merasa berat memberi
kepada mereka yang lebih memerlukannya.
Berdasarkan
pemahaman dan penghayatan Junayd al-Baghdadi tentang zuhud ini, maka
tidak berlebihan kalau kemudian ia disebut sebagai “Sufi yang moderat”.
Kemoderatan Junayd al-Baghdadi dalam bertasawuf jelas terlihat ketika ia bicara
soal zuliud misalnya. Karena
zuhud merupakan pangkal atau dasar dari segala ajaran yang terkandung
dalam sufisme yang diyakini oleh setiap sufi. Untuk menjadi sufi, setiap
orang harus terlebih dulu menjalani zuhud atau menjadi zahid.
Untuk menjadi zahid, seorang sufi harus melepaskan kesenangannya pada
benda-benda yang selama ini telah memberinya kenikmatan duniawi. Sebab
kesenangan kepada duniawi diyakini sebagai pangkal segala bencana. Sedangkan
bencana yang paling besar bagi setiap sufi adalah ketika mereka tidak dapat
mendekati dan bersatu dengan Tuhan.
Menurut Junayd
al-Baghdadi, setiap Muslim, termasuk juga para sufi, seharusnya mengikuti jejak
Rasulullah, yaitu menjalani kehidupan ini seperti manusia biasa, menikah,
berdagang, berpakaian yang pantas. tapi juga dermawan, la tidak suka dengan
sifat manusia yang apatis.
Kata al-Junyad,
“Seorang sufi tidak seharusnya hanya berdiam diri di masjid dan berzikir saja
tanpa bekerja untuk nafkahnya. Sehingga untuk menunjang kehidupannya orang
tersebut menggantungkan diri hanya pada pemberian orang lain. Sifat-sifat
seperti itu sangatlah tercela. Karena sekali pun ia sufi, ia harus tetap
bekerja keras untuk menopang kehidupannya sehari-hari, dimana jika sudah
mendapat nafkah, diharapkan mau membelanjakannya di jalan Allah.”[10]
Konsep
taswuf al-Junyad sperti itu dapat diterapkan pada keadaan zaman sekarang
ini, karena pada kehidupan modern kali ini tidak mungkin seseorang melakukan zuhud
yang meninggalkan kehidupan dunia secra total karena masih banyaknya tanggung
jawab yang harus di pikulnya serta diperlukan adanya interaksi dengan banyak
orang serta urusan dunia yang lain. Maka dengan demikian konsep zuhud yang
ditawarkan al-Junayd yang sangat cocok dengan tantangan zaman kali ini.
Selain itu,
meski al-Junayd seorang sufi, ia tidak melulu membicarakan soal tasawuf saja,
tetapi juga berbagai masalah lain yang berhubungan dengan kemaslahatan umat
Islam. Inilah juga yang membuat al-Junayd agak berbeda dengan para sufi
pada umumnya.
Misalnya.
al-Junayd sangat peduli terhadap berbagai penyakit yang timbul di masyarakat.
Menurut dia, di dalam masyarakat lebih banyak ditemukan orang yang sakit jiwa
ketimbang mereka yang sakit jasmani. Itu lantaran jiwa lebih sensitif dan lebih
rapuh ketimbang fisik, sehingga jiwa lebih mudah menderita. Lebih lanjut,
penyakit jiwa ini lebih merusak jika dibandingkan dengan penyakit fisik. Sebab
penyakit tersebut lebih mudah menggerogoti jiwa dan moral manusia. Sedangkan
jika jiwa seorang sudah rusak, maka dengan mudah ia akan terseret pada berbagai
perbuatan yang menyalahi ajaran agama, yang lebih jauh akan menggiringnya masuk
ke dalam neraka.[11]
E. Junayd Al-Baghdadi Dalam Hal Ittihad dan
Hulul
Berbicara Ittihad
yang dikembangkan oleh al-Busthami dan hulul yang dipopulerkan oleh
al-Hallaj atau konsep cinta dan menyatu dengan Allah sangatlah menarik dalam
taswwuf. Sehingga radikalisme dan liberalisme tasawuf dapat kita amati dalam
fenomena ittihad dan hulul tersebut, yang keduanya memiliki kesamaan
dalam menafikan realitas konkret manusia.
Keliaran
pemikiran semacam itu dalam pandangan Junayd al-Baghdadi, tidaklah benar.
Baginya, dunia tasawuf harus tetap berpijak pada realitas konkret manusia.
Pencapaian tertinggi dalam dunia tasawuf hanyalah sampai level mahabbah
dan marifah. Dengan demikian eksistensi konkret hamba (ubudiah) tetap
terpisah dari eksistensi tuhan (uluhiah). Menurut al-Junaid, syariat tetaplah
penting dalam menuju mahabbah dan marifah.[12]
Kendati
demikian, dari pemahan itu, manusia menurut al-Junyad bisa mendekati bahkan
bersatu dengan Tuhan melalui tasawuf. Dan untuk mencapai kebersatuan itu, orang
harus mampu memisahkan ruhnya dari semua sifat kemakhlukan yang melekat pada
dirinya. Walau begitu, kata al-Junayd, sufisme adalah suatu sifat
(keadaan) yang di dalamnya terdapat kehidupan manusia. Artinya, esensinya
memang merupakan sifat Tuhan, Tapi gambaran formalnya (lahirnya) adalah sifat
manusia.
Di sinilah
Junayd al-Baghdadi ingin menegaskan bahwa sesungguhnya diri manusia telah
dihiasi dengan sifat Tuhan, sehingga, kondisi tingkat tertinggi dari suatu
pengalaman sufistik yang dicapai seorang sufi pada persatuannya dengan Tuhan,
juga dapat dilukiskan. Pada tingkat ini seorang sufi akan kehilangan
kesadarannya, la tidak lagi merasa memiliki hubungan dengan lingkungannya,
Seluruh perhatiannya hanya tertuju buat Tuhan dengan kehilangan kesadarannya
akan keduniaan, maka ia otomatis sedang berada dengan Tuhan.
Pada tingkat
yang demikian. seorang sufi merasakan tidak ada lagi jarak antara dirinya
dengan Tuhan. Karena sifat-sifat yang ada pada dirinya semuanya sudah
digantikan dengan sifat Tuhan. Segala kehendak pribadi manusia lenyap,
digantikan dengan kehendak-Nya.
Ketika Junayd
al-Baghdadi ditanya mengenai al-Haaq yang dilontarkan pada diri
al-Hallaj. Ia tidak mengartikan hal itu langsung kepada arti Allah, tetapi ia
mengartikan al-Haqq itu merupakan lawan dari al-Bathil. Al-Hallaj
dibunuh dijalan yang benar.[13]
Artinya, kata al-Haq yang dikatakan oleh al-Hallaj tersebut menandakan
bahwa ia adalah sesuatu yang benar bukanlah Allah. Terlepas dari itu, dapat
kita lacak apakah pernyataan al-Hallaj itu ada latar belakang dari apa yang
dikatakan. Karna pada saat itu terdapat suatu kekuasan yang besar yang mungkin
kebijakannya lepas dari ajaran agama, yang mendorong dirinya berkata demikian.
Junayd
al-Baghdadi bahkan berkata, bahwa yang mengetahui Allah hanyalah Allah
sendiri. Demikian pula dengan orang yang dicintai Allah (Nabi Muhammad) yang
telah dibukakan tabir 70.000 tabir hijab, hanya tinggal satu hijab antara ia
dengan-Nya.[14]
Hal itu dapat kita pahami dalam perjalanan Rasulullah saat kejadian Mi’raj.
Begitu halnya dengan Nabi-Nabi lain disaat ia berhadapan dengan Allah, beliau
tidak mampu melihat secara langsung. Apalagi manusia biasa yang derajatnya jauh
dari derajat kenabian itu sendiri.
Bahakan Junayd
al-Baghdadi memperlihatkan sikap cukup keras terhadap orang yang mengabaikan
syari’at. Ketika diceritakan kepadnya tentang orang yang telah mencapai marifat,
kemudian ia dibebaskan oleh Allah dari amal ibadah. Ia justru berkata bahwa
orang tersebut sebenarnya berada dalam lumuran dosa dan mereka lebih berbahya
dari pada pencuri serta pembuat keonaran.[15]
Dalam hal
ini, Junayd al-Baghdadi ingin menegaskan bahwasanya walaupun orang telah
menyatu dengan Allah, baginya tetap dikenakan kewajiban melaksankan
aturan-aturan syari’at, yang menandakan bahwa Manusia tetaplah manusia yang
tidak akan berubah posisinya menjadi Allah, walaupun ia sedang merasa dalam
keadaan ittihat ataupun hulul itu sendiri.
Maka dengan
demikian, untuk mencapai persatuan kepada Tuhan, menurut Junayd al-Baghdadi.
manusia harus menyucikan batin, mengendalikan nafsu, dan rnembersihkan hati
dari segala sifat-sifat kemakhlukan. Setelah kebersatuan dengan Tuhan itu
tercapai, seorang sufi kembali tersadar, dan selanjutnya harus mengajak umat,
membimbingnya ke jalan yang diyakininya. Maksud dari apa yang ditawarkan
al-Junyad ini, diharapkan agar oaring yang bertaswuf harus seimbang antara
urusan dunia dan ahirat serta bagaimana didalam perakteknya adanya keterkaitan
antara syariat dan hakekat itu sendiri.
(al) Muhasibi,
Al-harist. Sederhana penuh berkah,. Diterjemahkan dari al-Wasaya: karangan
Abu Abdillah al-harist ibn Hasan al-Muhasibi. Al-haramain, singapurah dan
Jeddah, Tt. PT. Serambi Alam Semista, 2006.
Assabuni, Sayyid
Muhammad bin Muhammad Husaain. Ittihafussadatil Muttaqin: bisyarahi ihya’
ulumuddin. Juz II. Bairut: Darul Kutubul Ilmiyah, 1409.
(al) Jerrahi,
Syekh Mudzaffer Ozak. Dekap aku dalam kasih sayangmu: Jalan Cinta pendamba
Ridha Allah. Penerjemah serambi. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semista, 2006.
(al) Jarrahi,
Syekh Tosun Bayrok. Asmaul Husna, makna dan khasiat. Penerjemah, Nuruddin
Hidayat. Jakarata: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007.
(al) Qushairy, AI-Risalah
al-Qushairiyah. Kairo: Dar al-Kutub al-’Arabiyah al-Kubra, 1912.
………………… Ar-Risalati
Al-Qusyairiyyah, Abdul Halim Mahmud, ed. Dar al-Kutub al- Haditsah, 1385 H.
Basuni,
Ibrahim. Nasy’ah at-Tashawwuf al-Islami. Cairo: Dar al-Fikr,
1969.
Djamil, Abdul. Perlawanan
Kiai Desa: pemikiran dan gerakan Islam KH. Ahmad Rifa’i kalisasak. Yogyakarta:
LkiS, 2001.
Hasan, Abdul
Hakim. At-Tasawuf fi Syi’ir al-‘Arabi,Cairo: Maktabah Anglo Misriyah,
1954
Huda, Sokhi. Tasawuf
Kultural: fenomina shalawat wahidiyah,Yogyakarta: LkiS, 2003.
Shalikin,
Muhammad. 17 jalan menggapai mahkota sufi, sekh abdulqadir al-Jailani,Yogyakarta:
Mutiara Media, 2009.
Sumber Lain:
Http: //
Ahmedelkariem.Blogspot.Com/2010/01/Junaid-Al-Baghdadi.Html. 06-12-16.
[1]Abdul Hakim
Hasan, At-Tasawwuf fi Syi’ir al-‘Arabi, (Cairo: Maktabah Anglo Misriyah,
1954), 19.
[3]Sokhi Huda, Tasawwuf
Kultural: fenomina shalawat wahidiyah, (Yogyakarta: LkiS, 2003),28.
[4]Ibrahim
Basuni, Nasy’ah at-Tashawwuf al-Islami, (Kairo: Dar al-Fikr, 1969), 17.
[6]Al-Qusyairi,
Ar-Risalati Al-Qusyairiyyah, Abdul Halim Mahmud, ed., (Dar al-Kutub al-
Haditsah, 1385 H), 240.
[7]Departemen
Agama, Al-Qur’an dan terjemahan,(Bandung: Dipenogoro, 2005), 396.
[8]l-harist
al-Muhasibi, Sederhana penuh berkah,. Diterjemahkan dari al-Wasaya: karangan
Abu Abdillah al-harist ibn Hasan al-Muhasibi. (Al-haramain, singapurah dan
Jeddah, Tt. ( PT. Serambi Alam Semista, 2006), 18.
[9]ayyid Muhammad
bin Muhammad Husaain Assabuni, Ittihafussadatil Muttaqin: bisyarahi ihya’
ulumuddin. Juz II, (Bairut: Darul Kutubul Ilmiyah, 1409), 634.
[11]AI-Qushairy, AI-Risalah
ai-Qushairiyah,(Kairo: Dar al-Kutub al-’Arabiyah al-Kubra, 1912),10.
[13]Syekh Mudzaffer
Ozak al-Jerrahi. Dekap aku dalam kasih sayangmu: Jalan Cinta pendamba Ridha
Allah. Penerjemah serambi, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semista, 2006 ), 73.
[14]Syekh Tosun
Bayrok al-Jarrahi, Asmaul husna, makna dan khasiat. Penerjemah, Nuruddin Hidayat,
(Jakarata: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007 ), 21.
[15]Abdul Djamil, Perlawanan
Kiai Desa: pemikiran dan gerakan Islam KH. Ahmad Rifa’i kalisasak, (Yogyakarta:
LkiS, 2001), 119.
[1]Muhammad Shalikin, 17 jalan menggapai
mahkota sufi, sekh abdulqadir al-Jailani, (Yogyakarta: Mutiara Media,
2009), 29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar