Pada
awalnya istilah syi’ah berasal dari
kata Syi’ah Ali (pengikut Ali).
Istilah ini kemudian popular dengan Syi’ah
saja. Jika disebut kata Syi’ah, maka
yang dimaksud adalah suatu paham atau aliran yang meyakini bahwa pemimpin
setelah Nabi Muhammad Saw., wafat adalah Ali bin Abi Thalib. Dalam keyakinan
Syi’ah sejak semula Rasulullah Saw.,
telah memilih dan menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti
beliau.[1] Selain daripada itu
Syi’ah juga di definisikan sebagai golongan Islam yang mengikuti 12 Imam dari
Ahlu Bait (keluarga dan keturunan) Rasulullah Saw., melalui keturunan Ali bin
Abi Thalib dan anak-anak Fatimah putri kesayangan Nabi Saw., istri Imam Ali.[2]
Dengan demikian dapat dipahami
bahwa, syi’ah merupakan suatu paham atau aliran yang meyakini bahwa setelah
Rasulullah saw., wafat maka yang berhak menggantikkannya sebagai pemimpin
adalah Ali bin Abi Thalib atau ke 12 Imam dari Ahlul Bait.
Syi’ah memiliki
keyakinan bahwa sebenarnya Rasulullah Saw., telah menunjuk calon pengganti
beliau, dan calon tersebut adalah menantu dan sekaligus sepupu beliau, Ali bin
Abi Thalib. Menurut mereka penunjukkan tersebut terjadi pada peristiwa yang
kemudian disebut peristiwa Ghadir Khumm.
Dengan demikian kemunculan Syi’ah sebagai suatu partai, memang sangat
terkait erat dengan persoalan politik,.[3]
Jadi tidaklah salah ketika kita
mengatakan bahwa kemunculan pemahaman atau alairan Syi’ah dikarenakan persoalan
politik.
A.
PENGERTIAN SYI’AH
Kata syi’ah terambil dari kata dalam bahasa
Arab: sya’a-syiya’an berarti
mengikuti atau menemani (tabi’a atau ra-faqa).[1]
Di
dalam Al-Qur’an kata syi’ah,
menurut al-Jauzi memiliki makna empat aspek yaitu:
1. Kelompok, seperti dalam surat
al-An’am (6): 159, al-Hijr (15): 10, al-Qasas (28): 4, dan al-Rum (30): 32.
2. Al-ahl wan-nasab (anggota keluarga dan keturunan), seperti dalam surat
al-Qasas (28): 15.
3. Ahl al-millah (kelompok pemeluk agama), seperti dalam surat Maryam (19):
6, al-Qamar (54): 51, Saba’ (34): 54, dan as-Safat (37): 83;
4. al-ahwal al-mukhtalifah (aliran-liran pemikiran yang bermacam-macam), seperti dalam
surat al-An’am (6): 65.[2]
Dari beberapa ayat di atas , kata
Syi’ah berarti dapat diartikan sebagai
kelompok, al-ahl wan-nasab (anggota
keluarga dan keturunan), ahl al-millah (kelompok
pemeluk agama), dan al-ahwal
al-mukhtalifah (aliran-liran pemikiran yang bermacam-macam).
Secara istilah kata Syi’ah mempunyai arti suatu aliran dalam
Islam yang memiliki keyakinan bahwa Ali bin Abi Talib dan keturunannya adalah
imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad Saw.[3] Selain daripada itu Syi’ah
didefinisikan sebagai golongan Islam yang mengikuti 12 Imam dari Ahlu Bait
(keluarga dan keturunan) Rasulullah Saw., melalui keturunan Ali bin Abi Thalib
dan anak-anak Fatimah putri kesayangan Nabi Saw., istri Imam Ali.[4] Karena menurut keyakinan
Syia’ah yang didukung oleh banyak hadis. Berikut ini salah satu dalil yang
menunjukkan kepemimpinan Ahlul Bait.
ﻗﻠرﺳﻮل
ﷲﺻﻠﻰﷲﻋﻠﻴﻪوﺳﻠﻢ: ﻳﺄﻳﻬﺎاﻟﻨﺎس إﻧﻲﺗﺮﻛﺖﻓﻴﻜﻢﻣﺎإن أﺧﺬﺗﻢﺑﻪﻟﻦﺗﻀﻞاﻛﺘﺎبﷲوﻋﺘﺮﺗﻰأﻫﻞ ﺑﻴﺘﻲ
Rasulullah Saw., bersabda, “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya telah
aku tinggalkan untuk kalian (dua warisan berharga), yang bila kalian berpegang
kepada keduanya niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan
‘itrahku, Ahlulbaytku.”[5]
Para ahli hadis, baik klasik maupun
kontemporer telah men-tashih hadis di
atas, Ahli hadis klasik yang telah mensahihkan adalah Imam Muslim dalam kitab Sahih Muslim, Imam Tirmidzi dalam Sunan Turmudzi, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala Shahihain, dan Imam
Ahmad dalam Musnad Ibn Hanbal. Sedangkan
ahli hadis kontemporer yang telah mensahihkan hadis tersebut di antaranya,
Muhammad Nasiruddin al-Albani. Ia mensahihkan hadis tsaqalayn dalam kumpulan hadis-hadisnya. Menurutnya, sanad hadis tsaqalayn mencapai derajat mutawatir.[6]
Dengan demikian, aliran Syi’ah merupakan
suatu aliran dam Islam yang yang meyakini
Ali bin Abi Thalib atau 12 Ahlu Bait (keluarga dan keturunan) Rasulullah
Saw., adalah imam-imam
atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad Saw., serta bersamaan dengan didukungnya hadis Rasulullah
Swa., di atas.
B.
SEJARAH ALIRAN SYI’AH
Golongan Syi’ah
muncul pada akhir masa Khalifah ketiga, Utsaman bin Affan kemudian tumbuh dan
berkembang pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ketika Ali wafat, pemikiran
Syi’ah berkembang menjadi mazhab-mazhab. Sebagiannya meyimpang dan sebagiannya
lurus.[7]
Jadi aliran Syi’ah muncul setelah Khlaifah Utsaman bin Affan, kemudian tumbuh
dan berkembang pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Selain itu,
pendapat yang populer adalah bahwa sebagai sebuah nama aliran atau kelompok,
Syi’ah baru muncul ketika terjadi peristiwa tahkim
di tengah-tengah perang antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan pasukan
Muawiah bin Abi Sufyan di Siffin pada tahun 657 M. [8]
Jadi aliran Syi’ah muncul ketika terjadinya peristiwa tahkim pada tahun 657 M.
Selain itu,
perbedaan pendapat dikalangan umat Islam pada masa-masa awal, segera setelah
Rasulullah Saw., wafat, terjadilah perselisihan umat Islam mengenai pengganti
beliau. Menurut Hossein Nasr, Syi’ah memisahkan diri dari Sunni setelah Nabi
Saw., wafat. Sunni memandang bahwa Allah memberikan kesempatan kepada umat
Islam untuk menentukan sendiri pemimpinya. Keyakianan mereka ini didukung oleh
kenyataan bahwa Nabi tidak meninggalkan
putera laki-laki, jadi kaum sunni mendukung hak kaum muslim untuk memilih
pengganti Rasulullah Saw., dalam kepemimpinan politik, bukan penunjukan secara
langsung terhadap individu.[9]
Jadi sunni menganggap bahwa pengganti Rasulullah setelah wafat, tidak dilakukan
dengan penunjukkan secara langsung terhadap individu melainkan hak setiap
muslim untuk memilih pengganti Rasulullah Saw.
Sedangkan kaum
minoritas kaum muslimin, memiliki keyakinan bahwa sebenarnya Rasulullah Saw.,
telah menunjuk calon pengganti beliau, dan calon tersebut adalah menantu dan
sekaligus sepupu beliau, Ali bin Abi Thalib. Menurut mereka penunjukkan
tersebut terjadi pada peristiwa yang kemudian disebut peristiwa Ghadir Khumm. Penunjukkan itu, menurut
pengikut Syi’ah, dilakukan Nabi ketika beliau dalam perjalan pulang dari
menunaikan haji Wada’, pada tanggal 18 Zulhijah tahun 11 H (632 M). diantara
pernyataan Nabi Saw., pada saat itu : “Barang siapa yang menganggapku sebagai
pemimpinnya (mawla), mulai saat
sekarang hendaklah menganggap Ali sebagai pemimpinnya”. Dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dari sinilah muncul dogma yang secara absolut
dipegangi Syi’ah bahwa imamah itu mutlak berdasarkan nas dan wasiat Nabi Saw., dengan demikian kemunculan syi’ah sebagai
suatu partai, memang sangat terkait erat dengan persoalan politik.[10]
Dengan
pemaparan tersebut, dapat dipahami bahwa kemunculan Syi’ah di karenakan pada
saat itu penunjukkan dari Rasulullah Saw., sendiri yang
terjadi pada peristiwa yang kemudian disebut peristiwa Ghadir Khumm. Penunjukkan itu, menurut pengikut Syi’ah, dilakukan
Nabi ketika beliau dalam perjalan pulang dari menunaikan haji Wada’, pada
tanggal 18 Zulhijah tahun 11 H (632 M).
Ali bin Abi
Talib was Muhammad's cousin, son of his uncle, Abu Talib. When Muhammad was
forced to leave his hometown of Mecca in the year 622 and settle in Medina, Ali
followed shortly afterward. According to Shi'i tradition, Ali Assured the
prophet's safe flight from Mecca by sleeping in Muhammad's bed wearing his
clothing, so that the Meccans who forced their way into the prophet's
bedchamber to kill him were surprised to find the wrong person there and their
plan foiled.[11]
Dari uraian di
atas, dijelaskan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah saudara sepupu Nabi Muhammad
Saw., yakni putra pamannya yang bernama Abu thalib. Pernah suatu saat, ketika
Nabi Muhammad Saw., terpaksa meninggalkan kampung halamannya Mekah ke Madinah
pada tahun 622 M. Menurut Syiah, Ali merelakan dirinya untuk menempati tempat
tidur Nabi Muhammad Saw., agar dikira orang Nabi yang sedang tidur di sana,
pada saat orang-orang musyrik Mekah bermaksud hendak membunuh Nabi, sehingga
orang-oarang musyrik Mekah yang masuk ke kamar tidur Nabi terkejut karena
didapatinya orang yang tidur di kamar tersebut ternyata bukan Nabi melainkan ia
adalah Ali bin Abi Thalib, dan akhirnya rencana kaum musyrik Mekah untuk
membunuh Nabi Muhammad Saw.,-pun gagal.
Hubungan yang
sangat dekat inilah yang menimbulkan pandangan dikalangan Syia’ah bahwa Ali lah
yang layak menggantikan Nabi Saw. Dengan kedudukan istimewa itu Ali bin Abi
Thalib dalam pandangan Syi’ah mempunyai kewenangan untuk memperoleh kekhalifahan dan kekuasaan agama setelah
Nabi wafat.oleh sebab itu, dalam pandangan Syi’ah yang berhak menjadi khalifah
itu adalah Ali bin Abi Thalib, bukan Abu Bakar as-Siddik, bukan pula Umar bin
Khattab dan bukan pula Usman bin Affan. Bahkan ada pandangan dalam kalangan
Syi’ah, sebenarnya Abu Bakar as-Siddik,
Umar bin Khattab dan Usman bin Affan adalah khlaifah yang telah merampas hak
Ali bin Abi Thalib.[12]
Dari penjelasan tersebut dapat
dipahami bahwa kerelaan Ali bin Abi Thalib untuk menggantikan Nabi Muhammad
Saw., di tempat tidurnya agar selamat dari kejaran kaum musyrik Mekah, menurut
pandangan Syi’ah menempatkan Ali bin Abi Thalib menempati kedudukan yang
istimewa yang menyebabkan bahwa menurut Syi’ah yang berhak menggantikan
Rasulullah Saw., setelah wafat adalah Ali bin Abi Thalib
bukan Abu Bakr as-Siddik, bukan Umar bin Khattab, dan bukan pila Usman bin
Affan.
C. POKOK AJARAN ALIRAN SYI’AH
Dalam
aliran Syi’ah ada beberapa pokok ajaran di dalamnya, diantaranya, masalah Imamah, I’shmah, Asyura, Mahdawiyah,
Al-Bada’, dan Taqiyah.[13]
1. Imamah
Syi’ah
menyebut pemimpin itu imam, bukan khalifah. Oleh sebab itu bagi Syi’ah imam
bukan hanya berfungsi sebagai pemimpin politik, tetapi juga pemimpin agama.[14]
Sebagaimana pembahasan di atas mengenai salah satu defenisi Syi’ah yakni bahwah aliran Syi’ah
merupakan golongan Islam yang mengikuti 12 Imam dari Ahlu Bait (keluarga dan
keturunan) Rasulullah Saw., adapaun ke 12 Imam tersebut, yaitu:
1. Imam Ali bin Abi Thalib
2. Imam Al-Hasan
3. Imam Al-Husain
4. Imam Ali Zainal Abidin
5. Imam Muhammad al-Baqir
6. Imam Ja’far al-Shadiq
|
7. Imam Musa al-Kazim
8. Imam Ali al-Rida
9. Imam Muhammad at-taqi al-Jawwad
10. Imam Ali an-Naqi al-Hadi
11. Imam al-Hasan al-Aksari
12. Imam al-Mahdi[15]
|
2. I’shmah
I’shmah adalah
sifat stabilitas kejiwaan yang suci. Di dalam jiawa tersebut terdapat pengaruh
khusus seperti sifat keberanian, kesucian, dan kedermawanan. Jika manusia
memiliki sifat berani, suci dan dermawan, maka dalam hidupnya ia senantiasa
melakukan hal-hal yang mulia dan terpelihara dari perkara-perkara yang hiana.[16]
Dengan demikian bagi Syi’ah, Imam-imam mereka tidak mungkin berbuat keliru atau
salah, lahir dan batin, sejak kelahirannya sampai ajalnya, baik sengaja maupun
tidak, karena para imam mereka itu adalah pemelihara dan pelindung Islam.[17]
Pendapat
Syi’ah bahwa para Imam itu maksum dari kesalahan sepanjang hidupnya, baik yang
disengaja ataupun tidak. Tidak ada perbedaan antara saat mereka masih kecil,
beranjak dewasa, atau setelah imamah.[18]
Adapun diantara dali yang mereka gunakan tentang hal ini adalah firman Allah
Swt., sebagi berikut:
"Sesungguhnya Aku menjadikanmu engkau sebagai pemimpin bagi
seluruh manusia". Dia (Ibrahim) berkata: " Dan (juga) dari anak
cucuku?". Allah berfirman: "(Benar, tetapi) Janji-Ku (ini) tidak berlaku
bagi orang-orang yang zalim".[19]
(Qs.
al-Baqarah/ 2: 124)
Dengan
adanya firman Allah Swt., Qs. al-Baqarah/ 2: 124, Syi’ah berpendapat bahwa Imam
itu maksum dari
kesalahan sepanjang hidupnya, baik yang disengaja ataupun tidak.
3. Asyura
Memperingati
hari kesepuluh bulan Muharram, sebagai hari berkabung, atas wafatnya imam
Husein bin Ali yang terbunuh di padang Karbala. Di kalangan Syi’ah disebut
dengan upaca raudhah-khani, semacam
ritual atau prosesi gabungan dari Khotbah, pembacaan sajak, ayat-ayat al-Qur’an
dan pertunjukan drama yang melukiskan kehidupan imam-imam yang menyedihkan,
khususnya Imam Husein Saydus Syuhada.[20]
Jadi setiap hari kesepuluh bulan Muharram, Syi’ah berkabung atas wafatnya imam-imam khususnya Imam Husain
Saydus Syuhada.
4. Mahdawiyah
Pengertian
al-Mahdi menurut paham Syi’ah ialah orang imam (Syi’ah) yang ditunggu-tunggu.[21]
Dengan demikian di kalangan Syi’ah, Imam Mahdi itu adalah imam ke 12 yang
diyakini setelah dilahirkan kemudian menghilang dalam waktu yang lama. Setelah
menghilang dalam waktu yang lama, ia akan datang untuk memperbaiki dunia dengan
keadilan, yang telah dirusak oleh penguasa-penguasa zalim.[22]
Jadi Syi’ah menganngap bahwa imam Mahdi adalah imam ke 12 dan ketika ia ia
datang setelah hilang sekian lama, ia akan datang untuk memperbaiki dunia
dengan keadilan, yang telah dirusak oleh penguasa-penguasa zalim.
5. Al-Bada’
Keyakinan
bahwa Allah Swt., dapat mengubah atau membatalkan ketentuan yang sudah
ditetapkan-Nya mengubahnya dengan
ketentuan-Nya.[23]
Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt., sebagai berikut:
(#qßsôJt
ª!$#
$tB
âä!$t±o
àMÎ6÷Vãur
(
ÿ¼çnyYÏãur
Pé&
É=»tGÅ6ø9$#
ÇÌÒÈ
“Allah menghapuskan apa yang dia
kehendaki dan menetapkan (apa yang dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat
Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).” (Qs. ar-Ra’d/ 13: 39)[24]
Ayat
tersebut dipahami oleh Syi’ah, “ilmu Allah Swt., dapat mengalami perubahan,
dalm arti bahwa Allah Swt., mempunyai suatu pengetahuan tertentu yang dapat
mengalami perubahan. Hukum Allah dapat mengalami pembatalan, dalam arti bahwa
Allah Swt., memiliki beberapa hukum yang memang dapat mengalami pembatalan.”[25]
6. Taqiyah.
Sikap
berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir bahaya mengancam,
dengan menyembunyikan identitas. Dalam keyakinan Syi’ah seseorang boleh
menyembunyikan keyakinan agamanya atau beberapa praktik tertentu dari agamanya.
Hal itu dapat dilakukan bila ia menghadapi keadaan yang diperkirakan mungkin
atau pasti akan menimbulkan bahaya bagi dirinya sendiri.[26]
Prinsip ini didasarkan pada Firman Allah Swt., sebagai berikut:
Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan Hanya
kepada Allah kembali (mu). (Qs. ali-Imran/ 3: 28)[27]
D. ALIRAN- ALIRAN
DALAM SYI’AH
Munculnya
beberapa aliran dalam Syi’ah mulai sejak Syahidnya-nya
Husein di padang Karbala. Perbedaan pokok dari aliran-aliran ini berkisar pada
masalah Imamah. Adapun aliran-aliran dalm Syi’ah adalah Ghulat, Zaidiyah, Isma’iliyah dan Itsna ‘Asyariyyah.[28]
1.
Ghulat
kata
Ghulat adalah jama’ dari ghali, isim fa’il dari
kata ghala, yaghulu, ghuluwan yang
artinya lebih dari batas atau berlebih-lebihan. Jadi ghulat adalah orang-orang yang melampaui batas atau
berlebih-lebihan. Dengan demikian, Syi’ah Ghulat adalah sekelompok orang yang
mendukung Ali dan keturunannya dalam imamah, disertai sikap yang
berlebih-lebihan sehingga melampaui batas agama, yang merubah masalah imamah
dan masalah politis menjadi masalah keyakinan.[29]
Kelompok
ini, sebenarnya oleh kaum Syi’ah sendiri terutama oleh Syi’ah Imamiyah
(baik Isma’iliyah dan Itsna ‘Asyariyyah) tidak diakui bahkan dianggap
kufur atau keluar dari Islam karena
faham-fahamnya yang ekstrim.[30]
Meskipun
Syi’ah Ghulat adalah pendukung Ali dan keturunannya , akan tetapi karena ia
memiliki sikap yang berlebih-lebihan sehingga melampaui batas agama, yang
merubah masalah imamah dan masalah politis menjadi masalah keyakinan serta
faham-fahamnya yang ekstrim menjadikannya tidak diakui oleh Syi’ah Imamiyah
(baik Isma’iliyah dan Itsna ‘Asyariyyah) bahkan dianggap kufur.
2. Zaidiyah
Zaidiyah
adalah aliran Syi’ah yang paling dekat kepada jama’ah Islam (Sunni) dan paling moderat
karena tidak mengangkat para imam ke derajat kenabian, bahkan tidak sampai
mendekati derajat itu. Namun, mereka memandang para imam sebagai manusia paling
utama setelah Nabi Muhammad Saw., merekapun tidak mengkafirkan para sahabat,
khususnya mereka yang dibai’at Ali, dan mengakui kepemimpinan mereka.[31]
3.
Isma’iliyah
(Sab’iyah)
Ismail
adalah putra peretama dari Imam ke enam Ja’far al-Shadiq, sedangkan putra yang
kedua bernama Musa al-Kazim. Sejarah mencatat bahwa Ismail lebih dahulu wafat
daripada ayahnya sebagai Imam ke-enam. Oleh sebab itu, kedudukannya sebagai
Imam ketujuh digantikan oleh adiknya Musa al-Kazim. paham ini ditolak oleh
sebagian pengikut aliran Syi’ah yang tetap mengakui Ismail sebagai imam
ke-tujuh. Aliran inilah yang disebut dengan Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah imam
ke-tujuh).[32]
4. Itsna
‘Asyariyyah
Aliran
Itsna ‘Asyariyyah adalah aliran yang masyhur dalam Syi’ah, yang terbesar di
berbagai negara Islam, dan menjadi mazhab resmi negara di Republik Islam Iran.[33]
Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah mengakui 12 imam. Aliran ini meyakini bahwa imam ke 12
akan kembali dan bertindak sebagai imam Mahdi yang akan langsung memimpin umat.[34]
Dari pembahasan di
atas, dapat dipahami bahwa Aliran Syi’ah, terbagi menjadi empat aliran, dimana
ke empat aliran tersebut mucul setelah Syahidnya-nya
Husein di padang Karbala.
DAFTAR
PUSTAKA
As-Salus,
Ali Ahmad. Aqidah al-Imamah: Inda
as-Syi’ah al-Isna Asyariyah., terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Imamah & Khilafah dalam Tinjauan Syar’I.
Cet. I; Jakarta: Gema Isani Press, 1997.
Baharun,
Mohammad. Epistemologi Antagonisme Sy’ah
dari Imamah sampai Mut’ah. Cet. III; Malang: Pustaka Bayan, 2004.
Fathoni,
Muslih. Paham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah
dalam Perspektif. Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Halm,
Heinz Shi’a Islam;From Religion to
Revolution. America: Markus wiener publishers Princeton, 1997.
Ja’fari,
Fadli Su’ud. Islam Syi’ah: Telaah
Pemikiran Imamah Habib Husein al-Habsyi. Cet. I; Malang: UIN-Maliki Press,
2010.
Maryam,
Sitti. Damai dalam Budaya: Integrasi
Tradisi Syi’ah dalam komunitas AhluSunah Waljama’ah di Indonesia. Cet.
Pertama; Jakarta: Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI, 2012.
Mulyana,
Edi Hendri. Merajut Ukhuwah Memahami
Syi’ah, Cet. I; Bandung, 2008.
Nurdin,
Muhammad Amin. Sejarah pemikiran Islam. Cet.
Pertama; Jakarta: Amzah, 2012.
RI,
Departemen Agama. Alqur’an dan terjemahnya. Bandung: sygma
examedia arkanleema, 2010.
Tijani,
Muhammad. Al-Syi’ah Hum Ahlu Sunnah,
ter. S Ahmad, Syi’ah Sebenar-Benarnya
Ahlu Sunah Nabi (SAW): Studi Kritis Imformatif Polemik antara Klaim dan Fakta. Cet.
Pertama; Jakarta: El Paraj Publishing, 2007.
Ulum,
Muhammad Babul. Merajut Ukhuwah Memahami
Syi’ah. Cet. I; Jakarta: Marja, 2008.
[1] Mohammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Sy’ah dari Imamah
sampai Mut’ah (Cet. III; Malang: Pustaka Bayan, 2004), h. 13.
[2] Sitti Maryam, Damai dalam Budaya: Integrasi Tradisi Syi’ah
dalam komunitas AhluSunah Waljama’ah di Indonesia, h. 55.
[3]
Sitti Maryam, Damai dalam Budaya: Integrasi Tradisi Syi’ah
dalam komunitas AhluSunah Waljama’ah di Indonesia, h. 55.
[4]
Muhammad Tijani, Al-Syi’ah Hum Ahlu Sunnah, ter. S Ahmad,
Syi’ah Sebenar-Benarnya Ahlu Sunah Nabi
(SAW): Studi Kritis Imformatif Polemik antara Klaim dan Fakta, h. 20.
[5] Muhammad Babul Ulum, Merajut Ukhuwah Memahami Syi’ah (Cet. I;
Jakarta: Marja, 2008), h. 67.
[7] Imam Muhammad Abu Zahra, Tarikh al- Madzahih al-islamiyyah, terj.
Abd Rahman Dahlan dan Ahmad Qorib, Aliran
Politik dan Aqidah dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Logos Publishing House,
1996), h. 36.
[8]
Sitti Maryam, Damai dalam Budaya: Integrasi Tradisi Syi’ah
dalam komunitas AhluSunah Waljama’ah di Indonesia, h. 56.
[9]
Sitti Maryam, Damai dalam Budaya: Integrasi Tradisi Syi’ah
dalam komunitas Ahlu Sunah Waljama’ah di Indonesia, h. 58-59.
[10]
Sitti Maryam, Damai dalam Budaya: Integrasi Tradisi Syi’ah
dalam komunitas AhluSunah Waljama’ah di Indonesia, h. 59-60.
[11] Heinz Halm, Shi’a Islam; From Religion to Revolution (America: Markus wiener
publishers Princeton, 1997), h. 3-4.
[12]
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari
Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 156-157.
[13]
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari
Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 161-166.
[14]
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari
Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 151.
[15] Ayatullah Sayyid Muhammad Reza
Mudarrisi Yazdi, Syi’ah dalam Sunah:
Mencari Titik Temu yang Terabaikan (Cet. Pertama; Jakarta: Citra, 2005), h.
43-48.
[16] Fadli Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah: Telaah Pemikiran Imamah Habib
Husein al-Habsyi (Cet. I; Malang: UIN-Maliki Press, 2010), h. 155.
[17]
Fadli Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah: Telaah Pemikiran Imamah Habib
Husein al-Habsyi, h. 163.
[18]
Ali Ahmad As-Salus, Aqidah al-Imamah: Inda as-Syi’ah al-Isna
Asyariyah., terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari, Imamah & Khilafah dalam Tinjauan Syar’I (Cet. I; Jakarta: Gema
Isani Press, 1997), h. 88.
[19]
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung:
Sygma Examedia Arkanleema, 2010), h. 19.
[20]
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari
Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 164.
[21]
Muslih Fathoni, Paham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam
Perspektif (Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 14.
[22]
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari
Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 165.
[23]
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari
Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 165.
[25]
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari
Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 165.
[26]
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari
Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 166.
[29] Muhammad Amin Nurdin, Sejarah pemikiran Islam (Cet. Pertama;
Jakarta: Amzah, 2012), h. 187.
[31]
Imam Muhammad Abu Zahra, Tarikh al- Madzahih al-islamiyyah, terj.
Abd Rahman Dahlan dan Ahmad Qorib, Aliran
Politik dan Aqidah dalam Islam. h. 45.
[32]
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari
Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 159-160.
[34]
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari
Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, h. 159.
[1] Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran kalam: Dari
Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, Edisi pertama (Cet. I; Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014), h. 153.
[2]
Muhammad Tijani, Al-Syi’ah Hum Ahlu Sunnah, ter. S Ahmad,
Syi’ah Sebenar-Benarnya Ahlu Sunah Nabi
(SAW): Studi Kritis Imformatif Polemik antara Klaim dan Fakta (Cet.
Pertama; Jakarta: El Paraj Publishing, 2007), h. 20.
[3] Sitti Maryam, Damai dalam Budaya: Integrasi Tradisi Syi’ah
dalam komunitas AhluSunah Waljama’ah di Indonesia (Cet. Pertama; Jakarta:
Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI, 2012), h. 60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar