Dikalangan
sufi, Abu Yazid al-Bustami adalah orang pertama yang mencetuskan konsep
al-fana’, al-baqa’ dan Al-Hallaj (Husein Bin Mansyur Al-Hallaj) adalah
tokoh yang mengembangkan faham al-hulul. Karena untuk memasuki alam
tasawuf yang disebut dengan ittihad harus terlebih dahulu melewati tangga itu.
Selama belum dapat mencapai itu, maka tidak akan bisa menyatu dengan Tuhan.
Konsep fana’ merupakan tahapan awal yang berarti meleburkan diri. Kalau seorang
sufi ingin mencapai tingkat ittihad, maka tahapan al-fana’ ini merupakan bagian
yang tidak dapat ditinggalkan oleh seorang Sufi. Segolongan penganut tasawuf
menyebutkanm bahwa tujuan utama yang menjadi inti ajaran tasawuf adalahs ampai
pada zat al-Haqq dan bahkan bersatu dengan Tuhan. Jadi, semua aktifitas
ketasawufan langsung atau tidak langsung pasti berkaitan dengan penghayatan fana’ dan
ma’rifat pada zat Allah. Jadi ma’rifat itu bukan tanggapan atau pengalaman
kejiwaan, yakni suatu tanggapan atau pengalaman kejiwaan sewaktu mengalami
fana’. Dengan sampainya seseorang sufi ketingkat ma’rifat, ia pada hakikatnya
telah dekat benar dengan Tuhan, sehingga akhirnya ia bersatu dengan Tuhan yang
disebut dengan istilah ittihad. Tetapi sebelum seroang sufi bersatu dengan
Tuhan, ia harus terlebih dahulu menghancurkan dirinya, dalam tasawuf disebut
dengan istilah fana’.
A. Pengertian
Al-Fana, Al-Baqa, Al-Ittihad, dan Hulul
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud
sesuatu. Fana berbeda dengan fasad (rusak).
Fana artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan fasad adalah berubahnya sesuatu
menjadi sesuatu yang lain.[1]
Adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya
kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim
digunakan pada diri seseorang. Menurut pandangan lain, fana adalah
bergantinya sifat-sifat kemanusian dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat
berarti pula hilangnya sifat-sifat yang tercela.[2]
Mustafa Zuhri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya
inderawi, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa
nafsu. [3]
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara
harfiah baqa berarti kekal. Menurut para sufi, baqa adalah
kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam diri manusia. Karena
lenyapnya (fana) sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.
Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan, sebagaimana dinyatakan
oleh ahli tasawuf :
اِذَا اَشْرَقَ نُوْرُالْبَقَاءِ فَيَفْنَى
مَنْ لَمْ يَكُنْ وَيَبْقَى مَنْ لَمْ يَزُلْ
apabila tampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang
tiada, dan baqalah yan kekal”.
التَّصَوَّفُ فَانُوْنَ عَنْ اَنْفُسِهِمْ
قَاقُوْنَ بِرَبِّهِمْ بِحُضُوْرِ قُلُوْبِهِمْ مَعَ اللّهِ
Tasawuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa
dengan Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah.
Fana yang dicari oleh seorang sufi ialah penghancuran diri ( Al-Fana
‘An Al-Nafs ), yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya
tubuh kasar manusia.
Berbicara mengenai fana dan baqa maka erat hubungannya dengan Al-Ittihad, yaitu
penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa
adalah Ittihad. [4] Mustafa
Zuhri mengatakan bahwa fana dan baqa tidak dapat dipisahkan dengan Ittihad.
Dalam ajaran Ittihad sebagai salah satu metode tasawuf. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Al-Baidlowi, yang dilihat hanya satu wujud. Karena yang dilihat
dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi
pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang mencintai
(Tuhan).[5] Dalam
situasi Ittihad yang semacam itu , seorang sufi telah merasa dirinya bersatu
dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah
menjadi satu.
Hulul secara
harfiah berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu
manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana.[6]
Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam Al-Luma’ yang dikutip Harun
Nasution, Hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan
memilih tubuh manusia-manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya
setelah kemanusian yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia bertolak dari dasar
pemikiran Al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat
dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). [7]
Menurut Al-Hallaj, bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat agar bersujud
kepada Nabi Adam, karena pada diri Adam Allah menjelma. Sebagaimana telah di
isyaratkan yang berbunyi :
اِنَّ اللّهَ خَلَقَ ادَمَ عَلَى صُوْرَتِهِ
Tuhan menciptakan Adam
sesuai dengan Bentuknya.
Dengan melihat ayat dan hadits tersebut Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri
manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan pada Tuhan juga terdapat sifat
kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan yang terdapat pada diri manusia
bersatu dengan sifat kemanusiaan yang terdapat pada diri Tuhan maka terjadilah
hulul. Untuk sampai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu
menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses Al-Fana.
Berdasarkan uraian diatas maka Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana
manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Tujuan dari hulul adalah mencapai
persatuan secara batin.[8]
Hamka mengatakan bahwa hulul adalah ketuhanan ( lahut) menjelma kedalam diri
insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci
bersih dalam menempuh jalan hidup kebatinan.[9]
B.
Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad dalam pandangan
Al-Qur’an
Paham fana’ dan baqa’ yang ditunjukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh Sufi sebagai sejalan dengan konsep menemui Tuhan. Fana’ dan baqa’ merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang berbunyi:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (١١٠)
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-kahfi: 110)
Faham ittihad ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Isa ingin melihat Allah. Musa berkata: “Ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu”. Tuhan berfirman: Tinggallah dirimu (lenyapkanlah dirimu), baru kamu kemari (bersatu). Ayat dan riwayat tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah dan bathiniyah, yang caranya antara lain dengan beramal shalih dan beribadah semata-mata karena Alllah, menghilangkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifa-sifat Allah, yang kesemuannya ini tercakup dalam konsep fana dan baqa’. [10]
C. Pemikiran tentang Fana’, Baqa’ Ittihad
1. Abu Yazid al-Bustami
Dalam sejarah tasawuf, abu yazid al-bustami disebut-sebut sebagai sufi yang
pertama kali memperkenalkan faham fana dan baqa.[11]Ketika
abu yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari mulutnya keluar kata-kata yang
ganjil, yang jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan
seolah-olah Abu yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan, padahal sesuangguhnya ia
tetap manusia, yaitu manusia yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan
Tuhan. Diantara ucapannya ganjil yang keluar dari dirinya, misalnya : Tidak
ada Tuhan, melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besarnya
kuasaku.
Selanjutnya Abu yazid
juga pernah mengatakan,
لاَاِلهَ اِلاَّ اَنَافَاعْبُدُوْنِيْ
Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku
سُبْحَانِيْ , سُبْحَانِيْ , مَا اَعْظَمُ
شَأْنِيْ
Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku. [12]
Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid itu bukanlah kata-katanya sendiri
tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam Ittihad yang
dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagi
Tuhan.
Bagi orang yang bersikap toleran, Ittihad dipandang sebagai penyelewengan,
tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama, itu dipandang sebagai
kekufuran.[13]
2. Husein Bin
Mansyur Al-Hallaj
Sebagaimana telah disinggung diatas bahwa yang mengembangkan paham Al-Hulul
adalah Al-Hallaj (Husein Bin Mansyur Al-Hallaj). Ia diharirkan di negeri
Baidha pada tahun 244 H (858 M), kemudian tinggal sampai dewasa di
Wasith.
Al-Hallaj akhirnya terbunuh karena dianggap telah menyebarkan faham yang
menyimpang dari para ulama fikih dan pemerintah pada saat itu. Dalam Faham
Hulul yang dikemukakan oleh Al-Hallaj tersebut terdapat dua hal yang penting,
yakni pertama, bahwa paham al-hulul merupakan pengembangn atau bentuk lain dari
dari pham mahabbah. Kedua, al-hulul juga menggambarkan adanya Ittihad atau
kesatuan rohani dengan Tuhan. [14]
Al-Hallaj
adalah tokoh yang dianggap paling controversial dalam sejarah kesufian (mistisme)
Islam. Ini berangkat dari konsep tasawuf yang ia tawarkan jauh berbeda dengan
tradisi tasawuf ketika itu. Ungkapan Al-Hallaj yang mengatakan “Ana al-Haq” (
Akulah Yang Maha Besar) ditafsirkan para ulama sebagai sesuatu yang sangat jauh
keluar dari garis-garis ketauhidan. Sehingga polemik pemikiran ini berakhir
ditiang gantungan sebagai eksekusi terhadap Al- Hallaj.
Di
kalangan cendikiawan dan pemikir Islam timbul ikhtilaf tentang substansi dari
perkataan Al-Hallaj. Sebagai berasumsi bahwa ungkapan Al Hallaj tersebut adalah
ajaran yang keluar dari ajaran Islam (Bid’ah). Sebab mustahil manusia dapat
bersatu dengan Allah (al-Hulul). Al-Haq (Yang Maha Besar) adalah Allah
Subhanahu Wa Ta'ala.Ketika Al-Hallaj berkata “Ana al-Haq” berarti dia telah
menyatakan dirinya sebagai Tuhan. Inilah yang kemudian dianggap oleh penguasa
Abbasiyah ketika itu sebagai justifikasi untuk menjatuhkan hukuman gantung
kepada Al-Hllaj yang mereka anggap telah murtad.
Al-Hallaj adalah tokoh yang
dianggap paling controversial dalam sejarah kesufian (mistisme) Islam. Ini
berangkat dari konsep tasawuf yang ia tawarkan jauh berbeda dengan tradisi
tasawuf ketika itu. Ungkapan Al-Hallaj yang mengatakan “Ana al-Haq” ( Akulah
Yang Maha Besar) ditafsirkan para ulama sebagai sesuatu yang sangat jauh keluar
dari garis-garis ketauhidan. Sehingga polemik pemikiran ini berakhir ditiang
gantungan sebagai eksekusi terhadap Al- Hallaj.
Di kalangan cendikiawan dan
pemikir Islam timbul ikhtilaf tentang substansi dari perkataan Al-Hallaj. Sebagai
berasumsi bahwa ungkapan Al Hallaj tersebut adalah ajaran yang keluar dari
ajaran Islam (Bid’ah). Sebab mustahil manusia dapat bersatu dengan Allah
(al-Hulul). Al-Haq (Yang Maha Besar) adalah Allah Subhanahu Wa Ta'ala.Ketika
Al-Hallaj berkata “Ana al-Haq” berarti dia telah menyatakan dirinya sebagai
Tuhan. Inilah yang kemudian dianggap oleh penguasa Abbasiyah ketika itu sebagai
justifikasi untuk menjatuhkan hukuman gantung kepada Al-Hllaj yang mereka
anggap telah murtad.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 20
Nasution, Harun, Filasafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta
: Bulan Bintang, 1983.
Shaliba, Jamil, Mu’jam Al-Falsafy, Jilid II, Beirut : Dar
Al-Kitab, 1979.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniaannya, Jakarta :
Pustaka Panjimas, 1984.
Jamil Shaliba, Mu’jam Al-Falsafy, Jilid II, Beirut : Dar
Al-Kitab, 1979,
Zuhri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya :
Bina Imu,
1985.
[10]
Abuddin, Akhlak..., h. 237-238
[11]
Hamka, Tasawuf..., h.
102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar