Teologi, sebagai mana diketahui, membahas
ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang ingin menyelami seluk
beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama
yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan
yang berdasarkan pada landasan kuat yang tidak mudah diombang-ambing oleh
peredaran zaman.
Setelah wafatnya Nabi
Muhammad saw
pada 632 M,
yang pertama dibicarakan adalah masalah khalifah yang akan menggantikan
nabi. Masing-masing
pihak sahabat mengklaim dirinya atau kelompoknya yang lebih tepat untuk
menggantikannya
sebagai khalifah. Wafatnya Nabi itu segera
menimbulkan krisis keagamaan dan menimbulkan kekosongan kekuasaan yang harus
diisi agar tidak terjadi perpecahan. Bahwa gejala
disintegrasi
tersebut memang terjadi bisa terlihat dari fakta setelah Abu Bakar diangkat sebagai khalifah. Sayangnya, uraian yang direkam
sejarawan klasik tentang peristiwa besar ini ditulis jauh setelah peistiwa itu
terjadi.[1]
Salah satu respon paling awal terhadap masalah
suksesi tersebut adalah doktrin Syi’ah tentang imamah dan selanjutnya
terjadi arbitrase antara Muawiyah dan kelompok Ali, dan di sinilah
sejarah teologi Islam dimulai. Akibat arbitrase tersebut muncul
kelompok-kelompok yang tidak puas yang kemudian membentuk kelompok tersendiri
yang disebut Khawarij. Selanjutnya muncul Murji’ah yang tidak sepaham dengan
Khawarij dalam hal kafir mengafirkan dalam hal dosa besar. Pada perkembangan
selanjutnya lahirnya Mu’tazilah juga tidak terlepas dari permasalahan orang
yang melakukan dosa besar. Mu’tazilah dipelopori oleh Washil bin Atha’ yang
salah satu pemahamannya bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak kafir dan
tidak mu’min, tetapi posisinya berada diantara dua tempat (al-Manzilat
baina al-Manzilatain)
Nama Mu’tazilah yang
diberikan kepada mereka sebagai sebuah aliran teologi berasal dari kata i’tazala yang
berarti “mengasingkan diri”. Menurut Harun Nasution, nama itu diberikan pada abad II
Hijriyah yang diambil dari komentar Hasan al-Bashri atas sikap Washil bin
'Atha' yang melakukan aksi walk out dari majelisnya yang
berbunyi i'tazala ‘anna Wasil (Washil telah
mengasingkan diri dari kita). Mu’tazilah
selanjutnya dikenal sebagai sebuah aliran teologi yang lebih menekankan
pemahaman mereka pada penggunaan akal pikiran. Hal tersebut menyebabkan kaum Mu’tazilah sering
diidentikkan sebagai kaum rasionalis dalam teologi Islam.[2]
A. Sejarah Timbulnya Mu’tazilah dan Ajarannya.
Golongan ini muncul pada masa pemerintahan Bani
Umayyah, tetapi baru menghebohkan pemikiran Islam
pada masa pemerintahan Bani ‘Abbas dalam masa yang cukup panjang. Para ulama
berbeda pendapat pada waktu munculnya golongan ini. Sebagian berpendapat,
golongan ini mulai timbul sebagai satu kelompok di kalangan pengikut ‘Ali.
Mereka mengasingkan diri dari masalah-masalah politik dan beralih ke masalah
akidah
ketika Hasan turun dari jabatan khalifah untuk digantikan oleh Mu’awiyah Ibn
Abi Sufyan. Mengenai hal ini Abu al-Hasan al-Thara’ifi
dalam bukunya Ahl al-ahwa’ wa al-Bida’ menyatakan “ Mereka menamakan diri
dengan mu’tazilah ketika Hasan Ibn ‘Ali membai’at Mu’awiyah dan menyerahkan
jabatan khalifah kepadanya. Mereka mengasingkan diri dari Hasan, Mu’awiyah dan
seuma orang lain, mereka menetap di rumah-rumah dan di masjid-masjid. Mereka
berkata, kami bergelut dengan ilmu dan ibadah[1].
Menjelang akhir kekuasaan Bani Umayyah dipertengahan
abad VIII M, muncullah aliran baru yang disebut Mu’tazilah.
Mu’tazilah menolak dua aliran yang mendahuluinya yaitu
Khawarij dan Murji’ah, dan mengatakan bahwa sebenarnya pelaku
dosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi berada
pada posisi menengah antara mukmin dan kafir. Ajaran ini dalam Mu’tazilah
disebut al-Manzilat Bayna al-Manzilatain. Secara
historis dapat dikatakan bahwa ajaran inilah yang menandai lahirnya Mu’tazilah.
Paham tersebut untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Wasil Bin ‘Atha’ yang
dikenal sebagai tokoh Mu’tazilah[2].
Mu’tazilah adalah sebutan bagi orang-orang yang
memisahkan diri dari jamah Hasan al-Bashri, yang dipimpin oleh Washil bin
Atha’. Walaupun selanjutnya Washil bin Atha menamakan
diri kelompoknya dengan sebutan Ahl al-‘Adl wa al-Tauhid.[3]
Berbagai analisis
dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa
disebut buku-buku ‘Ilmu Kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil
bin
‘Atha’ serta temanya ‘Amr Ibn ‘Ubaid dan Hasan al-Basri
di Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan
al-Basri di mesjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya tentang status orang yang berdosa besar. Sebagai mana diketahui
kaum Khawarij memandang mereka kafir sedang kaum Murji’ah memandang mereka
mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendaptnya
sendiri dengan mengatakan bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara ke duanya; tidak
mukmin dan tidak pula kafir.” Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari
Hasan al-Basri dan pergi ke tempat lain di
mesjid. Di sana ia
mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan: “
Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazala ‘anna). “ Dengan demikian ia serta teman-temanya
disebut kaum Mu’tazilah.[4]
Versi lain yang
diberikan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebutkan bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada
suatu hari masuk ke Mesjid Basrah dan menuju ke majelis ‘Amr Ibn ‘Ubaid yang
disangkanya adalah majelis Hasan al-Basri. Setelah mengetahui bahwa itu bukan
majelis Hasan al-Basri ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata:
“Ini kaum Mu’tazilah.” Semenjak itu, menurut Tasy Kubra Zadah, mereka disebut
kaum Mu’tazilah.[5]
Untuk mengetahui secara pasti
asal-usul penamaan Mu’tazilah memang cukup sulit. Berbagai pendapat para ahli
menunjukkan perbedaan dan ketidaksepakatan di antara mereka.
Yang jelas ialah nama Mu’tazilah sebagai designasi bagi aliran teologi rasional
yang sifatnya liberal dalam Islam timbul setelah peristiwa Washil bin Atha’
dengan Hasan al-Bashri di Basrah. Setidaknya inilah yang bersifat umum dan yang
kami maksud dalam penulisan ini.
Nama lengkap Washil
bin Atha’ adalah Abu
Huzaifah
Washil Ibnu Atha’ al-Ghazali. Beliau lahir di Madinah tahun 81 H dan meninggal
tahun 131 H. Di sana ia
belajar pada Abu Hasyim ‘Abdullah Ibn Muhammad Ibn Hanafiyah,[6]
Washil bin Atha’ memiliki
pemikiran dasar yakni; al-Manzilat
Baina al-Manzilatain
(posisi di antara dua posisi). Washil bependapat bahwa orang Islam
yang berbuat dosa besar tidaklah kafir, bukan pula mukmin,
tetapi antara kafir dan mu’min. Orang Islam yang
melakukan dosa besar dan bertaubat
sebelum dia meninggal maka ia akan masuk surga, tetapi kalau orang islam
tersebut belum sempat bertaubat lalu meninggal maka ia akan masuk neraka
selama-lamanya karna perbuatanya sama dengan orang-orang kafir.[7]
Dia juga berpendapat mengenai
perbuatan manusia, Washil mengatakan, manusia diberi kebebasan, kemampuan dan
kekuasaan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Kebebasan
memilih, kekuasaan dan kemampuan yang ada pada manusia itu merupakan pemberian mutlak
dari Tuhan. Karena itu, manusia bertangung jawab atas perbuatan yang dilakukan
itu.[8]
Washil juga menolak paham ortodoks yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu abadi.
Mereka mengungkapkan bahwa al-Qur’an diciptakan dan diungkapkan di dalam
tulisan-tulisan dan diwahyukan kepada Nabi dalam waktu, ruang dan bahasa setempat.
Mukjizat al-Qur’an tidak terdapat dalam tulisan dan bahasanya tetapi ajarannya.
karena Jika keabadian al-Qur’an diterima, maka ada dua yang abadi, Tuhan dan
al-Qur’an.[9]
Mengenai
al-Usul al-Khamsah secara harfiah
berarti lima dasar. Mu’tazilah memahami dan meyakini bahwa ada lima dasar dalam
akidah
Islam
yaitu; al-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’d wa al-Wa’id, al-Manzilah Baina
al-Manzilatain, dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahyi ‘an al-Munkar. Kelima
dasar keyakinan tersebut merupakan prasyarat untuk menjadi kaum Mu’tazilah.[10]
1.
Al-Tauhid, (pengesaan
Tuhan)
yang merupakan inti paham Mu’tazilah; maksudnya pemurnian esensi Tuhan; Tuhan
tidak memiliki sifat-sifat. Lebih lanjut Washil bin Atha’ mengatakan,
Tuhan tak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri yang melekat
pada Zat Tuhan. Abu al-Huzail mencoba membawa penyelesaian. Tuhan betul
mengetahui tetapi bukan dengan sifat melainkan mengetahui dengan
pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya adalah Zat-Nya demikian seterusnya dan
sifat-sifat lainnya.
2.
Al-‘Adl, (prinsip keadilan Tuhan). Menurut paham Mu’tazilah,
Allah tidak menyukai kerusakan, dan tidak menciptakan perbuatan hamba, tetapi
hambalah yang melakukan apa yang diperintahkan dan yang dilarang dengan kudrat
yang diberikan dan ditetapkan Allah kepada mereka. Tidak mungkin Tuhan
menghendaki supaya manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan
perintah-Nya.
3. Al-Wa’ad wa al-Wa’id, (prinsip
janji dan ancaman).
Mu’tazilah berkeyakinan bahwa janji berupa balasan kebaikan dan ancaman berupa
siksaan tidak mustahil diturunkan. Janji Allah tentang pahala atas kebaikan
akan terjadi, janji siksaan atas kejahatan juga akan terjadi.
4.
al-Manzilat Baina al-Manzilatain (posisi di
antara dua posisi). Washil bependapat bahwa orang Islam
yang berbuat dosa besar tidaklah kafir, bukan pula mukmin,
tetapi mengambil posisi antara kafir dan mukmin.
Kalau orang Islam
tersebut bertaubat sebelum dia meninggal maka ia akan masuk surga, tetapi kalau
orang Islam
tersebut belum sempat bertaubat, maka ia akan masuk neraka selama-lamanya, namun azab yang ia terima lebih ringan dari azab yang
diterima oleh orang kafir.
5.
Al-Amr bi al Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar, (prinsip
menyuruh berbuat baik dan melarang kemungkaran).
Prinsip ini adalah dasar yang kelima dari dasar-dasar paham Mu’tazilah
yang disepakati. Kaum mu’tazilah menetapkan bahwa semua muslim wajib melakukan
upaya tersebut untuk menyiarkan dakwah Islam dan menunjuki orang yang sesat
serta mencegah serangan orang yang mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan
sehingga mereka tidak dapat
menghancurkan islam.
B.
Tokoh Penting Mu’tazilah
Tokoh pertama
yang berpengaruh dalam perkembangan Mu’tazilah adalah
al-Allaf. Nama lengkapnya Muhammad bin al-Huzail al-Allaf. Ia
merupakan seorang tokoh Mu’tazilah yang menjadi pemimpin kedua Mu’tazilah
cabang Basrah setelah Washil bin 'Atha’. Ia lahir pada tahun 135 / 751 M, tiga
tahun setelah berdirinya Daulah Abbasiyah dan wafat pada tahun 235 H/849 M.[11]
Di antara pemikirannya yang berbeda dengan tokoh-tokoh
al-Mu’tazilah adalah:
1. Allah itu ‘Alim (Maha Mengetahui) dengan dzat-Nya, Allah itu Qadir (Maha Berkuasa) dan Qudrah
Allah adalah dzat-Nya, demikian seterusnya. Singkatnya dia meniadakan seluruh sifat selain dzat Allah sebagaimana
yang dilakukan oleh Wasil akan tetapi dia lebih mendalam.
2. Alam memiliki cakupan dan batasan karena alam adalah
hal yang baru, termasuk surga dan neraka.
3. Manusia terbebani taklif (kewajiban) yang mampu
dibedakan oleh akal antara yang baik dan yang buruk meskipun tanpa syariat atau
wahyu.
Generasi selanjutya yang berpengaruh
dalam pemikiran Mu’tazilah adalah al-Nazzam atau nama lengkapnya
adalah Ibrahim bin Sayyad bin Hani' al-Nazzam. Ia adalah salah seorang murid al-Allaf yang kemudian menjadi pemuka Mu’tazilah. Ia lahir di Basrah tahun 185 H/801 M, dan
meninggal dunia pada tahun 221 H/836 M. Dalam catatan perjalanan hidupnya, ia dianggap mempunyai kecerdasan yang lebih
dibanding gurunya. Ia pun juga banyak terinspirasi dengan retorika berfikir
Yunani akibat lama berhubungan dengan filsafat Yunani.[13]
Dalam konsep keadilan Tuhan, ia
berpendapat lebih jauh dari apa yang dipahami oleh gurunya, al-Allaf. Menurut
al-Allaf, Tuhan berkuasa untuk bersikap zalim, tapi hal itu mustahil Tuhan
lakukan, karena berdampak pada ketidak sempurnaan Tuhan. Sedangkan al-Nazzam
berpendapat, bukan hanya mustahil Tuhan bersikap zalim, bahkan Tuhan tidak
berkuasa untuk bertindak zalim. Alasan yang dimajukan al-Nazzam ialah, bahwa
kezaliman hanya dilakukan oleh orang yang mempunyai cacat serta tidak mempunyai
pengetahuan (jahil). Adapun Tuhan Maha suci dari sifat-sifat itu, karena
sifat-sifat itu hanya dimiliki oleh yang tidak kekal.[14]
Adapun pemikiran al-Nazzam mengenai ijma’ (kesepakatan)
bahwa ijma’ tidak mempunyai
otoritas dalam hukum agama. Demikian pula analogi qiyas juga tidak mempunyai otoritas dalam masalah
syari’ah. Hanya kata-kata imam yang maksum yang mempunyai otoritas. Sebagaimana dikatakan, Mu’tazilah
berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan qadim atau kekal,
tetapi hadis\ dalam arti baru dan diciptakan Tuhan. Al-Nazzam memberikan
penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kalam atau sabda Tuhan. Kalam
adalah suara yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Suara bersifat
baru, bukan kekal dan merupakan ciptaan Tuhan. Inilah yang dimaksud golongan
Mu’tazilah dengan Al-Qur’an diciptakan dan tidak
kekal.[15]
Tokoh yang ketiga adalah Abu 'Ali Muhammad bin 'Abd al-Wahhab
al-Jubba'i. Lahir pada tahun 295 H, dan wafat pada tahun
321 H. Dia adalah guru dari Abu Hasan al-Asy’ari pendiri aliran
Asy-ariyah. Terkait dengan sifat Tuhan,
al-Jubba'i berpendapat bahwa Tuhan itu mengetahui sesuatu melalui esensi (Zat)
Nya, Ia maha kuasa dan hidup melalui esensiNya.
Olehnya itu, untuk mengetahui sesuatu, Tuhan tidak perlu pada sifat mengetahui,
dan tidak pula perlu pada keadaan mengetahui. al-Jubba’i juga mengatakan bahwa Allah menciptakan
"kalamNya" sendiri ditempat pembacaan kapan saja seorang manusia
membacakan Al-Qur’an.[16]
Buah pikiran ketiga tokoh yang
berpengaruh dalam aliran mu’tazilah, yang pada intinya pemikiran mereka tidak
jauh beda dengan tokoh-tokoh yang lainya atau pemikiran yang satu dengan yang
lainya hampir sama karena mereka pada hakikatnya menggunakan rasio.
C. Perkembangan Mu’tazilah dan Pengaruhnya di Dunia Islam
Peristiwa al-mihnah
terjadi sekitar tahun 198 H. sampai dengan tahun 232 H. Hanya saja
pelaksanaannya nanti diterapkan secara efektif di tengah masyarakat mulai pada
tahun 218 H. Hal itu dilakukan karena adanya kekhawatiran akan mendapat
tantangan dari masyarakat di masa awal pemerintahan al-Makmun. Berawal dari Khalifah al-Makmun terkontaminasi oleh paham Mu’tazilah yang dimiliki oleh
Ahmad bin Abu Du'ad. Dia berusaha mempengaruhi Khalifah dan menelurkan ide untuk melaksanakan mihnah untuk
menjernihkan akidah masyarakat terutama soal doktrin “Al-Qur’an adalah Makhluk”.
Akhirnya, pada tahun 212 H, mulailah al-Makmun menganut paham
Mu’tazilah.
Pada masa pemerintahan
al-Makmun, diterapkan empat macam
tingkatan sanksi atas mereka yang membangkang, yaitu pertama, mereka yang menolak tidak
dapat diterima kesaksiannya di pengadilan, kedua, bagi mereka yang
bekerja sebagai guru atau muballigh diputuskan tunjangan yang diperolehnya dari
Khalifah, ketiga, jika masih
menolak akan dicambuk dan dirantai, kemudian dimasukkan ke dalam penjara, dan keempat, proses terakhir dari segalanya adalah
hukuman mati dengan leher dipancung.[17]
Pada masa pemerintahan al-Watsiq (227-232 H.), dia masih menjalankan kebijakan al-mihnah. Bahkan pada masa ini, pernah
dikeluarkan perintah untuk membunuh Ahmad bin Nashr al-Khuza’iy, seorang ulama
yang mendukung pendapat Imam Ahmad Ibnu Hanbal tentang ke-qadiman
al-Qur'an. Akibatnya, beberapa tokoh dan
ulama mati di penjara karena mempertahankan pendapat mereka, di antaranya : Na’im bin Hammad, dan Yusuf bin
Yahya al-Buwaiti.[18]
Seiring dengan terpilihnya Khalifah al-Mutawakkil sebagai pengganti khalifah al-Wasiq (232/847), ajaran
Mu’tazilah dihapuskan dari mazhab negara dan digantikan dengan ajaran
al-Asy’ariyyah. Dengan demikian, berakhirlah riwayat al-Mihnah pada masa
ini, dan pengaruh kaum Mutazilah pun mulai menurun. [19]
Adapun
perkembangan Mu’tazilah sebagai aliran kalam dan
pengaruhnya dalam dunia Islam adalah, kelompok Mu’tazilah pada mulanya lahir sebagai reaksi
terhadap paham-paham yang dikemukakan oleh golongan Khawarij dan golongan
Murjiah. Kemudian Mu’tazilah muncul dengan pemahamanya dengan konsep al-Manzilah bain
al-Manzilatain bahwa sesungguhnya
orang yang berdosa besar dia bukan kafir dan bukan pula mu’min. Setelah
golongan Muktazilah mencapai puncak kepesatan dan kemegahannya pada masa
Al-Makmun dan al-Mu’tashim, tidak berapa lama kemudian aliran ini akhirnya
mengalami kemunduran. Kondisi itu utamanya terjadi pada masa khalifah
al-Mutawakkil. Walaupun demikian, aliran ini tidak serta merta hilang dari
permukaan. Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan bahwa beberapa pengikutnya
yang setia masih tetap eksis dan menjadi tokoh penting dan ulama produktif.
Sebut saja misalnya, al-Khayyath yang muncul pada akhir abad ke III H. Kemudian
Abu Bakar al-Zamakhsyari (w. 320 H./932 M.) yang muncul
pada abad ke IV H. yang dikenal dengan tafsirnya al-Kasysyaf. Pengaruh
kedua tokoh tersebut sangat besar di kalangan kelompok Ahlussunnah wa
al-Jama’ah.[20]
Selanjutnya paham ini
berkembang menjadi aliran kalam yang dikenal dengan nama Mu’tazilah.
Kemunculannya seiring dengan telah banyaknya umat Islam yang melakukan kontak
dengan pemikiran Filsafat Yunani yang dikenal menjadikan akal sebagai power
dalam berfikir sampai-sampai menilai benar-salahnya sesuatu menurut ukuran
rasio. Ibarat tersengat retorika berfikir tersebut, orang-orang Mu’tazilah pun
amat tertarik dengan filsafat tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan jika
aliran Mu’tazilah ini banyak berpegang pada rasio dalam membicarakan
perkara-perkara teologi.[21]
Meskipun aliran Mu’tazilah tidak lagi menjadi satu
golongan namun tidak dapat disangkal bahwa perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan
dan falsafah dalam Islam tidak lepas dari peran serta pengaruh paham Mu’tazilah
yang lebih mengutamakan akal dalam memahami dan memecahkan
persoalan-persoalan teologi. Bahkan,
menurut Harun Nasution, di zaman modern dan kemajuan iptek sekarang ini,
ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional tersebut telah tumbuh kembali
di kalangan umat Islam, terutama di kalangan kaum terpelajar.[22]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Dimasyqi, Abu al-‘Izz, Syarh al-Aqidah al-Tahawiyah,
Cet.X; Beirut: Muassasah al-Risalah, 1417 H/1997 M.
Al-Syahrastani, Abu Al-Fath, al-Milal wa al-Nihal,
Cet.I: Beirut; dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,1410 H/1990M.
Asmuni,
M. Yusran. Ilmu Tauhid. Cet. II; Jakarta: Rajaeali Grafindo Persada,
1994.
Ayoub,
M. Mahmoud, The crisis of muslim history, Cet. I;
Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004.
Azra, Azyumardi, dkk, ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 2005.
Hanafi,Ahmad Pengantar Teologi Islam (Ilmu
Kalam) Cet.XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Haq,
Hamka. Dialog: Pemikiran Islam,
Makassar:
Yayasan al-Ahkam, Cv. Berkah Utami, 2000.
Harahap,
Syahrin,
dkk, Eksiklopedi Islam, cet. I; Jakarta: Kencana, 2003.
Mahmudunnasir, Syed.
Islam Konsepsi Dan Sejarahnya, Cet.IV; Bandung: PT.Rosda Karya, 2005.
Mansur al- Bagdadi, al-Farqu
baina al-Firaq, Saida: al-T{ab’ah al-Asriyah, t.th.
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan Cet. V; Jakarta: UII Press, 1986.
Nata, Abuddin. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf
(Dirasah Islamiyah IV) Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Natsir. A, Sahilun. Pengantar ilmu Kalam, Cet.
II ; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Subhi, Ahmad
Mahmud, Fi ‘Ilm al-Kalam, ,Kairo: t.p, 1969.
Sou’eyb, Joesoef, Peranan Aliran
Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam, Cet.I; Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1982.
Zahrah,
Muhammad Abu, Tarikh
al-Mazahib al-Islamiyyah, diterjemahkan
oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib,dengan judul
Aliran Politik dan Aliran Islam, Cet.
I; Jakarta Logos Publishing House, 1991.
[1]Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, dengan judul Aliran
Politik dan Aliran Islam (Cet.I; Jakarta:Logos Publishing
House, 1991), h. 149.
[3]Sahilun A. Natsir, Pengantar
ilmu Kalam, (Cet.
II ; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994) h. 93.
[4] Abu Al-Fath
al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, juz 1 (Cet. I:Beirut; dar al-Kutub
al-Ilmiah,1410 H/1990M) h. 42.
[7]Harun Nasution, Islam Ditinjau
Dari Berbagai Aspeknya (Cet.V;
Universitas Indonesia Press, 1985)
h. 37
[9] Syed Mahmudunnasir, Islam
Konsepsi dan Sejarahanya (Cet. IV
; Bandung ; Rosda Karya, 2005), h.230.
[16] Abu
al-‘Izz al-Dimasyqi, Syarh al-Aqidah al-Tahawiyah, jilid 1 (Cet.10;
Beirut: Muassasah al-Risalah, 1417 H/1997 M) h. 173.
[18]Joesoef
Sou’eyb, Peranan aliran iktizal dalam
perkembangan Alam Pikiran Islam,
(Cet. I ; Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1992), h. 177-179.
[20]Ahmad
Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Ilmu Kalam) (Cet.XI;
Jakarta: Bulan Bintang, 1996) h.100.
[21]Abuddin
Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf (Dirasah Islamiyah IV) (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1995) h. 63.
[1]Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History, diterjemahkan
dengan judul
Akar – akar
krisis politik dalam sejarah muslim (Cet.
I; Bandung: PT.
Mizan Pustaka, 2004), h.41.
[2]Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet.
V; Jakarta: UII Press, 1986), h. 38.