Manusia
dan alam merupakan karya atau cipta’an yang begitu luar biasa, keduanya saling
membutuhkan satu sama lain. Manusia membutuhkan alam sebagai sumber kehidupan
sedangkan alam membutuhkan manusia sebagai pengelola dan pelestarinya.
Tuhan adalah
pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri. Selanjutnya Tuhan
bersifat maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Di sini
timbullah pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan. apakah
segala yang terjadi terhadap diri manusia adalah kehendak tuhan ataukah manusia
itu sendiri yang berkreasi tanpa ada campur tangan Tuhan.[1]
Dalam
memecahkan persoalan tersebut muncul beberapa paham dan aliran dengan pandangan
dan argumennya masing-masing. Salah satunya adalah paham Jabariah yang
berpandangan bahwa apa yang terjadi pada diri manusia termasuk perbuatannya
adalah ketentuan mutlak Tuhan. Sementara itu muncul paham Qadariah yang
merupakan antitesa terhadap pendapat yang mengatakan bahwa manusia sendirilah
yang menentukan nasibnya berdasarkan kebebasannya, Tuhan tidak lagi menentukan
setiap perbuatan dan tindakan manusia apakah itu perbuatan baik ataupun buruk.
Karena Tuhan telah memberikan daya untuk berbuat serta bertindak atas
kemauannya sendiri dan kalaupun Tuhan adil, maka Tuhan akan memberikan siksaan
atas keburukan serta kenikmatan atas kebaikan yang telah diperbuat.
Kondisi sosiologis masyarakat
Arab, dengan suasana teriknya panas dan tanah berupa padang pasir tandus, menjadikan mereka tidak
banyak menemukan cara untuk merubah hidup ke arah yang
lebih baik. Hal inilah kemudian menggiring pemahaman Jabariah atau fatalism ke dalam paradigma berfikir mereka.[2]
Disamping itu, kuatnya iman
terhadap qudrat dan iradat Allah swt, ditambah pula dengan sifat Wahdaniyat-Nya
juga mendorong kuatnya pola fikir tersebut.[3]
Kedua paham ini
menjadi perbincangan dari masa ke masa hingga mencapai puncaknya pada masa
Khalifah Umayyah di bawah pemerintahan Umar bin Abdul Aziz dan Hisam bin Abdul
Khalik yang berakhir dengan tragedi pembunuhan terhadap tokoh-tokohnya.
A.
Pengertian Aliran Jabariah
Kata Jabariah berasal dari kata Jabara
yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama Jabariah
berasal dari kata jabara yang
mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.[1] Dalam bahasa Inggris paham
ini disebut keterpaksaan atau predestination.
Secara tehnis mereka yang memiliki paham fatalism disebut juga paham Jabariah[2]
Secara
terminologi disebutkan bahwa Jabariah adalah suatu paham yang menafikan hakikat
suatu perbuatan dari hamba dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah swt.[3]
Oleh
karena itu manusia menurut paham ini dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk
berbuat, atau memilih dalam berkehendak, semua telah di tentukan oleh Allah SWT.[4]
Masyarakat
Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh paham Jabariah Bangsa Arab
yang pada waktu itu bersifat serba sederhana dan jauh dari pengetahuan,
terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir, dengan panasnya
yang terik serta tanah dan gunungnya yang gundul. Dalam dunia yang demikian,
mereka tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai
dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa dirinya lemah dan tak berkuasa
dalam menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan suasana padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari
mereka banyak tergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalis.[5]
Mengenai
asal-usul paham Jabariah di dalam Islam, pada umumnya para ahli sejarah
beranggapan bahwa aliran tersebut muncul sebagai akibat paham Yahudi.
Dikatakan bahwa seseorang mengambil
paham tersebut dari orang Yahudi di Syam (Suriah), lalu disebarkan dalam dunia
Islam.[6]
Namun
para ahli sejarah pemikiran tidak menganggap
bahwa paham orang Yahudi sepenuhnya yang mempengaruhi munculnya paham Jabariah
Kemunculannya sangatlah mungkin karena pengaruh paham orang-orang Persia
yang berlatar belakang agama Zaroster dan Ulam.[7]
Sebenarnya
benih-benih paham Jabariah dalam dunia Islam dapat dilihat dari beberapa
peristiwa-peristiwa sejarah berikut ini:
a.
Suatu ketika Nabi menjumpai
sahabatnya yang sedang bertengkar mengenai masalah takdir Tuhan. Nabi melarang
mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan
penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.[8]
b.
Khalifah Umar bin Khathab pernah
menangkap seorang yang ketahuan mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu
berkata “Tuhan telah menentukan aku
mencuri ”. Mendengar ucapan itu, Umar marah dan menganggap orang
itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis
hukuman kepada orang tersebut. Pertama,
hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua,
hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.[9]
c.
Khalifah ‘Ali bin Abi Talib
seusai perang Siffin ditanya oleh seorang tua mengenai ketentuan Tuhan
kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya, “bila perjalanan
(menuju perang Siffin) itu terjadi karena qada
dan qadar Tuhan tidak ada kaitannya dengan pahala
sebagai balasannya.” Ali menjelaskan bahwa qada dan qadar
bukanlah paksaan Tuhan. Ada
pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Sekiranya qada dan qadar itu merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugurlah
makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah swt. atas pelaku
dosa dan pujian-Nya bagi orang yang baik.[10]
Paparan
di atas menjelaskan bahwa bibit paham Jabariah telah muncul sejak awal periode
Islam. Namun, Jabariah sebagai suatu
pola fikir yang dianut, dipelajari dan di kembangkan, baru terjadi di masa
Daulah Bani Umayyah. Jabariah pertama kali dicetuskan oleh Ja’ad
ibn Dirham. Namun dalam sejarah tertulis bahwa penyebar paham
ini adalah Jahm ibn Safwan (w. 127 H/745 M), lahir di kota Samarkand , Khurasan , Iran
dan menetap di Iraq .
Ia seorang budak yang sudah dimerdekakan (mawali). Aliran
ini dimulai di kota
Tirmizh (Iran Utara),
dan dikenal juga dengan aliran Jahmiah.[11]
2.
Tokoh-tokoh serta Ajaran-ajarannya
Dalam
pembahasan tokoh-tokoh dan ajaran-ajarannya, terdapat dua paham Jabariah yaitu Jabariah ekstrim dan Jabariah moderat:
a.
Jahm Ibnu Safwan.
Jahm
Ibnu Safwan adalah tokoh Jabariah ekstrim
dari Khurrasan. Ia adalah pendiri golongan Jahmiah (istilah lain
dari Jabariah) dalam kalangan Murji’ah.[12]
Disebut
golongan ekstrim karena paham ini berpendirian bahwa manusia tidak mempunyai
kehendak dan kemampuan untuk berbuat. Hanya Allah saja yang menentukan dan
memutuskan segala amal perbuatan manusia.
Manusia
tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa, tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan. Manusia dalam
perbuatannya adalah di paksa dengan tidak ada kekuasaan dan kemauan serta
pilihan baginya.[13]
Mengenai
ajaran keterpaksaan manusia dalam melakukan perbuatan, Jahm Ibnu Safwan berkata
:
Pada
redaksi lain al-Syahrastani mengatakan dalam kitabnya al-Milal wa al-Nihal sebagai berikut :
Oleh
karena itu manusia hanyalah bagaikan benda-benda lain misalnya : pohon berbuah,
yang menciptakan buah adalah Allah swt, bukan pohon itu. Manusia tidak ubahnya
bulu burung yang di tiup angin. Bulu itu diam atau bergerak di tentukan ada
atau tidaknya angin. Jadi segala perbuatan manusia bukan dari hasil kemauannya,
melainkan perbuatan yang di paksakan kehendaknya. Termasuk bila manusia mencuri
bukan atas kehendaknya melainkan Tuhanlah yang memaksanya mencuri.
b.
Al-Husain ibnu Muhammad an-Najr.
Al-Najr
ini di anggap paham Jabariah moderat.[16] Disebut
moderat, karena paham ini tidak menempatkan diri pada paham Jabariah ekstrim. Menurut an-Najr Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia yang
jahat maupun yang baik tetapi manusia mempunyai andil dalam perwujudan
perbuatan-perbuatan tersebut, yaitu daya yang di ciptakan dalam diri manusia
yang di sebut kasb. Kasb ini merupakan suatu daya atau
kekuatan dalam diri manusia yang di berikan Tuhan dan dengan kekuatan tersebut
manusia dapat mewujudkan perbuatan baik atau buruk. Manusia tidak lagi hanya
merupakan wayang yang di gerakkan oleh dalang, tetapi manusia tetap mempunyai
bahagian dalam mewujudkan perbuatannya.[17]
B. Qadariah
1.
Latar Belakang
Qadariah
berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan.
Adapun pengertian menurut terminologi Qadariah suatu aliran yang percaya bahwa
segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat
bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat
berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan
pengertian tersebut, dapat di pahami bahwa Qadariah di pakai untuk nama suatu
aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini Harun Nasution, menegaskan
bahwa kaum Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar Tuhan.[18]
Tidak
di ketahui secara pasti kapan munculnya paham Qadariah ini, namun munculnya sebagai persoalan teologi didasari oleh
faktor internal dan eksternal. Secara internal, Paham Qadariah
lahir sebagai reaksi dari paham Jabariah yang telah berkembang pada masa
dinasti Umayyah. Paham ini cenderung melegtimasi perbuatan maksiat, perbuatan
sewenang, perbuatan aniaya dan sebagainya. Bahkan paham ini telah dianut oleh
peguasa Bani Umayyah yang cenderung dalam kezaliman untuk membenarkan
tindakan-tindakan mereka, seperti yang di saksikan Gilan al-Dimasyqy (tokoh paham
Qadariah) ketika menjabat sebagai sekertaris Negara dalam pemerintahan Umayyah
di Damaskus.[19] Ia
menyaksikan kemerosotan dari sudut agama, kemewahan istana, sementara rakyat
kelaparan, penindasan terhadap rakyat dan sebagainya. Bila diingatkan mengapa
melakukan hal itu, dan harus mempertanggung jawabkan di hadapan ummat, dan di
akhirat kelak, mereka menolak dan mengatakan kami tidak bias dimintai
pertanggung jawaban atas tindakan kami, sebab Tuhanlah yang menghendaki semua
itu.[20]
Berdasarkan
kasus tersebut, muncullah paham Qadariah sebagai reaksi keras dengan mengatakan
manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dengan kemauan dan tenaganya
sendiri.[21]
Sedangkan faktor eksternal yang menyebabkan munculnya paham Qadariah, yakni
pada waktu yang sama (masa Bani Umayyah), kaum muslimin atau orang-orang Arab
bercampur dan berinteraksi dengan berbagai macam pemikiran dan pendapat asing,
sehingga tidak aneh jika hal itu mengarahkan mereka pada persoalan-persoalan
yang sebelumnya tidak pernah terbetik dalam dalam hati mereka. Kemudian kaum
muslimin mulai memecahkan persoalan mereka dengan metode yang di sesuaikan
dengan keyakinan hati mereka. Dialog itu dapat disimpulkan bahwa semua manusia
tidak dapat melakukan sesuatu kecuali dengan pertolongan Allah swt. Kalau
begitu di mana posisi kebebasan kehendak dalam diri manusia.[22]
Dialog
tersebut terjadi di Damaskus (markas Agama Kristen) dan tersebar ke Basrah
(pintu gerbang kebudayaan Islam), di samping itu dari Romawi Timur,[23] salah satu kecenderungan
budaya Romawi adalah suka berdiskusi, berdebat dengan menggunakan dalil-dalil
logika kebiasaan tersebut berlanjut ketika berada di wilayah kekuasaan
khalifah. Kebiasaan seperti itulah yang di kembangkan di tengah-tengah ummat
Islam sebagai pemicu munculnya paham Qadariah.
Dengan
demikian dapatlah di pahami bahwa problematika ikhtiar manusia menjalar dari
Kristen di Damaskus dan Basrah yang berpindah kepada Islam yang dikembangkan
oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan al-Dimasyqy.
Pendapat lain, W. Montgomery
Watt menemukan dokumen lain yang
menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam Kitab ar-Risalah
dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan
al-Basri sekitar tahun 700 M.
Dengan disebutkannya Ma’bad
al-Juhani pernah berguru dengan Hasan al- Basri pada keterangan az-Zahabi
dalam kitab Mizan al-I’tidal, maka sangat mungkin paham
Qadariah mula-mula dikenalkan oleh
Hasan al-Basri dalam bentuk kajian-kajian keIslaman,
kemudian dicetuskan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi
dalam bentuk aliran (institusi).[24]
2.
Tokoh-Tokoh dan
Ajaran-ajarannya
a.
Ma’bad al-Jauhani.
Ma’bad
al-Jauhani adalah orang pertama yang menyerukan paham Qadariah. Ia lahir di basrah kemudian berkunjung
ke Damaskus dan Madinah. Di dua kota
inilah ia menantang kejahatan dan kezaliman yang dilakukan oleh sebagian
Khalifah Bani Umayyah. Akhirnya ia
terbunuh oleh al-Hajjaj.[25] adapun pendapatnya, ia
mengatakan bahwa semua perbuatan manusia di tentukan oleh dirinya sendiri.
Kalau Tuhan adil maka Tuhan akan menghukum orang yang bersalah dan memberi
pahala orang yang berbuat baik, karena itu manusia harus bebas dalam menentukan
nasibnya dengan memilih perbuatan yang baik atau buruk (free will).[26]
Oleh
karena itu inti ajaran Qadariah yaitu Allah swt tidak menciptakan
segala perbuatan manusia. Dia hanya menciptakan kemampuan pada manusia untuk
berbuat, Tuhan tidak campur tangan lagi dalam penggunaan kemampuan tersebut,
manusia sendirilah yang bebas memilih dan menentukan perbuatannya.
Seiring perjalanan penyebaran paham
ini, Ma’bad al-Juhani terlibat dalam gerakan politik menentang
pemerintahan Umayyah. Beliau memihak kepada ‘Abdurrahman
ibn al-Asy’as, Gubernur Sajistan wilayah kekuasann Bani Umayyah.
Dan pada satu pertempuran, Ma’bad al-Juhani terbunuh pada tahun 80H.
Ghailan ad-Dimasyqi menjadi
penerus aliran Qadariyah pasca terbunuhnya Ma’bad al-Juhani. Paham ini
menyebar luas ke wilayah Damaskus, namun mendapat
larangan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah Umar bin Abdul Aziz
wafat, penyebaran paham ini dapat
berlangsung lama, tapi Ghailan dihukum mati oleh Khalifah Hisyam
bin Malik (724-743 M). Ada dialog singkat sebelum dia dibunuh :
“Manusia berkuasa
atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan
perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri. Dan manusia sendiri yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan
jahat atas kemauan dan dayanya sendiri”. [27]
b. Ghilan
al-Dimasyaqy
Ghilan
ini seorang orator yang handal, juru debat yang mahir. Ia hidup di Damaskus dekat
dangan Bani Umayyah, tetapi hal ini tidak menghalanginya untuk menentang
pemerintahan Umayyah. Paham ini segera mendapat pengikut, sehingga tertpaksa Khalifah
Hisyam bin Abdul Malik.[28]Mengambil tindakan kekerasan
dengan membunuhnya.[29]
وَقُلِ ٱلۡحَقُّ مِن
رَّبِّكُمۡۖ فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡۚ إِنَّآ
أَعۡتَدۡنَا لِلظَّٰلِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمۡ سُرَادِقُهَاۚ وَإِن
يَسۡتَغِيثُواْ يُغَاثُواْ بِمَآءٖ كَٱلۡمُهۡلِ يَشۡوِي ٱلۡوُجُوهَۚ بِئۡسَ ٱلشَّرَابُ
وَسَآءَتۡ مُرۡتَفَقًا ٢٩
Terjemahnya:
Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu barang siapa
yang mau, berimanlah ia, dan barang siapa yang ingin kafir maka, biarlah ia
kafir.[30]
Menurut
Qadariah, ayat ini menegaskan bahwa manusia sendirilah yang berbuat dosa, bukan
Tuhan, kalau Tuhan yang memperbuat dosa hamba-hambanya, maka tentulah Tahan
menganiaya hamba-hambanya.
Melihat
pada ayat-ayat tersebut diatas, tidak mengherankan kalau paham Jabariah dan Qadariah, sungguhpun
penganjur-penganjurnya yang pertama telah meninggal dunia, masih tetap terdapat
di dalam kalangan ummat Islam. Dalam sejarah teologi Islam, selanjutnya paham Qadariah
di anut oleh kaum Mu’tazilah sedangkan
paham Jabariah, sungguhpun tidak identik dengan paham yang di bawah Jahm ibnu Safwan
atau paham Najjar
dan Dirar, terdapat dalam aliran al-asy’ariah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Taufiq. Ensklopedi Tematis
Dunia Islam,Pemikiran dan Peradaban, Jilid.
IV. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Anwar
Rasihon. Ilmu Kalam. Cet. III; Bandung : Pustaka Setia,
2007.
Al-Ghurabi,
‘Ali Mustafa. Tarikh al-Firaq al- Islamiyyah.
Kairo Maktabat wa Matba’at Muhammad ‘Ali Sabih wa Awladuh, t. th.
Al-Hafni,Abdul Mun’in. Ensklopedia
Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab,Partai, dan Gerakan Islam.
Al-Syahrastani,
Abu al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim ibn Abu Bakar Ahmad. Al-Milal wa al-Nihal. Cet. I; Kairo Maktabat Mustafa al-Babi wa
Awluduh, 1986.
Dahlan, Aziz. Sejarah Perkembangan Islam. Beuneubi
Cipta. Jakarta :
1987.
Ensklopedi
Islam, Jilid
II, Cet. II; Jakarta :
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Hamilton, Sirr.
Moh}ammadanisme. diterjemahkan oleh
Abu Salamah dengan judul Islam Dalam
Lintas Sejarah. Cet. IV; Jakarta :
Bratama Aksara, 1983.
Majid,
Nurkhalis. Khasanah Intelektual Islam. Cet.
II; Jakarta :
Bulan Bintang, 1985.
Madkour, Ibra>him.
Al-Islamiyah Manhaj wa Tatbiqu. diterjemahkan
oleh Yudian Wahyudi Dengan Judul Aliran
Dan Teori Filsafat dalam Islam. Jilid, II Cet. I; Jakarta : Bumi Aksara, 1983.
Nasution,
Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, dan Analisa Perbandingan. Cet. V; Jakarta :
Universitas Indonesia
Press, 1986.
Redaksi Ensklopedi Islam Dewan
Ensklopedi Islam, Jilid
III (Cet. III; Jakarta :
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
T{a>hir, Abdul
Mun’im Thaib. Ilmu Kalam, Jakarta : Widjaya, 1986.
Watt, W.
Monthgomery. The Majesti Was Islam. diterjemahkan
oleh Hartono Hadi Kusumo dengan judul: Kajian
Kritis dari Tokoh Orientalis. Cet. I; Yogyakarta
Tiara Wacana Yogya, 1990.
www. ahmad-mubarok. blogspot.
com/2008/09/ilmu-kalam. html. pendapat ini mengutip buku Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia, 2006), hal. 70.
[1]Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi al-lughah wa al-alam, Beirut.
Dar Al- Masyriq, 1998. H. 78
[2]Nurchalis Majid, Khasanah Intelektual Islam (Cet. II; Jakarta:
Bulan Bintang, 1985) h. 13
[3]Harun Nasution. Op. cit., h. 31
[4]Redaksi Ensklopedi Islam Dewan
Ensklopedi Islam, Jilid III (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994), h. 348-351
[5]Ibid.,
[8]Aziz dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam. (Beuneubi
Cipta. Jakarta :
1987), h. 27-29
[9]Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Kairo,
1958, h. 15
[11]Faham ini
diduga berasal dari filsafat Yunani yang didirikan oleh Zeno (336-264 SM) dari kota Citium pada tahun 30
SM yang kemudian dikembangkan oleh para pengikutnya.
[12]Harun Nasution, op cit., h. 35.
[13]Lihat ibid., h. 36
[14]Ali Musthafa al-Gurabi, op,. cit.
h. 21
[15]Muh}ammad Abdul Karim ibn Abi
Bakar Ahmad al-Syahrastan, Al-Milal wa al-Nihal,
jilid I (Kairo: Maktabat Mustafa Al-Babiy Wa Awaluduh, 1986), h. 87
[16]Lihat Harun Nasution, op. cit., h. 36
[18]Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Cet. III; Bandung : Pustaka Setia, 2007), h. 70. Lihat
Abdul Mun’in al-Hafni, Ensklopedia Golongan, Kelompok, Aliran,
Mazhab,Partai, dan Gerakan Islam, h. 494
[19]Lihat W. Montgomery Watt, The majesti Was Islam, diterjemahkan
oleh Hartono Hadikusumo dengan judul Kejayaan
Islam; Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis (Cet, I; Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1990), h. 74
[20]Lihat Nurchalis Majid, Chasanah Intelektual Islam (Cet, III;
Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 14
[21]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid
II (Cet,IV; Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), h. 37
[22]Ibrahim Madkour, al-Islamiyah Manhaj wa Tatbiqu, diterjemahkan
oleh Yudian Wahyudi dengan judul Aliran
Teori Filsafat Islam, jilid II (Cet. I; Jakarta : Bumi Aksara; 1983), h., 4-5
[23]Sir Hamilton A.R. GIBB, Moh}ammadanisme diterjemahkan oleh Abu
Salamah dengan judul Islam Dalam LIntasan
Sejarah (Cet. IV; Jakarta: Bratama Aksaara, 1983), h. 4-5
[24]www.
ahmad-mubarok. blogspot. com/2008/09/ilmu-kalam. html. pendapat ini mengutip
buku Rosihan Anwar, Ilmu Kalam,
(Bandung :
Pustaka Setia, 2006), hal. 70.
[25]Lihat Ibrahim Madkour, op. cit., h. 154
[28]Taufiq Abdullah, Ensklopedi
Tematis Dunia Islam,Pemikiran dan Peradaban,
Jilid. IV (Jakarta :
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 351-352.
[29]Taufiq Abdullah, Ensklopedi
Tematis Dunia Islam,Pemikiran dan Peradaban,
Jilid. IV (Jakarta :
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 351-352.
[30]Departemen Agama, op. cit.,QS Al-Kahfi (18): 29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar