Dalam
sejarah pemikiran Islam, terdapat lebih dari satu aliran teologi yang
berkembang. Aliran-aliran tersebut ada yang bersifat liberal, tradisional, dan
antara aliran liberal dan tradisional. Kondisi demikian membawa hikmah bagi
umat Islam. Oleh karena itu, bagi mereka yang berpikiran liberal dapat
menyesuaikan dirinya dengan aliran yang liberal tersebut, sementara bagi mereka
yang berpiiran tradisional atau antara liberal dan tradisional, mereka akan menyesuaikan
dirinya dengan aliran-aliran yang cocok dengan pemikirannya.
Salah
satu pokok persoalan yang menjadi bahan perbincangan para teolog adalah tentang
ketergantungan manusia terhadap Tuhan dalam hal menentukan perjalanan hidupnya.
Adakah manusia dalam segala aktifitasnya terikat pada kehendak mutlak Tuhan,
atau Tuhan telh berkenan memberi kemerdekaan kepada manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya serta mengatur perjalanan hidupnya ?[1]
Objek
pemikiran kalam itu adalah Tuhan serta hubungan-Nya dengan alam semesta dan
isinya, terutama manusia. Malah lebih spesipik lagi, pemkiran kalam itu
memusatkan perhatian pada upaya mendefinisikan posisi manusia dalam kaitannya
dengan Tuhan sebagai pencipta. Oleh sebab itu, pemikiran kalam akan membicarakan
manusia, dalam kaitan dengan kebebasan dan keterkaitannya, sumber
pengetahuannya serta persepsinya tentang imam, dan membicarakan Tuhan, dalam
kaitannya dengan kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya, keadilan-Nya serta
perbuatan dan sifat-sifatnya.[2]
Persoalan-persoalan
yang terjadi dalam lapangan politik yang akhirnya membawa kepada timbulnya
persoalan-pesoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang
bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih
tetap dalam Islam.
Persoalan
orang berbuat dosa inilah kemudian yang mempunyai pengaruh besar dalam
pertumbuhan teologi selanjutnya dalam Islam. Persoalannya ialah: Masihkah ia
bisa dipandang orang mukmin ataukah ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa
besar itu?[3] Persoalan
ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Yaitu: Khawarij, Murji’ah, dan
Mu’tazilah.
A. Perbandingan
Aliran-aliran
Perbedaan
pendapat di kalangan umat Islam pada mulanya di sebabkan persoalan politik yang
pada akhirnya menjadi persoalan teologis. Pada masa Al-Khulafaar-Rasyidin,
misalnya, banyak muncul masalah akidah yang sebenarnya bermula dari persolan
politik. Persoalan khalifah, pengganti Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin umat
Islam, yang menyebabkan terpilah-pilahnya umat Islam dalam berbagai aliran
teologi.
Dengan
demikian, faktor politik dapat memunculkan madzab-madzab pemikiran di
lingkungan umat Islam, khususnya pada awal-awal perkembangannnya. Maka,
persoalan Imamah (khalifah) menjadi persoalan tersendiri dan khas yang
menyebabkan perbedaan pendapat, bahkan perpecahan di lingkungan umat Islam
persoalan ini muncul mungkin karena umat Islam menyadari bahwa khalifah adalah
amanah Ilahi, yang memiliki tujuan untuk mengembangkan dan menegakkan kultur,
menegakkan perdamaian serta menjamin manusia menjadi masyarakat yang tertib,
dan lebih jauh lagi memelihara dan menegakkan Islam di muka bumi ini.
Prof. Dr. Ahmad
Salaby menegaskan bahwa munculnya persoalan-persoalan di tengah-tengah umat
Islam merupakan kelemahan umat Islam itu sendiri. Perbedaan di antara mereka
menyebabkan terjadinya perpecahan. Sekalipun ada ungkapan hadis: “Perbedaan
pendapat di kalangan umatku itu menjadi rahmat.” Pada praktiknya sulit
diwujudkan. Hal ini, bukan berarti agama menjadi sumber konflik, tetapi
pemeluknya itu sendiri yang menjadi sumber, yakni pertentangan masalah khilafah
dan munculnya sekte-sekte dalam agama.[1]
Sumber
pemikiran ilmu kalam adalah al-Qur’an dan al-Hadis. Sumber ini dipahami dan
diinterprestasikan oleh umat Islam berdasarkan perkembangan sejarahnya. Dari upaya
memahami sumber tersebut, muncullah aliran teologi dalam islam dengan
masing-masing memiliki karakteristik dan pola pemikiran yang berbeda.[2]
Adapun perbandingan aliran-aliran teologi dalam Islam adealah sebagai berikut:
1.
Imam dan Kufur
Dalam
hal ini, para ahli teologi memiliki perbedaan sikap dalam menentukan
unsur-unsur tersebut sebagai unsur integral dari iman. Golongan al-Khawarij
berpendapat bahwa iman bukan sekedar pengakuan hati (tasdiq bi al-qalb)
terhadap keesaan Allah, tetapi amal pun merupakan unsur dari iman. Mereka
memandang amal sebagai unsur integral dari iman sehingga menurut mereka
seseorang yang bersalah karena dosa besar, ia bukan saja sebagai orang yang
berdosa besar tetapi juga seorang kafir, sekalipun ia tetap meyakini keesaan
Allah. Al-Muhakkimah, salah satu golongan al-Khawarij asli yang pertama
memunculkan paham kafir pada setiap orang yang berbuat dosa besar dan akan
kekal di neraka.
Kaum
Murji’ah berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun
soal dosa besar yang mereka lakukan di tunda penyelesaiannya pada hari kiamat.
Golongan Murji’ah ekstrem menyatakan bahwa iman hanya pengakuan atau pembenaran
dalam hati (tasdiq bi -qalb). Artinya mengakui dengan hati bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya. Berangkat dari konsep ini,
Murji’ah berpendapat bahwa seseorang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa
besar, bahkan menyatakan kekufurannya secara lisan. Demikian juga tidak kafir
bagi orang Islam yang menyembah berhala dan ikut merayakan natal dengan
mengikuti ibadah-ibadah kristen di dalam gereja. Menurut mereka yang penting
adalah tasdiq dalam hati, sedangkan amal tidak di pandang penting oleh
mereka. Pelaku dosa besar menurut mereka tidak kafir dan tidak kekal di neraka,
tapi di hukum dalam neaka sesuai dengan dosa yang meeka lakukan. Kalau Tuhan
mengampuni, ia bebas dari neraka, kalau tidak mendapat ampunan, ia masuk neraka
tetapi akhirnya di keluarkan dan masuk masuk surga.
Persoalan
iman dan kafir merupakan persoalan yang mendorong lahirnya golongan Mu’tazilah.
Menurut golongan ini iman bukan hanya tasdiq dalam arti menerima sebagai
sesuatu yang benar apa yang disampaikan orang lain, tetapi iman adalah
pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tasdiq)
tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan
kewajiban-kewajiban itu tidak dapat di katakan mukmin. Tegasnya, iman adalah
amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang di katakan orang lain, iman
harus aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.[3]
Seseorang
yang tidak mengerjakan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan atau mengerjakan
hal-hal yang jelas dilarang Tuhan tidak lagi dapat dikatakan mukmin dan tidak
juga kafir, tetapi berada pada posisi pertengahan (al-Manzilah baina
al-Manzilatain). Tidak dapat dikatakan karena ia telah melakukan dosa besar
yang dilarang Tuhan yang menjadikan imanya tidak sempurna, tidak juga dikatakan
kafir karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad.
Istilah
kafir menurut Mu’tazilah ditujukan pada orang yang berhak menerima siksa berat
di neraka. Semestinya ia tidak perlu masuk neraka, tetapi karena ia bukan
mukmin ia tidak dapat dimasukkan ke dalam surga. Jadi satu-satunya tempat buat
dia adalah neraka, atas dasar keadilan ia dimasukkan ke dalam neraka dengan
siksa yang lebih ringan.[4]
Kaum
Asy’ariyah yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah memaksakan
paham khalq al-Qur’an banyak membicarakan persoalan iman dan kufur.
Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa ma’rifah dan amal.
Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melaui wahyu, ia berkewajiban
mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh
karena itu, iman bagi mereka adalah tasdiq.
Tasdiq
menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah
terhadap Allah (qaulun bi al-Nafs ya tadhamman ma’rifatullah). Oleh
karena itu, iman menurut golongan ini hanyalah tasdiq sebab tasdiq merupakan
hakikat dan ma’rifah. Siapa yang mengetahui sesuatu itu benar, ia akan
membenarkan dengan hatinya.
Mengenai
penuturan dengan lidah (iqrar bi al-Lisan) merupakan syarat iman, tetapi
tidak termasuk hakikat iman yaitu tasdiq. Argumentasi mereka adalah Q.S
al-Nahl : 106
مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ
مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya
tetap tenang dlam beriman (dia tidak berdosa).” (Q.S. al-Nahl : 106)
Seseorang
yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan terpaksa, sedangkan
hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia tetap dipandang mukmin,
karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang beradadi luar juzu’ iman.
Seseorang yang berdosa besar tetap mukmin karena iman tetap berada dalam
hatinya.[5]
Maturidiyah
Bukhara memandang akal tidak sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan karena
iman tidak bisa mengambil bentuk ma’rifah atau amal, tetapi haruslah
merupakan tasdiq. Batasan yang di berikan al-Bazdawi tentang iman adalah
menerima dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa
tidakn ada yang serupa dengan Dia. Pengakuan secara lisan merupakan salah satu
rukun iman. Mereka mengemukakan argumentasi melalui pendekatan bahasa, iman
berarti tasdiq yang harus melalui hati dan lisan. Jadi, kedua unsur ini
menjadi rukun dari iman.
Kafir
bagi kaum Maturidiyah Bukhara ialah orang yang tidak membenarkan Tuhan dan
rasul-Nya, baik oleh hati maupun lidahnya. Oleh karena itu, orang mukmin yang
berdosa besar masih tetap mukmin. Soal dosa besar yang dilakukannya di tentukan
Tuhan di akhirat. Jika Tuhan memberi ampunan ia akan masuk surga, tetapi tidak
ia dimasukkan ke neraka dan di siksa sesuai dengan dosa besar yang
diperbuatnya.[6]
2.
Akal dan Wahyu
Bagi
kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan
kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan
demikian, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunya wahyu wajib. Baik dan
jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula menegerjakan yang baik dan
menjauhi yang jahat adalah wajib.
Dalam
pendapat Asy’ariyah segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui
wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui
bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia.
Betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang
mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat
diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak
patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman.[7]
Maturidiyah,
bertentangan dengan Asy’ariyah tetapi sepaham dengan Mu’tazilah, juga
berpendapat bahwa akal dapat mengetahui keawajiban manusia berterima kasih
kepada Tuhan. Dalam pendapat Mu’tazilah orang yang berakal, muda-tua, tak dapat
diberi maaf dalam soal mencari kebenaran. Dengan demikian, anak yang telah
berakal mempunyai kewajiban percaya pada Tuhan. Jika ia sekiranya mati tanpa percaya
pada Tuhan, ia mesti diberi hukum. Dalam Maturidiyah anak yang yang belum
balig, tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Tetapi Abu Mansur al-Maturidi
berpendapat bahwa anak yang telah berakal berkewajiban mengetahui Tuhan. Dalam
hal ini tak terdapat perbedaan antara Maturidiyah dan Mu’tazilah.[8]
3.
Zat dan Sifat Tuhan
Aliran
Mu’tazilah yang memberikan kepada akal daya yang besar berpendapat bahwa Tuhan
tidak dapat dikatakan mempunyai sifat-sifat jasmani. Bila Tuhan dikatakan
mempunyai sifat jasmani, demikian Qadi Abd al-Jabbar, tentulah Tuhan itu
mempunyai ukuran panjang, lebar, dan dalam, atau Tuhan diciptakan sebagai
kemestian dari sesuatu yang bersifat jasmani.[9]
Asy’ariyah
sebagai aliran kalam, tradisonal yang memberikan kepada akal daya yang kecil,
juga menolak paham Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani bila sifat jasmani
dipandang sama dengan sifat jasmani manusia. Namun ayat-ayat al-Qur’an,
kendatipun menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani, tidak boleh
ditakwilkan dan harus di terima sebagai
mana makna harfiah. Oleh sebab itu Tuhan dalam pandangan Asy’ariyah mempunyai
mata, wajah, tangan serta bersemayang di singgasana. Namun semua itu di katakan
ia yukayyaf wa la yuhad (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasannya).
Aliran
Maturidiyah Bukhara berbeda dengan Asy’ariyah, sebagaimana aliran lain,
Maturidiyah Bukhara juga berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat
jasmani. Ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat jasmani
haruslah diberi takwil. Oleh sebab itu, menurut al-Bazdawi, kata istaway haruslah dipahami dengan arti al-istila’ala
al-Syai’i wa al-Qahr ‘alaihi (menguasai sesuatu dan memaksanya). Demikian
juga ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai dua mata dan dua tangan,
bukanlah berarti Tuhan mempunyai anggota badan.[10]
Kaum
Syi’ah juga menyakini bahwa Allah swt itu esa, tempat bergantung semua makhluk,
tidak beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk yang
ada di bumi ini. Namun, menurut mereka Allah memiliki 2 sifat yaitu tsubutiyah
yang merupakan sifat yang harus dan tetap ada pada Allah swt. Sifat ini
mencakup ‘alim (maha mengetahui), qadir (maha berkuasa), hayy (maha
hidup), murid (maha berkehendak), mudrik (maha cerdik), qadim
azali baqi (maha kekal, azaly, maha tetap), mutakallim (maha
berfirman), dan shaddiq (maha benar). Adapun sifat kedua yang dimiliki
oleh Allah swt yaitu salbiyah yang merupakan sifat yang tidak mungkin
ada pada Allah swt. Sifat ini meliputi antara tersusun dari beberapa bagian,
berjisim, bisa dilihat, bertempat, bersekutu, berhajat kepada sesuatu dan
merupakan tambahan dari dzat yang telah dimiliki-Nya.[11]
4.
Perbuatan Tuhan
Dalam
uraian tentang kekuasaan mutlak dan keadilan Tuhan, kaum Mu’tazilah berpendapat
bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban
itu dapat di simpulkan dalam satu kewajiban, yaitu kewajiban berbuat baik dan
terbaik bagi manusia.
Bagi
kaum Asy’ariyah, paham Tuhan mempunyai kewajiban tidak dapat diterima, karena
hal itu bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang
mereka anut. Paham mereka bahwa Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya
terhadap makhluk mengandung arti bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa
sebagai kata al-Ghazali perbuatn-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (ja’iz)
dan tidak satupun dari padanya yang mempunyai sifat wajib. Tuhan demikian
al-Asy’ari, sekali-kali tidak mempunyai kewajiban terhadap hamba-Nya.
Kaum
Maturidiyah Samarkand, sebagai telah diliat di atas, memberi batasan-batasan
kepada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dan dengan demikian dapat menerima
paham adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban
menempati janji tentang pemberian upah dan pemberian hukuman.[12]
Kaum
Syi’ah memiliki keyakinan bahwa Allah memiliki sifat maha adil. Allah tidak
pernah melakukan perbuatan zalim ataupun pebuatan buruk yang lainnya. Allah
tidak melakukan sesuatu kecuali atas adsar kemaslahatan dan kebaikan umat
manusia. Menurut kaum Syi’ah semua perbuatan yang dilakukan Allah pasti ada
tujuan dan maksud tertentu yang akan dicapai, sehingga segala perbuatan yang
dilakukan Allah swt adalah baik. Jadi dari uaraian di atas dapat disimpulkan
bahwa konsep keadilan Tuhan yaitu Tuhan selalu melakukan perbuatan yang bak dan
tidak melakukan apapun yang buruk. Tuhan juga tidak meninggalkan sesuatu yang
wajib dikerjakan-Nya.[13]
Ibn Taimiyyah
menegaskan bahwa mazhab salaf ialah mengimani qadar yang baik maupun yang
buruk, kekuasaan Allah dan kehendak-Nya yang bersifat mutlak. Allah menciptakan
hamba dan segenap potensi yang dimilikinya, sedangkan hamba melakukan apa saja
yang dikehendakinya dengan kekuasaan dan kehendak-Nya. Berkenaan dengan hal
ini, Ibn Taimiyyah berkata: “seyogyanya diketahui bahwa menurut madzhab salaf,
Allah lah yang menciptakan segala sesuatu, Allah menciptakan hamba sebagai
makhluk yang berkeluh kesah dan kikir. Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh
kesh dan apabila mendapatkan kebaikan ia amat kikir. Hamba adalah pelaku
perbuatan yang sebenarnya, tetapi Allah lah yang mempunyai kehendak, kekuasaan
dan kemauan.” Allah berirman :
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ
اللَّهُ لِمَن شَاءَ
مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang
lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki
Allah.” (Q.S. al-Takwir 81: 28-29)
Ibn
Taimiyyah mengakui bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak dan hamba
mempunyai daya serta dapat merasakan efek kekuasaan Allah itu. Dengan demikian
Ibn Taimiyyah mengakui tiga hal yaitu:
1)
Allah
adalah pencipta segala sesuatu
2)
Hamba
adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya serta mempunyai kemauan dan kehendak
yang sempurna yang membuatnya bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya
3)
Allah
memudahkan, meridhai, dan menyukai perbuatan baik, serta mempersulit perbuatan
buruk dan tidak menyukainnya.[14]
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Amin
Nurdin dan Afifi Fauzi. Sejarah Pemikiran Islam, Cet I; Jakarta: Amzah,
2011
Abu Zahrah, Imam Muhammad. Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam
Islam, Cet I; Jakarta: Logos Publishing , 1996
Ghazali, Adeng Muchtar. Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik
Hingga Modern, Cet I; Bandung: Pustaka Setia, 2005
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa,
dan Perbandingan, Jakarta: UI Press, 2013
Yusuf, M. Yunan. Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: dari
Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, Cet I; Jakarta: Prenadamedia
Group, 2014
Siola, Muh. Natsir. Studi Aliran Kalam dalam Sejarah, Tokoh, dan
Pemikiran, Cet I; Makassar: Alauddin University Press, 2014
[1] Adeng Muchtar
Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern (Cet I;
Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 52
[2] Ibid, h.
61
[3] Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah
Pemikiran Islam, Ibid, h. 267
[4] Amin Nurdin
dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, Ibid, h. 268
[5] Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah
Pemikiran Islam, Ibid, h. 270
[7] Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, dan Perbandingan, Ibid, h.
80
[8] Ibid, h.
87
[9] M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam
Pemikiran Kalam: dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, Ibid, h.
139
[10] Ibid, h.
140
[11] Muh. Natsir
Siola, Studi Aliran Kalam dalam Sejarah, Tokoh, dan Pemikiran (Cet I;
Makassar: Alauddin University Press, 2014), h. 33
[12] Harun
Nasution, Teologi Islam, Ibid, h. 128
[14] Imam Muhammad
Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam (Cet I; Jakarta:
Logos Publishing , 1996), h. 241
[1] Amin Nurdin
dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam (Cet I; Jakarta: Amzah,
2011), h. 31
[2] M. Yunan
Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: dari Khawarij ke Buya Hamka
Hingga Hasan Hanafi (Cet I; Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), h. 104
[3] Harun Nasution, Teologi Islam:
Aliran-aliran, Sejarah Analisa, dan Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2013),
h. 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar