Pada esensinya, agama Islam yang terdiri atas aqidah,
syariat dan akhlak, merupakan agama yang sempurna dan semua ajarannya
terintegral dan saling berkaitan. Aqidah menjelaskan syariat, syariat
menjelaskan aqidah, dan aqidah serta syariat menjelaskan akhlak. Dalam
pengejawantahannya kemudian melahirkan praktek-prektek yang beragam
dikalangan ummat Islam. Dan dalam sejarah kemudian kita mengenal adanya
praktek-praktek sufi yang dijalani oleh beberapa orang dan kelompok.
Wacana tasawuf mengarahkan pikiran kita pada orang-orang
saleh, banyak ibadah, menjaga tingkah laku pergaulannya dengan Allah SWT.,
dengan sesama manusia, dengan mahluk lain dan selalu ingin dekat dengan Allah
pencipta semua mahluk. Namun demikian istilah ini merupakan istilah yang
disandarkan pada sebuah gerakan batiniah dalam usaha untuk mendekkatkan diri
seorang hamba kepada sang Khalik.
Terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan kemunculan tasawuf
dalam Islam. Ada yang berpendapat bahwa tasawuf baru muncul dalam Islam pada
akhir abad ke II Hijriyah atau awal abad ke III Hijriyah, kelompok lain
berpendapat bahwa praktek kehidupan sufi sudah ada sejak awal kemunculan Islam
yang tercermin dalam kehidupan Nabi SAW., dan para sahabat serta jalan hidup
yang ditempuh oleh beberapa kelompok di Madinah.
A. Pengertian
Tasawuf
Wacana tasawuf mengarahkan pikiran kita pada orang-orang saleh, banyak
ibadah, menjaga tingkah laku pergaulannya dengan Allah SWT., dengan sesama
manusia, dengan mahluk lain dan selalu ingin dekat dengan Allah pencipta semua
mahluk. Namun demikian istilah ini merupakan istilah yang disandarkan pada
sebuag gerakan batiniah dalam usaha untuk mendekkatkan diri seorang hamba
kepada sang Khalik. Untuk lebih mengetahui apa tasawuf itu, terlebih dahulu
perlu diketahui pengertiannya.
1.
Pengertian tasawuf secara etimologi.
Asal istilah tasawuf merujuk ke
beberapa kata:
a. صفى
artinya suci bersih.[1]
Dalam pengertian ini orang yang ingin dekat dengan Allah SWT.,
aktifitasnya banyak diarahkan pada pensucian diri dalam rangka dekat dengan
Allah swt. Artinya Allah maha Suci tidak mungkin bisa didekati kecuali oleh
orang-orang yang memelihara kesucian. Bishr bin al-Harith berkata:”sufi adalah
orang yang hatinya suci/tulus kepada Allah.[2]
b. صف
artinya barisan atau barisan terdepan.[3]
Orang yang ingin dekat dengan Allah, pasti sudah kuat imannya. Oleh karena itu
selalu ada pada barisan terdepan dalam hal ibadah.[4]
c. اهل الصفة
artinya penghuni serambi (masjid).
Istilah ini disandarkan kepada orang yang ingin selalu dekat dengan Allah SWT., maka mereka ikut juga hijrah dengan Nabi dari Mekah ke
Madinah. Di Madinah merreka tinggalnya di serambi masjid.[5]
d. صوف
artinya wol, bulu binatang kasar. Orang yang selalu dekat dengan Allah swa.,
hanya memakai alat berpakaian bulu binatang yang kasar, domba, unta dan
sebagainya, ini hanya pandangan saya karena kaum sufi tidak mencirikan dirinya
dengan memakai pakaian dari bulu.[6]
e. Pendapat
yang lain mengatakan bahwa istilah Tasawuf derasal dari bahasa Yunani yaitu Sophos
atau Shofia artinya hikmah atau bijaksana. Pendapat ini
merupakan pendapat mayoritas kaum orientalis. Ahli-ahli sofia adalah
orang yang ahli dalam filsafat atau kebijaksanaan. Mereka
menambahkan bahwa dalam tradisi Arab kata sofia direduksi
menjadi kata shufiya untuk menunjukkan kepada
orang-orang ahli ibadah dan ahli filsafat agama.[7]
Dari limat pendapat di atas, maka
secara etimologis kata tasawuf lebih dekat dengan kata صوف.
Sebagaimana pendapat Ibn Khaldun
bahwa kata Sufi merupakan kata jadian dari kata Suf. Tapi
perlu diingat, bukan sekedar karena ia memakai pakaian yang terbuat dari kain
bulu dan wol kasar maka seseorang disebut sufi. Seseorang menggunakan wol
hanya sebagai symbol kesucian, mereka menyiksa dan menekan hawa nafsu dan
berjalan di jalan Nabi.[8]
2. Pengertian tasawuf secara
terminology
Ada banyak definisi yang telah
dibuat oleh untuk menjelaskan pengertian tasawuf secara terminology.
Berikut beberapa diantaranya:
Menurut Abu Qasim al-Qusyaeri
(376-466), tasawuf ialah penjabaran ajaran Alquran, sunnah, berjuang
mengendalikan hawa nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat,
dan menghindari sikap meringankan ibadah.[9]
Menurut Ahmad Amin tasawuf ialah
bertekun dalam ibadah, berhubungan langsung dengan Allah SWT., menjauhkan diri
dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang diburu oleh orang banyak,
dan menghindari dari mahluk dalam berkhalwat untuk beribadah.[10]
Sedang tasawuf menurut Zakaria al- Anshari ialah mengajarkan cara untuk
mensucikan diri, meningkatkan akhlak, berlaku zuhud terhadap yang diburu oleh
orang banyak, dan menghindari dari mahluk dalam berkhalwat untuk beribadah
mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh hubungan langsung dengannya.[11]
Dan menurut Ibrahim Hilal dalam
bukunya ‘Tasawuf Antara Agama dan Filsafat’, bahwa tasawuf pada umumnya
bermakna menempuh kehidupan zuhud, menghindari gemerlap kehidupan dunia, rela
hidup dalam keprihatinan, melakukan berbagai jenis amalan ibadah, melaparkan
diri, mengerjakan shalat malam, dan melakukan berbagai jenis wirid sampai
fisik atau dimensi jasmani seseorang menjadi lemah dan dimensi jiwa
atau ruhani menjadi kuat.[12]
Apabila melihat beberapa definisi diatas,
maka dapat diperoleh ungkapan yang singkat dan padat yang mencakup dua
segi yang keduanya membentuk satu kesatuan yang saling menunjang dalam
mendefinisikan tasawuf yang pertama adalah cara dan yang kedua adalah tujuan. Cara,
diantaranya melaksanakan berbagai rangkaian peribadatan, latihan-latihan
rohani sepeerti zuhud. Sedangkan tujuannya ialah mendekatkan diri
kepada sang Khalik yang puncaknya ialah penyaksian (masyadah).
B.
Sejarah Muncul dan Berkembangnya
Tasawuf
1. Landasan dan Motivasi Lahirnya Tasawuf
Timbulnya tasawuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran
agama islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad SAW diutus Rasulullah untuk
segenap ummat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah menunjukkan bahwa
pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan
tahannuts dan khalwat di Gua Hira disamping untuk mengasingkan diri dari
masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan.
Juga Muhammad berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan
jiwa noda-noda yang menghingapi masyarakat pada waktu itu.
Tahannuts dan khalwat yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan
untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku
problema hidup yang beraneka ragam ini, berusaha memperoleh petunjuk dan
hidayah dari pencipta alam semesta ini, mencari hakikat kebenaran yang dapat
mengatur segala-galanya dengan baik. Dalam situasi yang sedemikianlah Muhammad
Menerima wahyu dari Allah SWT yang penuh berisi ajaran-ajaran dan
peraturan-peraturan sebagai pedoman untuk ummat manusia dalam mencapai
kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
Segala pola dan tingkah laku, amal perbuatan dan sifat
Muhammad sebelum diangkat menjadi menjadi Rasul meruapakan manifestasi dari
kebersihan hati dan kesucian jiwanya yang
menjadi pembawaan sejak kecil.
Dengan turunnya wahyu yang pertama pada tanggal 17 Ramadhan
atau 16 Agustus 571 M, berarti Muhammad SAW telah diangkat dan diutus menjadi
Rasul untuk mengembangkan amanat Allah dan menyelamatkan ummat manusia dari
lembah kejahilan dan kesesatan dalam mencapai kebahagiaan hidup duniawi dan
ukhrawi. Demikian juga wahyu yang diturunkan itu Rasulullah dapat membenahi
masyarakat Arab Jahiliyah menjadi masyarakat yang maju sesuai dengan
perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia.
Istilah
tasawuf dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad ke-dua
Hijriyah, sebagai perkembangan lanjutan dari kesalehan asketis atau para
zahid yang mengelompok di serambi mesjid Madinah. Dalam perjalanan
kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan
pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan
duniawi.[13]
Pola hidup kesalehan yang
demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan
pesat. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase
pertama perkembangan tasawuf yang ditandai dengan munculnya
individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga
perhatiannya terpusat untuk beribadah. Fase asketisme ini setidaknya
berlangsung hingga abad ke-dua Hijriyah. Memasuki abad ke-tiga Hijriyah
sudah terlihatadanya peralihan dari asketisme Islam ke sufisme.[14]
Tetapi
menurut mayoritas penulis sejarah tassawuf mengatakan bahwa embrio atau benih
tasawuf dalam dunia Islam sudah Nampak dalam diri Nabi Muhammad SAW., baik jika
melihat aspek kehidupan, akhlak serta ibadah Beliau.
Untuk lebih mengetahui sejarah munculnya tasawuf
dalam Islam berikut penulis memaparkan indikasi-indikasi yang menjadi
dasar lahirnya gerakan ini yang dimulai dari kehidupan para sahabat Rasul
hingga menjelang akhir abad ke-dua Hijriyah.
1. Tasawuf
Pada Masa Sahabat Nabi, Atau Khulafa’ Al-Rasyidin Dan Ahla Suffah
Untuk melihat lebih jauh bagaimana perkembangan tasawuf pada masa ini,
diuraikan kehidupan beberapa sahabat nabi sebagai berikut :
Pada abad ke 1 dan II H terdapat aliran-aliran
tasawuf :
A. Aliran Madinah
Para sufi berpegang teguh pada Al-qur’an dan
sunah,menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Sahabat yang
mengikuti Rasulullah bertasawuf pada abad ini adalah:
§ Abu bakar Ash shidiq (W.13H)
§ Umar bin khatab (W.23H)
§ Ustman bin Affan (W.35H)
§ Ali bin Abi Thalib (W.40H)
§ Salman Al-farisi (W.32H)
§ Abu Dzar Al-Ghifary (W.22H)
§ Ammar bin Yasir (W.37H)
§ Hudzaifah bin Al-Yaman (W.36H)
§ Al-Miqdad bin Al-aswad (W.33H)
B. Aliran Basrah
Louis masignan mengemukakan bahwa pada abad 1
dan 2 H terdapat 2 aliran asketisme islam yang menonjol yaitu basrah dan
khufah. Dengan tokoh sufi dari aliran basrah :
· Al-Hasan
Al-Bashry (22 H-110 H)
· Rabiah
Al-adawiyah (96 H-185 H)
· Malik bin Damar
(w.131 H)
C. Aliran Khufah
Aliran ini bercorak idealistis, menyukai
hal-hal aneh dalam nahwu, imajinasi dalam puisi, harfiah dalam hadist, dan
kecenderungan pada aliran syi’ah dan murji’ah. Tokoh-tokohnya:
§ Sufyan Ats Tsaury (97H-161H)
§ Ar-rabi’ bin Khatsim (W.67H)
§ Sa’id bin Jubair (W.95H)
§ Thawus bin Khisan (W.106H)
D. Aliran Mesir
Tokohnya
:
§ Salim bin ‘Atar
At-Tajibi (W.75H)
§ Abdurrahman bin
Hujairah (W.69H)
§ Nafi’ (W.117H)
§ Al-laits bin
Sa’ad (W.175H)
§ Hayah bin
Syuraih (W.158H)
§ Abdullah bin
Wahab (W.197H)
Dari uraian di atas, maka
perkembangan tasawuf abad ini yaitu pada masa Nabi, khulafa’
al-Rasyidin, dan masa ahlu Suffah, nampaknya istilah atau term
penggunaan tasawuf untuk kehidupan rohani memang belum ada, tetapi tidak bisa
di pungkiri faktanya bahwa Nabi dan para sahabatnya adalah praktisi yang
dijadikan teladan para sufi sesudahnya
Dengan demikian kehidupan Nabi dalam segala
hal di anggap, sebagai embrio yang selanjutnya tumbuh dan dikembangkan oleh
para sahabat khulafa’ al-Rasyidin dan ahlu Suffah yang
dianggap sebagai pelaku-pelaku ibadah yang konsisten mementingkan kehidupan
rohani seperti yang dicontohkan oleh Nabi dan selanjutnya diikuti oleh
orang-orang shaleh dan orang-orang sufi abad berikutnya.
2. Munculnya
Kehidupan zuhud
Dari
kondisi politik yang tidak kondisif, dan dari kondisi sosial yang tidak
bermoral, maka muncul kaum muslimin yang merasa punya kewajiban moral
mengingatkan penguasa, rakyat agar kembali pada kehidupan seperti yang
dicontohkan Nabi.
Hal ini dipertajam lagi oleh Nurchalis Madjid bahwa dampak dari
perubahan-perubahan itu menimbulkan adanya beberapa orang yang merasa bahwa
Islam saat ini sudah tidak lagi seperti pada masa Nabi, khulafa’
al-Rasyidin sehingga menimbulkan letupan-letupan dan kritikan-kritikan terhadap
penguasa Umaiyyah yang wujudnya berbentuk oposisi keagamaan terhadap rezim
Umayyah.[15]
Kaum muslimin yang punya keperdulian itu dikenal sebagai tokoh zahid,
artinya orang yang menjauhi kehidupan duniawi yang ingin melihat rakyat menjadi
aman.
Tokoh-tokoh zahid yang
termasyhur antara lain seperti Hasan al-Basri (w. 728 M). Beliau banyak
mempelajari ilmu yang sifanya moralitas sehingga ajaran itu sangat mempengaruhi
pola pikiran, sikap dan perilakunya sehari-hari, dan dia juga dianggap sebagai
tokoh oposisi moral. Karena beliau berani mengirim surat kepada penguasa Abd.
Malik Bin Marwan menuntut agar penguasa dapat memberikan hak dan kebebasan pada
rakyat.[16]
Selain Hasan al-Basri, masih banyak
lagi tokoh-tokoh yang zahid seperti Sufyan as-Sauriy (w. 135 H), Malik
bin Dinar (w. 171 H) dan lain sebagainya.
Perkembangan term tasawuf pada masa ini (abad I memasuki awal abad II H) masih
terlihat belum jelas wujudnya. Istilah-istilah yang dikenal pada masa ini hanyalah
kehidupan zuhud’, artinya suatu sikap jiwa yang lebih memilih dan
menyukai kehidupan akhirat dan memperbanyak ibadah dari pada hidup keduniaan.[17]
Memasuki akhir abad II H, terlihat adanya peralihan kehidupan zuhud ke
istilah tasawuf. Hal ini di tandai dengan adanya para zahid-zahid yang
mulai membicarakan konsep-konsep mengenai kehidupan yang berdimensi spiritual.
Sekalipun sangat sulit membedakan secara tepat dan pasti adanya peralihan itu,
tapi secara umum pendapat yang mengatakan bahwa adanya kecenderungan
membicarakan konsep tasawuf termasuk di dalamnya cara untuk kepada Tuhan maka
masa tersebut dinamai masa peralihan.
Nicholson mengatakan bahwa sulit membedakan antara hidup zuhud dan hidup
kesufian, sebab umumnya orang sufi masa ini tadinya atau sebelumnya adalah
orang-orang zahid. Hal ini dipertajam oleh Taftazani bahwa mereka lebih
layak dinamai zahid daripada “sufi”[18]
Tokoh-tokoh zahid akhir abad II H, dan sudah mempunyai konsep tentang
oleh rohani antara lain diwakili oleh Rabiahtul Adawiah, seorang zahid
perempuan yang telah mengukir lembaran sejarah tasawuf dengan membawa versi
baru yang bernama hubb (cinta).
Pada abad II H, dalam kehidupan spiritual telah terjadi transformasi, dari
metode zuhud ke metode tasawuf, yang di tandai dengan munculnya
tokoh-tokoh sufi yang menawarkan suatu konsep atau gagasan yang berbentuk teori
sebagai suatu cara untuk berdekatan dengan Allah, seperti Rabiahtul Adawiyah
dengan konsep mahabbah atau cintanya.[19]
Adanya term tasawuf pada akhir abad II H, tapi itu tidak berarti telah lahir
sistem tasawuf sebagai suatu ilmu yang walaupun praktenya telah ada sejak masa
Rasulullah. Namun ketika memasuki abad ke III H., perkembangan tasawuf sudah
mulai jelas dan istilah tasawuf sudah dikenal secara meluas. Perkembangan
tersebut disebabkan prinsip-prinsip teoritisnya sudah mulai tersusun secara
sistimetis, demikian pula aturan-aturan praktisnya, sehingga melahirkan tiga
macam corak tasawuf yaitu: tasawwuf akhlaki, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi.[20]
Pada masa inilah tasawuf mencapai
puncak keemasannya sebagai sebuah gerakan yang banyak dikaji dan
diamalkan/dipkraktikkan sebagai prinsip hidup.
C.
Faktor-Faktor Penyebab Mundurnya
Tasawuf
Ulama
peneliti muslim menarik suatu kesimpulan bahwa ada 3 faktor penyebab citra
tasawuf runtuh dimata dunia Islam.
1. Banyak sufi-sufi yang
menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya, mereka tidak tunduk pada aturan
syariah sebab mereka sudah menganggap dirinya sudah mencapai tingkat /maqamat
yang tinggi yaitu ma’rifah. Kebanyakan sufi mendominasi ajaran tasawufnya
dengan unsur-unsur filsafat yang terlalu rasional sehingga tidak lagi relevan
dengan Al-Qur’an dan Hadits.
2. Kondisi atau era waktu itu
di dominasi oleh penjajah bangsa Eropa yang menguasai Negara Islam, banyak
menggunakan faham dan filsafat sekularisme dan materialisme yang sangat
bertentangan dengan ajaran tasawuf.
3. Pendapat lain mengatakan
bahwa pihak-pihak penguasa muslim itu sendiri sering menekan para ulama, untuk
melegalkan dan membantu dalam menjalankan kekuasaannya. Satu hal yang perlu
diingat bahwa mundurnya tasawuf bukan karena ajaran tasawuf itu sendiri tapi
karena manusia yang salah mengakses dan memahami tasawuf.[21]
D. Pembagian Dan
Ajaran Inti Tasawuf
Secara umum para ahli tasawuf membagi tasawuf menjadi 3
(Tiga) macam : tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi.
Ketiga jenis tasawuf tersebut pada prinsipnya
mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama ingin “mendekatkan diri kepada
Allah” dengan cara membersihkan diri dari perbuatan tercela dan menghiasinya
dengan perbuatan terpuji. Namun ketiga jenis tasawuf tersebut mempunyai
perbedaan dalam penerapan “pendekatan” yang di gunakan.[22]
Pendekatan-pendekatan dari
masing-masing jenis tasawuf, sekaligus merupakan spesifikasi dan ajaran inti
masing-masing jenis tasawuf tersebut. Para tasawuf yang bercorak akhlaki,
pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan “moral” ( teori-teori أخلاق الكريمة
) atau biasa di sebut pencerdasan emosi.
Untuk tasawuf yang bercorak falsafi,
maka pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan “rasio” memberdayakan akal
pikiran yang biasa di sebut pencerdasan inteligen. Sedangkan tasawuf yang
bercorak amali, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan “amaliah”,
memperbanyak aktifitas yang bersifat rohani yang biasa disebut pencerdasan
spiritual.
Ketiga bentuk corak tasawuf itu
merupakan perwujudan untuk meng-Esakan Tuhan secara mutlak, dan itu berarti
kita harus menyadari bahwa meng-Esakan dan memahami Tuhan tidak bisa di jangaku
atau didekati hanya dengan rasio atau akal semata, tetapi memahami Tuhan harus
dibantu dengan pendekatan moral atau emosi dan spiritual yang keduanya itu
bertempat dalam hati sebagai tempatnya iman bersemayam.[23]
Berikut adalah ajaran inti
tasawuf yang dikemukakan menurut pembagian tasawuf itu sendiri, yakni:
1. Tasawuf akhlaki
Taswuf
Akhlaki ialah ajaran tasawuf yang berhubungan dengan pendidikan mental dan
pembinaan serta pengembangan moral agar seseorang berbudi luhur atau berakhlak
mulia. Dari pengertian tersebut, maka menurut pandangan orang-orang sufi yang
menganut aliran tasawuf akhlaki sebagai berikut :
a. Bahwa satu-satunya cara untuk bisa mengantar
seseorang agar bisa dekat dengan Allah SWT ., hanyalah dengan jalan “mensucikan
jiwa”.
b. Bahwa untuk
mencapai kesucian jiwa tersebut diperlukan “latihan mental” yaitu al-riyadhah
yang ketat. Riyadhah tersebut wujudnya adalah “mengontrol” sikap dan
tingkah laku secara ketat agar terbentuk pribadi yang berahklak mulia.
c. Bahwa latihan
mental tersebut bertujuan untuk mengontrol dan mengendalikan nafsu, seperti
godaan-godaan yang sifatnya duniawi.
d. Bahwa
pengendalian nafsu di perlukan, sebab nafsu diabggap sebagai penghalang atau
tabir antara manusia dengan Tuhan.
e. Bahwa untuk membuka tabir tersebut agar manusia dapat dekat dengan
Allah SWT. Maka para sufi membuat suatu sistematika pendekatan takhalli (mengosongkan)
dan tahalli (mengisi).[24]
2. Tasawuf Amali
Tasawuf amali yaitu ajaran tasawuf yang mementingkan pengalaman-pengalaman
ibadah baik secara lahiriah maupun batiniah. Tasawuf amali di anggap
oleh sebahagian sufi sebagai bagian dan lanjutan dari taswuf akhlaki.
Menurut sufi yang menganutnya bahwa untuk dekat dengan Allah SWT. Maka
seseorang harus menggunakan pendekatan amaliah dalam bentuk memperbanyak
aktifitas, amalan lahir dan batin.[25]
Oleh karena itu menurut sufi, ajaran agama juga mengandung
aspek lahiriah dan batiniah, maka cara memahami dan mengamalkannya juga harus
melalui aspek lahir dan batin. Kedua aspek ini di bagi menjadi empat bagian.
a. Syariah
yaitu undang-undang, aturan-aturan, hukum Tuhan , atau ketentuan tentag
halal, haram, wajib dan sunnah hal ini menyangkut aspek lahiriah (eksoterik).
Syariah
menurut sufi adalah amalan-amalan lahir yang fardukan dalam agama yang biasanya
dikenal sebagai “rukun Islam” yang sumbernya dari Al-Qur’an dan sunnah. Amalan
tersebut bukan hanya yang sifatnya wajib tetapi semua sunnah, yang di amalkan
dengan penuh keikhlasan sehingga di tetapkanlah cara-caranya waktunya dan
jumlahnya. Oleh karena itu, sufi ynag meninggalkan syariah dianggap sesat,
sebab tanpa mengamalkan hukum Tuhan secara baik, dan tuntas lewat amalan ibadah
berarti tidak tunduk pada aturan Allah.[26]
Syariat
merupakan hakikat itu sendiri, dan hakikat tidak lain adalah syariat itu
sendiri. Keduanya adalah satu, tidak akan sempurna satu sisi tanpa
sisi yang lain. Allah SWT., telah menggabungkan keduanya, oleh karena itu
suatu hal yang mustahil jika seseorang mau memisahkan sesuatu yang telah
digabungkan oleh Allah SWT.[27]
b. Thariqah yaitu jalan, cara,
metode. Thariqah menurut sufi ialah perjalanan menuju Allah, dan dalam
perjalanan tersebut di tempuh melalui suatu cara, atau melalui suatu jalan agar
dengan Tuhan. Sebab meurut sufi tanpa suatu cara atau metode khusus yang di
sebut thariqah akan sulit sampai pada tujuan. Maka di tetapkanlah ketentuan
yang sifatnya batiniah, dengan melalui cara, metode setahap demi setahap yang
dikenal dengan istilah مقام.[28]
Menurut sufi hidup ini penuh dengan rahasia, dan rahasia itu
tertutup oleh tabir sebenarnya tabir itu adalah “hawa nafsu” kita sendiri.
Tabir itu sebenarnya bisa tersingkap (terbuka) asal menempuh suatu cara
(thariqah) lihat Al-Qur’an surah al-Jin ayat 16, yang artinya:
“dan bahwasanya : Jikalau mereka tetap berjalan lurus di
atas jalan itu (agama Islam). Benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka
air yang segar (rezki yang banyak).[29]
Berdasarkan gambaran di atas, maka maqamat itu
merupakan satu sistem atau metode untuk mengenal dan merasakan adanya Tuhan
atau melihat Tuhan dengan mata hati.
c.
Haqiqah diartikan sebagai kebenaran. Haqiqah
biasa juga diartikan puncak, atau sumber segala sesuatu. Haqiqah menurut
sufi merupakan rahasia yang paling dalam dari segala amal, dan merupakan inti
dari syariah. Haqiqah di peroleh sebagai nikmat dan anugerah Tuhan
berkat latihan yang dilakukan sufi. Dengan sampainya sufi ke tingkat haqiqah,
berarti telah terbukalah baginya rahasia yang ada dalam syariah, maka
sufi dapat memahami segala kebenaran. Atau dengan kata lain haqiqah
adalah mengetahui inti yang paling penting dalam diri sesuatu sehingga
tidak ada yang tersembunyi baginya.[30]
Haqiqah tidak
bias terlepas dari syariah, dan bertalian erat dengan tariqah dan juga
terdapat dalam ma’rifah. Dalam pandangan kaum sufi, makna hukum luar
(syariah) harus utuh dan sinkron dengan makna hokum dalam (haqiqah), maka
setiap manusia harus tunduk pada syariah sekaligus tunduk pada realitas
sebelah dalam (tariqah dan haqiqah), sebab manusia sendiri berada
diantara dua ruang yaitu ruang fisik dan ruang ruhani.[31]
d.
Ma’rifah yaitu pengetahuan dan pengenalan.
Sedangakan menurut kaum sufi berarti penghetahuan mengenai Tuhan melalui kalbu
atau hati nurani. Pengertian tersebut sedemikian lengkapnya sehingga jiwa
seorang sufi sudah merasa bersatu dengan yang diketahuinya. Dikatakan oleh para
sufi, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati
sanubari melihat Tuhan. Inilah sebagai tujuan utama dalam ilmu
tasawuf.[32]
Melihat gambaran dari syari’ah,
tariqah, haqiqah, dan ma’rifah, maka dapat dikatakan bahwa ma’rifah
hanya bias dicapai bila melalui syari’ah dan ditempuh berdasarkan tariqah
lalu bisa memperolah haqiqah. Apabila syari’ah dan tariqah
ini sudah dikuasai maka timbullah haqiqah lalu tercapailah tujuan yang
diinginkan oleh sufi yaitu ma’rifah.
Menurut kaum sufi pengalaman syariah Islam tidaklah
sempurna jika tidak dikerjakan secara integrative dengan urutan-urutan
sebagai berikut:
·
Syari’ah merupakan peraturan
·
Tariqah merupakan cara melakukan peraturan
·
Haqiqah merupakan keadaan yang dirasakan
setelah melaksanakan peraturan tersebut.
Bila seseorang telah menjalani tariqah yang
seimbang dengan syariah lahir dan batin menuju pada puncak
rahasia, maka tercapailah suatu kondisi mental yang dinamakan insan kamil atau
waliyullah yaitu orang-orang yang selalu dekat dengan Allah SWT.,
dan mendapat karunia-Nya sehingga melakukan perbuatab-perbuatan luar
biasa yang dinamakan al-karamah.[34]
3. Tasawuf Falsafi
Tasawuf
falsafi merupakan ajaran tasawuf yang memadukan antara visi mistis dengan
visi rasional.
Tasawuf falsafi berbeda dengan tasawuf akhlaki dan amali.
Sebab tasawuf falsafi menggunakan term filsafat dalam mengungkap
ajarannya. Terminologi tersebut berasal dari berbagai macam ajaran filsafat
yang mempengaruhi tokoh-tokoh sufi. Dengan adanya term-term filsafat
dalam tasawuf ini menyebabkan bercampurnya ajaran filsafat dan ajaran-ajaran
dari luar Islam seperti Yunani, India, Persia, Kristen dalam ajaran
tasawuf Islam. Tetapi perlu diketahui bahwa orisinalitas tasawuf
tetap ada dan tidak hilang. Sebab para sufi tersebut menjaga kemandirian
ajarannya.[35]
Walaupun tasawuf falsafi banyak menggunakan term filsafat,
namun tidak bisa dianggap sebagai filsafat. Sebab ajaran dan metodenya
dipadukan pada rasa (zauq). Sebaliknya tidak dikategorikan sebagai tasawuf
murni, sebab ajarannya sering diungkap dalam bahasa filsafat
yang sering cendrung pada pantaisme.[36]
E. Maqamat dan Ahwal.
1. ﻣﻗﺎﻣﺎﺕ ( Maqamat )
Untuk mencapai kedekatan
dengan Tuhan, sufi memberikan suatu metode atau cara atau jalan.
Jalan itu berisi stasiun yang disebut ﻣﻗﺎﻣﺎﺕ . Maqamat berasal dari bahasa Arab yang artinya
tempat orang berdiri.[37]
Selanjutnya istilah tersebut
berkembang lebih jauh dengan arti tingkatan, atau tahapan, atau
jalan panjang yang harus dilewati oleh sufi untuk berada sedekat
mungkin dengan Allah SWT. Tingkatan tersebut berupa atau berbentuk sikap
hidup yang nampak kelihatan dan tercermin dalam perilaku
akhlak yang mulia. Maqamat ini sebagai hasil dari mujahadah (kesungguhan)
dan riyadah (latihan) berkesinambungnan yang dilaksanakannya
serta putusnya hubungan dengan selain Allah.[38]
Berdasarkan defenisi di atas, dapat
dikemukakan bahwa maqamat merupakan suatu tingkatan, tahapan
yang dicapai oleh sufi dari usahanya yang keras dan sungguh-sungguh
serta perjuangannya terus menerus dalam rangka mendekatan diri kepada
Allah SWT.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul
perbedaan pendapat di kalangan sufi bahwa referensi tentang jumlah maqamat
tidak selamanya sama. Nampaknya perbedaan tersebut berfariasi baik
segi jumlah maupun formasi maqamat itu. Berikut penulis paparkan
pendapat beberapa ulama:
Menurut Abu Bakar al-Kalabazi ada sepuluh maqatat dengan
formasi sebagai berikut: Taubat, Zuhud, Sabar, Fakir, Tawadu’, Takwa,
Tawakkal, Ridha, Mahabbah dan Ma’rifat. Sedang Menurut al-Gazali ada
delapan bentuk maqamat: Taubat, Sabar, Fakir, Zuhud, Tawakkal, Mahabbah,
Ridha, dan Ma’rifat.[39]
Berbeda dengan dua pendapat sebelumnya, Abu Nasr
al-Sarraj al-Tusi berpendapat bahwa maqamat hanya ada tujuh macam yaitu:
Taubat, Wara’,Zuhud, Fakir, Sabar, Tawakkal dan Ridha. Sedangklan
menurut Abu. Qasim Abd. Karim maqamat hanya ada enam yaitu: Taubat,
Wara’, Zuhud, Tawakkal, Sabar, dan Ridha.[40]
Kendati ada perbedaan ulama tentang jumlah formulasi maqamat,
tetap ada tingkatan yang sama disepakati dan mesti
ada sebagai unsur dari maqamat tersebut, sebagai mana yang
disebutkan oleh Harun Nasution bahwa ada lima tingkatan yang populer dan
diterima secara umum yaitu: Taubat, Zuhud, Sabar,Tawakkal dan Ridha.[41]
Berikut penjelasan singkat kelima macam maqamat tersebut:
1. ﺍﻟﺗﻭﺑﺔ
( taubah ) ialah meninggalkan keinginan untuk kembali melakukan
kejahatan seperti yang telah pernah dilakukannya karena rasa takut akan
kebesaran Allah SWT., dan menjauhkan diri dari kemurkaannya. Para sufi
berpendapat bahwa taubat adalah maqamat pertama.[42]
Mengingat
bahwa taubat merupakan metode atau cara untuk mengikis semua sifat
yang jelek. Menurut para sufi, dosa itu adalah pemisah antara
manusia dengan Allah, sebab dosa itu adalah sesuatu yang kotor sedangkan
Allah Maha Suci dan menyukai orang yang senantiasa mensucikan
dirinya dari dosa dengan cara bertaubat. Inilah stasiun pertama yang harus
dilewati oleh para sufi.
2.
ﺍﻟﺯﻫﺩ ( zuhud )
diartikan sebagai keadaan meninggalkan dunia dan menjauhkan diri dari hidup
kebendaan.[43]
Namun
al-Gazali mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keinginan
kepada dunia dan menjauh darinya dengan penuh kesadaran. Sedangkan
al-Qusyaeri menyebut zuhud yaitu tidak merasa bangga
dengan kehidupan dunia yang telah ada di tangan dan tidak merasa
bersedih dengan hilangnya kemewahan dari tangannya.[44]
Dari
pengertian ini dapat dipahami bahwa zuhud intinya
adalah mengurangi keinginan terhadap kenikmatan dunia supaya dapat
membawa kekhusyuan mengabdi dan dekat dengan Allah SWT.
3
ﺍﻟﺻﺑﺮ ( sabar ), secara harfiah berarti
menahan. Menurut al-Gazali sabar adalah sebuah kondisi mental dalam
mengendalikan hawa nafsu yang tumbuhnya adalah atas dorongan
agama. Sabar yang dimaksud para sufi adalah konsekwen dan konsisten dalam
melaksanakan perintah Allah dan meniggalkan larangnannya, tahan uji
mengahdapi kesulitan dan cobaan yang ditimpakan kepadanya.[45]
4. ﺍﻟﺗﻭﻛﻞ
( tawakkal ). Pengertian
tawakkal secara umum adalah sikap pasrah secara total setelah
melaksanakan suatu usaha. Tawakkal juga berarti berpasrah diri
sepenuhnya kepada Allah SWT dalam menghadapi atau menunggu pekerjaan.
Menurut sufi tawakkal tidak cukup hanya sekedar penyerahan diri seperti
itu, tetapi lebih mendalam lagi dengan merefleksikannya melalui sikap dan
tindakan dalam segala hal.[46]
5. ﺍﻟﺮﺿﺎ ( Ridha ), secara harfiah ridha artinya
rela. Sementara menurut Harun Nasution ridha berarti menerima qadha
dan qadar Tuhan dengan senang hati. Untuk itu, semua
perasaan benci di dalam hati harus dibuang jauh-jauh sehingga yang
tersisa ialah perasaan senang dan gembira walaupun ditimpa mala
petaka ia tetap senang dan ridha menerimanya sebagaimana ketika ia
mendapat rahmat dan nikmat.[47]
Sebagai
tambahan bahwa term maqamat muncul sebagai suatu istilah
dalam tasawuf pada abad III dan IV H. dan yang dianggap pelopornya antara
lain Haris al-Muhasibi (165-234 H / 781-857 M), dipandang sebagai orang pertama
yang membahas maqamat. Selain itu juga dikenal Abu Said al-Kharaz
(227H) dan Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Anshari (al-Harawi) (361-481H).[48]
2. ﺍﻷﺣﻭﺍﻞ ( Ahwal )
Selain
maqamat, dalam tasawuf juga dikenal istilah ahwal. Ahwal merupakan
keadaan mental, seperti keadaan senang, perasaan sedih, perasaan takut
dan sebagainya.[49]
Ahwal
Juga diartikan sebagai keadaan mental atau situasi kejiwaan yang diperoleh
sufi sebagai karunia dari Allah SWT. Ahwal sebenarnya manifestasi dari maqamat
yang dilalui oleh sufi sehingga ahwal sangat sulit
untuk dilukiskan secara informatif dan dideteksi secara
logis, sebab ia termasuk pengalaman rohani yang hanya diketahui oleh sufi
yang yang pernah mengalaminya. Karena itu ahwal sangat bersifat
subjektif dan personal.[50]
Dalam tasawuf kemudian dikenal bermacam ahwal. Berikut
penjelasannya:
1.
ﺍﻟﺧﻭﻑ merupakan sikap mental dengan
merasakan ketakutan pada Allah SWT, karena kurang sempurna pengabdiannya
dan atas kesalahan yang telah diperbuat. Takut dan khawatir jika
Allah SWT tidak senang padanya. Oleh karena itu, sufi selalu berusaha agar
perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah SWT. Sikap seperti ini
memberikan motivasi untuk berbuat baik dan mendorong untuk menjauhi
maksiat.[51]
2.
ﺍﻟﺮﺟﺎﺀ : merupakan sikap mental yang
optimis dalam memperoleh karunia Ilahi. Allah yang maha pengampun dan
penyayang, maka sufi penuh ‘harap’ memperolah ampunan dan limpahan rahmat. Sikap raja ini akan
memberi semangat dalam riyadhah dan mujahadah sehingga
dengan penuh gairah menanti harapan datangnya rahmat Allah SWT.[52]
3.
ﺍﻟﺷﻭﻖ : Kondisi kejiwaan yang dirasakan oleh sufi untuk ingin bertemu dengan Tuhannya.
Hasratnya bergelora untuk selalu bersama dengan yang dikasihi. Dalam hal
ini, pengetahun, pemahaman, pengenalan yang sempurna dan mendalam pada
Allah SWT, menimbulkan rasa senang yang luar biasa dan bergairah yang
melahirkan cinta dan obsesi yang kuat untuk bertemu dengan Yang dicintai.[53]
4.
ﺍﻷﻧﺲ : yaitu kedaan jiwa yang
sepenuhnya terfookus kepda Alah SWT. Tidak merasa tidak mengingat dan
tidak mengharap kecuali kepada Alah SWT.[54]
Dari
penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa ahwal itu sebagai
kondisi mental yang sedang dirasakan dan dinikmati secara
damai dan intensif oleh sufi. Selanjutnya dapat diketahui bahwa
jalan yang harus ditempuh oleh sufi untuk mencapai tujuan memperoleh
hubungan batin dan “bersatu” dengan Tuhan bukanlah sesuatu cara
yang mudah.
Maqamat
dan ahwal memiliki perbedaan dalam konsep dan penrapannya. Maqamat
diperoleh melalui usaha yang berat dan keadaan atau kondisinya
tetap bersifat stabil dan tidak berubah. Seperti kesabarnnya menerima
cobaan sama saja ketika menerima nikmat. Sikap hidupnya dapat dilihat
dari prilaku keseharian sufi seperti kesabaran, tawakkal, suzud dan kerrelaan.
Sementara ahwal diperoleh sebagai suatu anugrah, rahmat (bukan unsur
usaha dan perjuangan), keadannya bersifat labil dan tidak tetap, mudah berubah,
(kadang merasa sedih, kadang senang). Kondisi mental yang dirasakan
bersifat abstrak (tidak bisa dilihat orang lain), dan hanya bisa dirasakan dan
dipahami serta diketahui oleh orang yang mengalaminya.
Walaupun keduanya
mempunyai perbedaan, namun keduanya sangat berkaitan. Karena keduanya
mempunyai dua sisi yang sama dan sulit dipisahkan. Hal ini
disebabkan makin tinggi tingkat maqamat yang dicapai oleh
seorang sufi, maka semakin intens pula ahwal yang
diperolehnya dan dirasakannya.
DAFTAR PUSTAKA
Asmaran AS, Pengantar Ilmu
Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
Terjemahnya, 1978
Haeri, Fadhalalla, Jenjang-Jenjang
Sufisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000
Hamka, Tasawuf Dari Masa ke Masa,
Jakarta: Pustaka Islam, 1960
Hilal, Ibrahim, Al-Thasawwuf
al-Islami Bain ad-Din wa al-Falsafah, terj. Ija Suntana dan E.
Kusdian, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat Sebuah Kritik Metodologis, (Cet.
I; Bandung Pustaka Hidayah, 2002)
Ibrahim, Muhammd Zaki, Abjadiyyah
al-Tashawwuf al-Islam, terj. Abdul Syukur dan Rivai Usman, Tasawuf
Salafi, (Cet. I; JAkarta: Hikmah, 2002)
Kalsum, Ummu, Ilmu Tasawuf,
(Cet. II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002)
Mahmud, Abdul Halim, Tasawuf di
Dunia Islam, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002)
Madjid, Nurcholis, Islam
Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus
Al-Munawwir Bahasa Arab Indonesia Lengkap,(Cet. XIV; Yogyakarta:
Pustaka Progresif, 1997)
Mustafa , H. A., Akhlak Tasawuf, Bandung:
Pustaka Setia, 1997
Nata, Abuddin, Akhlak
Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Rondon, Tashawwuf dan Aliran
Kebatinan: Suatu Perbandingan antara Aspek-Aspek Mistik Jawa, (Cet. II; Yogyakarta:
LESFI, 1995)
Siregar, H. A. Rivay, Tasawuf
Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002)
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, jilid 5, 1993
Valiuddin, Mir. Tasawuf Dalam
Qur’an, (Cet. II; Jakarta:Pustaka Firdaus, 1993)
[1] Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir
Bahasa Arab Indonesia Lengkap,(Cet. XIV; Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1997), h. 784
[9] Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, jilid 5, 1993, h. 74.
[10] Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, jilid 5, 1993,h. 75.
[12] Ibrahim Hilal, Al-Thasawwuf al-Islami Bain
ad-Din wa al-Falsafah, terj. Ija Suntana dan E. Kusdian, Tasawuf
Antara Agama dan Filsafat Sebuah Kritik Metodologis, (Cet. I; Bandung
Pustaka Hidayah, 2002), h. 19
[13] H. A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme
Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.
36
[14]
H. A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme
Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002). h. 37
[15] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan
Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, h. 256.
[17] Muhammd Zaki Ibrahim, Abjadiyyah
al-Tashawwuf al-Islam, terj. Abdul Syukur dan Rivai Usman, Tasawuf
Salafi, (Cet. I; JAkarta: Hikmah, 2002), h. 23.
[18] Rondon, Tashawwuf dan Aliran Kebatinan:
Suatu Perbandingan antara Aspek-Aspek Mistik Jawa, (Cet. II; Yogyakarta:
LESFI, 1995), h. 15
[23] H. A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme
Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
h. 52.
[26] Muhammd Zaki Ibrahim, Abjadiyyah
al-Tashawwuf al-Islam, terj. Abdul Syukur dan Rivai Usman, Tasawuf
Salafi, (Cet. I; JAkarta: Hikmah, 2002), h. 145.
[27] Muhammd Zaki Ibrahim, Abjadiyyah
al-Tashawwuf al-Islam, terj. Abdul Syukur dan Rivai Usman, Tasawuf
Salafi, (Cet. I; JAkarta: Hikmah, 2002), h. 146.
[48] Ummu Kalsum. Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet.
II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002),., h. 70
[49] Harun Nasution, Harun Nasution, Falsafah dan
Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995., h 63
[50] Ummu Kalsum. Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet.
II; Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002),.h. 71
[52] Harun Nasution, Harun Nasution, Falsafah dan
Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995h. 73
[53] Harun Nasution, Harun Nasution, Falsafah dan
Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995h. 75
[54], Ummu Kalsum, Ilmu Tasawuf, (Cet. II;
Makassar: Yayasan Fatiyah Makassar, 2002),h. 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar