Tasawuf merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan
diri kepada Allah, sebuah kesadaran akan adanya komunikasi dengan Allah.
Komunikasi yang harus dijalin di setiap saat, tanpa mempertimbangkan apapun.
Sehingga pangkat atau maqom tertinggi yang patut diperoleh untuknya. Tetapi
pada perkembangannya, sebagian mutashawifin memberikan istilah yang
berbeda-beda dalam menamakan puncak maqamat
atau tempat-tempat sebagai perhentian yang harus dilewati oleh para sufi atau pejalan spiritual sebelum
bisa mencapai akhir perjalanan tersebut, baik itu yang disebut ma’rifah, ,maupun mahabbah (kecintaan) kepada Allah SWT. Seperti Robi’ah al
Adawiyyah dengan teorinya ”al Mahabbah”. Yang berpandangan bahwa
beribadah hanyala murni karena cinta kepada sang Khaliq, bukan karena takut
akan siksaan neraka dan bukan karena merahi janji kenikmatan surga.
Disisi lain, Hujjah al-Islam Imam al-Ghazali
memberikan istilah al Ma’rifah bagi manusia
yang sudah berada pada derajat yang tertinggi. Beliau berpendapat
bahwa tidaklah cukup seseorang mengenal Allah dengan akal saja, tetapi harus
dengan perantara intuitif (berdasar bisikan/gerak hati).
A.
Pengertian Mahabbah dan Ma’rifah
1. Mahabbah
Mahabbah artinya cinta. Hal ini mengandung maksud cinta kepada Tuhan lebih luas lagi, bahwa “Mahabbah” memuat pengertian yaitu:
a. Memeluk dan mematuhi
perintah tuhan dan membenci sikap yang melawan pada tuhan.
b. Berserah diri pada
Tuhan.
c.
Mengkosongkan perasaan di hati dari segala-galanya
kecuali dari zat yang dikasihi.[1]
Mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang
sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material
maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang
dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa
terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja pada pekerjaannya. Mahabbah
pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sunguh-sungguh dari
seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran
yang mutlak,yaitu cinta kepada Tuhan.[2]
Tentang “Mahabbah”
dapat kita jumpai dalam al-Quran antara lain dalam Surah Al-imran ayat 31:
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósã ª!$# öÏÿøótur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRè 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÊÈ
Terjemahnya: Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Imran Ayat
31).
Terlepas dari banyaknya penjelasan
mengenai defenisi dan “seluk-beluk” cinta atau mahabbah tersebut, namun yang
pasti, mahabbah pada dasarnya merupakan sebuah sikap operasional. Dengan kata
lain, konsep mahabbah (cinta kepada Allah) adalah salah satu ajaran pokok yang
memungkinkan Islam membawa rahmat bagi seluruh isi alam. Cinta pada hakikatnya
bukanlah sebutan untuk emosi semata-mata yang hanya dipupuk di dalam batin
saja, akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada kegiatan
nyata sekaligus menjadi sumber keutamaan moral.
Hanya saja dalam perjalanan sejarah umat
Islam, “cinta” atau “mahabbah” telah
menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi. Mereka menggeser
penekanan cinta kearah idealism emosional yang dibatinkan secara murni.
Sehingga di kalangan sufi, mahabbah
adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam
penempatannya maupun dalam pengertiannya. Kalau makrifat merupakan tingkat
pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang mahabbah adalah merupakan
perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa terisi oleh rasa
kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari pengetahuan
dan pengenalan kepada Tuhan, sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang
dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi”diri yang dicintai”. Oleh karena itu
menurut al-Gazali, mahabbah itu adalah manifestasi dari makrifat kepada
Tuhan.[3]
Demikian cintanya orang-orang sufi kepada
Tuhan, mereka rela mengorbankan dirinya demi memenuhi keinginan Tuhannya.
Olehnya itu, cinta atau mahabbah pada
hakikatnya adalah lupa terhadap kepentingan diri sendiri, karena mendahulukan
kepentingan yang dicintainya yaitu Tuhan. Mahabbah
adalah suatu ajaran tentang cinta atau kecintaan kepada Allah. Tetapi bagaimana
bentuk pelaksanaan kecintaan kepada Allah itu tidak bisa dirumuskan secara
pasti karena hal itu menyangkut perasaan dan penghayatan subyektif tiap sufi.
Selain itu, uraian
di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah
adalah merupakan sebua keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih,
perasaan takut, dan sebagainya. Hal bertalian dengan maqam karena hal bukan
diperoleh atas usaha manusia, melainkan karena anugrah dan rahmat dari Tuhan.
2. Ma’rifah
Istilah Ma’rifah
berasal dari kata al-Ma’arif, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu.
Apabila di hubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka istilah Ma’arif disini
berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam Tasawuf.[4]
Ma’rifah berasal dari kata ‘Arafa,Ya’rifu,Irfan, ma’rifah yang artinya
pengetahuan atau pengalaman.[5]
Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat
zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinya dengan mengetahui rahasianya. Hal
ini di dasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat
ketuhanan, dan hakekat itu satu, dan segala yang maujud (yata) berasal dari
yang satu.[6]
Harun Nasution menyebutkan bahwa Rabi'ah, dengan pembagian
dua cintanya, telah menggambarkan peralihan dari mahabbah ke ma'rifah. Rasa
cinta yang tulus kepada Tuhan dibalas Tuhan, yaitu terbukanya tabir antara
manusia dengan Tuhan, dan sufi pun melihat Tuhan dengan mata hati.[7]
Tentang mari'fah,
Rabi'ah sendiri pernah berkata: "Buah ilmu rohani adalah agar engkau
palingkan mukamu dari makhluk agar engkau dapat memusatkan perhatianmu hanya
kepada Allah saja, karena ma'rifah itu adalah mengenal Allah
sebaik-baiknya."[8]
Uraian di atas telah
menginformasikan bahwa ma’rifah adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari
Tuhan yang di berikan kepada hambaNya melalui pancaran cahaya-Nya yang di
masukkan Tuhan kedalam hati seorang sufi. Dengan demikian Ma’rifah berhubungan
dengan nur (cahaya Tuhan). Di dalam Al Qur’an, di jumpai tidak kurang dari 43
kali kata nur di ulang dan sebagian besar di hubungkan dengan Tuhan Yang tiada
di beri cahaya misalnya dalam Surah al-Zumar ayat 22:
Terjemahnya: Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk
(menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang
yang membatu hatinya)? Maka Kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang Telah
membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan yang nyata.
(QS. Al-Zumar:22)
B.
Mahabbah dan
Ma’rifah: Rabi’ah al-Adawiyah, Ma’ruf al-Kharkhi dan Dzul-Nun al-Misri
1. Rabi’ah al-Adawiyah
Hampir seluruh literatur bidang Tasawuf menyebutkan
bahwa tokoh yang memperkenalkan ajaran mahabbah (cinta) adalah Rabi’ah
al-Adawiyah. Hal ini didasarkan pada ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia
menganut paham tersebut.
Rabiah al-Adawiyah (714-801 M) adalah seorang zahidah
perempuan yang amat besar dari Basrah dan Irak.[9]
Sumber lain menyebutkan bahwa ia meninggal dunia dalam th 185H/796. M.[10]
Kelahirannya diliputi bermacam cerita aneh-aneh pada
malam ketika ia lahir, di rumah tidak ada apa-apa, bahkan minyak untuk
menyalakan lampu pun tidak ada, juga tidak di temui sepotong gombal pun untuk
membungkus bayi yang baru di lahirkan itu. Rabiah kehilangan kedua orang tuanya
waktu iamasih kecil. Ketiga kakaknya perempuan juga meninggal ketika wabah kelaparan
melanda Basra. Ia sendiri jatuh ketangan orang yang kejam, dan orang ini
menjualnya sebagai budak. Rabiah menghabiskan waktunya dengan melaksanakan
segala perintah majikannya, sedangkan malam harinya ia selalu berdoa. Pada
suatu malam ,majikanya melihat tanda kebesaran rohani Rabiah, ketika Rabiah
berdoa kepada Allah:” Ya Rabbi, Engkau telah membuatku menjadi Budak belian
seorang manusia sehingga aku mengabdi kepadanya, seandainya aku bebas pasti
akan persembahkan seluruh waktu dalam hidupku ini untuk berdoa kepadaMu”.
Tiba tiba tampak cahaya di dekat kepalanya,dan melihat itu majikannya sangat
ketakutan,Esok harinya Rabiah di bebaskan.[11]
Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadah, bertaubat
dan menjaui hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala
bantuan material yang di berikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang di
panjatkan ia tak mau meminta hal hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul
betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.
Riwayat lain mnyebutkan bahwa ia selalu menolak
lamaran lamaran pria shalih,dengan mengatakan;”Akad nikah adalah bagi milik
kemaujudan luar biasa(Allah). Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena
aku telah berhenti maujud dan telah lepa naungan firmanNya. Akad nikah
mesti di minta dariNya (Allah), bukan dariku.[12]
Cinta Rabiah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu
pada Tuhan, terlihat dari ungkapan doa-doa yang di sampaikannya. Ia misalnya
berdoa”Ya Tuhanku,bila aku menyembahMu
lantaran takut pada neraka,maka bakarlah diriku dalam neraka,dan bila aku
menyambahMu karena mengharap Surga, maka jauhkanlah aku dari surga, namun jika
aku menyembahMu hanya demi engkau, maka janganlah engkau tutup keindahan
AbadiMu”.
Selain itu diantara doa-doa yang tercatat berasal dari
Rabiah ada yang dipanjatkannya pada waktu larut malam, di atas atap rumahnya.
“Tuhanku, binatang-binatang bersinar gemerlapan,manusia sudah tidur nyenyak,
dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik
msuk masuk dengan kesayangannya, dan disinilah aku sendirian bersama Engkau”.[13]
Menurut Rabiah, ada tiga aspek yang
terkandung dalam mahabbah (cinta), yaitu; kepuasan hati (ridha), kerinnduan(syauq),
dan keintiman (uns):
1) Ridha yakni adanya ketaatan tanpa disertai
adanya penyangkalan, dari seorang pencinta, untuk bertemu kekasih. Ridha ini
mempunyai dua sisi; subyektif dan obyektif; terdapat kepuasan antara manusia
dengan Tuhannya dan keridhaan Allah kepada manusia. Ada empat golongan manusia
yang ridha kepada Allah :
a.
Mereka yang ridha dengan pemberian-pemberian
Allah, yaitu ma’rifat.
b.
Mereka yang ridha pada kebahagiaan, yaitu
dunia ini.
c.
Mereka yang ridha terhadap penderitaan,
yaitu bermacam-macam ujian.
d.
Mereka yang merasa ridha menjadi pilihan
Tuhan, yaitu cinta.
2)
Syauq,
adalah kerinduan pecinta untuk bertemu dengan kekasih. Al-Sarraj berpendapat
bahwa kerinduan (syauq) sebagai api Yang Maha Tinggi yang Dia nyalakan di
setiap hati para sufi sehingga mampu membakar semua nafsu, keinginan, rintangan
dan kebutuhan duniawi yang ada di hati mereka. Tingkatan tertinggi dari syaq
ini dapat dicapai oleh seorang yang mampu melihat Tuhannya berada dekat sekali
dengannya, dan melihat Tuhannya itu selalu ada dan tidak pernah
meninggalkannya.
3)
Uns
adalah hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual. Dalam kondisi
ini sang penyembah merasa terpesona, sedangkan sang kekasih merasakan keintiman
juga. Ini merupakan kebahagiaan sang kekasih. Tingkatan tertinggi dalam Uns,
sebagaimana dalam Syauq akan menjadi uns yang tidak disadarinya, dalam
pengertian penghormatan ( di dalam kehadiran Allah), kedekatannya kepada Allah,
dan kebesaran-Nya semua unsur ini menyatu menjadikan suatu keintiman yang Agung.[14]
2. Ma’ruf al-Kharkhi
Nama lengkapnya adalah Abu Mahfuz Ma’aruf bin Firuz al-Karkhi. Ia berasal dari
Persia, namun hidupnya lebih lama di bagdad. Ia meninggal di kota ini juga pada
tahun 200 H/815 M. Ia dikenal sebagai sufi yang selalu di liputi rasa rindu
kepada Allah SWT sehinnga ia di golongkan ke dalam kelompok auliya. Dia di
pandang sangat berjasa dalam meletakkan dasar-dasar tasawuf. Dan dia adalah
pertama yang mengembangkan tasawuf dari pada cinta yang di bawa oleh Rabi’ah
al-Adawiyah. Ia mengatakan bahwa timbulnya rasa cinta kepada Allah itu bukan
karena diusahakan melalui belajar, tetapi datangnya semata-mata karena karunia
Allah.[15]
Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang
sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya, orang tua Ma’ruf adalah seorang penganut
Nasrani. Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang ketiga dan yang
bertiga,” tapi, Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa. Mendengar
jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya.
Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.[16]
Menurut para peneliti Barat yang di antaranya
Nicholson yang mencoba menghubungkan antara timbulnya ide memperoleh hakikat
(ma’rifat) dengan latar belakang keagamaan Ma’ruf al-Karkhi di masa kecilnya.
Menurut Nicholson ide itu berasal dari ajaran agama yang dipeluknya yang dahulu
ialah Kristen atau Sabiah. Pendapat yang seperti ini hanya merupakan dugaan
alasannya pada masa kecil Ma’ruf al-Karkhi belum tentu mengenal ajaran tentang
hakikat bahkan dugaan besar ia belum mengenalnya karena usianya yang masih
muda. Muncul ide mencai hakikat itu, mungkin saja hasil dari tafakur atau
renungannya dalam tasawuf.[17]
Menurut sufi bahwa Ma’ruf al-Karkhi seperti halnya
para zahid dan shufi lainnya. Ma’ruf al-Karkhi terkenal di kalangan shufi
memiliki banyak keramat yang di antaranya ketika terjadi kemarau panjang ia
berdoa dalam shalat istisqa meminta hujan, sebelum doanya selesai hujan turun.
Masih menurut Ma’ruf, seorang Sufi adalah
tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh
seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang
didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara ajaran sufi berusaha
mengetahui yang benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak
menerima pemberian Tuhan, seperti Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab
hal itu datang dari Tuhan yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan
seseorang kepada Allah SWT.
3. Dzun-nun al-Misri
Nama lengkap Dzun-nul al-Misri adalah Abu al-Faid
Saubun bin Ibrahim Dzun-nul al-Misri. Dia lahir di Ekhimim yang terletak di
kawasan mesir hulu pada tahun 155 H/770 M. Banyak guru-guru yang telah di
datanginya dan banyak pengembaraan yang telah dilakukannya baik di negeri arab
maupun Syira. Pada tahun 214 H/829 M. Menurut biografi-biografi pada sufi, dia
adalah salah seorang yang pada masanya terkenal keluasan ilmunya, kerendahan
hatinya dan budi pekertinya yang baik. Dalam tasawuf posisinya dipandang
penting karena dia itulah yang pertama di mesir yang memperbincangkan masalah
ahwal dan maqamat para wali. Dalam tasawuf Dzun-nul al-Misri dipandang sebagai
bapak paham ma’rifah.[18]
Dalam dunia tasawuf, Dzun-nul al-Misri dianggap sebagai
bapak teori ma’rifah. Menurutnya ma’rifah tentang Tuhan terkatagori ke dalam 3
golongan:
Pertama, pengetahuan orang awam.
Kedua, pengetahuan para Filosof dan Ulama
Ketiga, pengetahuan Sufi.
Menurut Harun Nasution, yang dimaksud
dengan ma’rifah versi awam adalah meyakini Tuhan Yang Maha Esa melalui dua
kalimat Syahadat. Filosof dan Ulama melalui logika (yang lebih tinggi derajatnya),
sedangkan Sufi melalui hati sanubari.[19]
Pengetahuan yang paling hakiki dari
ketiga katagori di atas, adalah pengetahuan sufi yang disebut dengan Ma’rifah
ini hanya dimiliki oleh Sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan mata bathinnya.
Dalam hal ini ialah yang tertinggi dan meyakinkan, karena diperoleh bukan
melalui belajar, usaha, dan pembuktian, tetapi ia adalah ilham yang dilimpahkan
Allah ke dalam hati yang paling rahasia pada hambanya sehingga ia mengenal
Tuhannya dengan Tuhannya. Setelah seseorang memasuki dunia ma’rifah ia akan
berpandangan : “memandang sesuatu melalui Allah, mengembalikan segalanya
pada-Nya dan memintanya kembali pada-Nya”.[20]
Hal ini dipertegas oleh pernyataan
Dzunnun :“aku mengenal Tuhanku melalui tuhanku, dan sekiranya bukan Tuhanku,
aku tidak akan mengenal Tuhanku”.[21]
Apabila diuraikan kata itu berarti bahwa
pengenalannya akan Tuhan adalah karena dan melalui Tuhan. Selanjutnya menurut
Harun Nasution ada tiga alat dalam tubuh manusia yang dipergunakan Sufi dalam
berkomunikasi dengan Tuhan. Ketiga alat tersebut adalah Qalb (untuk mengetahui
sifat-sifat Tuhan), ruh (untuk mencintai Tuhan) dan Sir (untuk melihat Tuhan).
Qalb merupakan wadah ruh, sedangkan sir sendiri bertempat pada ruh yang dapat
menerima Nurul Anwar jika qalb dan ruh sudah suci. diwaktu itulah sufi melihat
Allah SWT. Di sinilah seseorang mencapai tingkat ma’rifat. Sesuatu yang perlu
diingat bahwa ma’rifah adalah proses perjalanan Sufi yang bersifat kontinuitas.
Dalam arti, semakin banyak ia memperoleh ma’rifah, semakin banyak pula
pengetahuannya terhadap rahasia-rahasia Allah, tetapi tentu tidak semua
rahasia-Nya.
Menurut Harun Nasution, konsep ma’rifah
Dzunnun tidak merefleksikan ahwal bagi seorang sufi. Itu jelas terlihat dari
ungkapan beliau, Dzunnun al Misri kelihatannya baru sampai pada ma’rifah”.
Sedangkan Dr. Muhammad Abu Rayan secara kritis menilai bahwa memang Dzunnun
tidak mengungkapkan secara terang-terangan tentang refleksi ma’rifahnya, tetapi
dalam akhir sejarah perkembangan pemikirannya, Ia berpendapat bahwa refleksi
dari ma’rifah adalah al-Fana (penyatuan wujud rohani manusia dengan Tuhan).Hal
ini dikuatkan oleh pernyataan Dzunnun sendiri : “Seorang Mukmin apabila beriman
kepada Allah, lalu tertanam imannya, ia akan takut kepadaNya. Dan jika Ia takut
kepada Allah, akan lahir dari ketakutan tersebut kharisma Allah. Dan jika
kharisma Allah menetap dalam tubuh manusia, ia akan senantiasa taat kepada-Nya.
Jika seseorang taat kepada-Nya, maka akan lahir raja’, jika raja’ telah
tertanam, akan lahir al-Mahabbah. Jika Mahabbah telah melekat pada hati
seseorang, maka akan diikuti oleh Syauq (kerinduan). Dan jika seseorang selalu
merindukan Tuhan, maka kerinduan tersebut akan melahirkan al-Uns. Setelah itu
ia akan tenang bersama Allah SWT. Ketika demikian hari-harinya akan terlewati
dengan kenikmatan lahir maupun bathin”[22].
Deskripsi ini yang menginginkan agar
pancaran nur Ilahi sampai harus melalui tahapan-tahapan berupa :
1. Iman (kesadaran diri
bahwa ia selalu berada dalam pengawasan Allah SWT).
2. Khauf (sikap mental
merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya)
3. Taat (melaksanakan
yang diperintahkan oleh Allah dengan sebenar-benarnya)
4. Raja’ (sikap mental
optimisme dalam memperoleh karunia Allah).
5. Mahabbah (perasaan
kedekatan dengan Allah melalui cinta)
6. Syauq (rasa rindu
yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni)
7. Uns (keadaan jiwa
terpusat pada Allah).
DAFTAR PUSTAKA
Abudin, Nata. Akhlak
Tasawuf,(Jakarta: Rajawali pers.2012)
Abuddin, Nata. Akhlak
Tasawuf,(Jakarta:Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4,2002).
A.J.Arberry, Pasang
surut aliran Tasawuf (Bandung:Mizan,Cet 1,1985)
As, Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf.(Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada,2002).
Hamka.Tasawuf perkembangan dan Pemurniaannya (Jakarta:Pustaka
Panji mas,1984)
IAIN Sumatera Utara,Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatera Utara,1983)
Jamil Saliba, Mu’jam al-Falsafi, jilid 2,(Beirut:Dar al-Kitab 1979)
Kamus Yunus, Kamus
Arab Indonesia,(Jakarta:Hidakarya Agung, 1990)
Mahmud, Abdul Halim.Dzunnun Al-Misri.(Mesir:Al Ma’arif,1996)
Muhammad Fu’ad, Abd Al-Baqo, al Mujam
al Mufahras li afadz al Qur’an al- karim,(Beirut,DaralFikr,1987)
Mustofa. Akhlak Tasawuf,(Bandung:Pustaka
setia,2014)
Nasution, Harun, Falsafah
dan Mistisisme dalam Islam,(Jakarta,Bulan bintang 1983)
Nasution, Harun.Falsafah dan Mistisisme. (Jakarta:Bulan Bintang,1973)
Smith, Margaret.Rabiah Pergaulan spiritual Perempuan,
terjemahan oleh Dra. Jamilah Baraja dari rabia the mystic and her fellow;
Saints in Islam (1928). (Surabaya: Risalah Gusti. 1997)
Winarno
Surakhmad , Metodologi
Penelitian, (Jakarta: Rajawali, 2005).
[3]
H.A Mustofa Akhlak Tasawuf (Bandung, Pustaka
Setia,2014) hlm.251
[14] Margaret Smith, Rabiah Pergaulan spiritual Perempuan, terjemahan oleh Dra. Jamilah
Baraja dari rabia the mystic and her fellow; Saints in Islam (1928).
Surabaya: Risalah Gusti1997. hlm. 101-104
[16]
Abudin Nata,Akhlak Tasawuf,(Jakarta Rajawali
pers,2012)hal.223
[18]
Asmaran As.2002. Pengantar Studi Tasawuf.
Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,2002, hlm 279-287-288
Tidak ada komentar:
Posting Komentar